Ketua MK : Semuanya Harus Disinari Cahaya Ilahiah
Koropak.co.id – Diskursus tentang konsepsi dan karakter seperti apa negara Indonesia yang merdeka sejak 1945, merupakan topik yang selalu hangat dan menarik untuk dibahas. Terlebih tatkala sebuah negara ingin kembali menegaskan karakter kebangsaan dan wataknya seiring dengan perkembangan dan dinamika zaman, serta arus globalisasi yang menyeruduk masuk, membawa serta segudang pengaruh, baik positif dan negatif.

Salah satu implikasi nyata adalah menurunnya identitas bangsa dan meredupnya empati sosial antar anak bangsa. Informasi hoax yang beredar tanpa proses tabayyun dan ujaran kebencian melalui media sosial bertendensi pada konflik SARA terus membayangi perjalanan bangsa ini dari waktu ke waktu.
Terlebih pada saat ini, di mana perhelatan akbar pemilihan kepada daerah dan pemilu legislatif dan presiden semakin mendekat, tensi politik pun kian meninggi. Oleh karena itu, diperlukan sikap berhati-hati dalam menyebarkan pendapat dan berita melalui media sosial. Bukan tidak boleh berpendapat dan bukan tidak boleh pula men-share (menyebar, red) berita yang didapat kepada rekan sejawat. Karena pada dasarnya semua warga negara mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan pendapat dan mengepresikan pikirannya. Hak ini merupakan perwujudan hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi, utamanya Pasal 28 UUD 1945.
Tetapi kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi itu ada batasnya, yaitu kebebasan dilaksanakan sesuai koridor hukum, menghormati pula hak dan kebebasan orang lain serta tunduk pada kaidah moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28J ayat (3) UUD 1945. “Pembatasan ini bertujuan agar demokrasi kita tidak mengarah pada demokrasi liberal yang mengusung kebebasan sebebas-bebasnya, melainkan demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi RI sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S, pada acara Sosialisasi Mahkamah Konstitusi di STHG Tasikmalaya, Sabtu (3/3/2018).
Oleh karena itu, kata Arief, penting melakukan napak tilas perumusan hukum dasar, terutama untuk menyelami lebih dalam gagasan-gagasan brilian para pendiri negara (the founding fathers) dalam sidang BPUPK dan PPKI, sehingga mengenal watak dan karakter bangsa ini.
“Perlu dipahami, konsepsi negara kita adalah negara yang religius yang mengedepankan nilai dan moral ketuhanan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pemahaman yang terinternalisasi dan integral, maka diharapkan Pancasila akan menjadi pedoman dalam rangka men-drive (membawa dan mengarahkan) para penyelenggara negara dan seluruh perilaku masyarakat sehingga dalam setiap kondisi, bangsa kita akan selalu disinari pancaran sinar ketuhanan yang menjadi ruh utama Pancasila.
Artinya, di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan merupakan pengejawantahan tujuan manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik itu bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun budaya, semuanya harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berpolitik haruslah berketuhanan, mengunggulkan moral dan etika politik. Dalam hal ini, membawa agama dalam perjuangan politik sebagai proses bernegara merupakan tindakan sah. Hal terpenting ialah, hal itu dilakukan tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai negara berketuhanan. Dalam berhukum, baik pembentukan dan penegakan hukum, termasuk juga perumusan kebijakan negara, harus bersumber pada nilai ketuhanan. “Ini yang membedakan elemen pokok negara hukum Indonesia dengan negara hukum lain,” ucapnya.
Nilai ketuhanan menjadi alat ukur untuk menentukan hukum itu baik atau buruk, konstitusional atau inkonstitusional. Nilai-nilai ketuhanan yang beresensikan kejujuran, etika, dan keadilan seharusnya menjadi penyangga utama dalam semua aktifitas ekonomi. Dalam aktifitas budaya, ilmu pengetahuan dan pola berfikir yang membangun budaya haruslah lekat pada tuntunan Tuhan. “Penerimaan akan kebenaran-kebenaran Tuhan menuntun manusia untuk memahami batasan-batasan diri yang tercermin dalam tingkah lakunya yang disinari cahaya ilahiah,” ujarnya.
Tidak Ada Ruang Bagi Sikap Anti-Ketuhanan
Implikasi UUD 1945 dijiwai Pancasila dengan nilai ketuhanan sebagai akarnya ialah dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan harus dijadikan sumber etika dan spiritualitas. Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Karenanya, di Indonesia, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan. Di dalam kerangka nilai ketuhanan, tidak terdapat celah yang dapat diterobos oleh pemikiran-pemikiran yang tidak berketuhanan, siapapun mereka,” kata Arief Hidayat.
Negara Indonesia yang berketuhanan tambah dia, menuntut setiap warga bersikap benar dengan dilandasi spirit berketuhanan yang beranjak dari kebenaran firman Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai. Bersikap benar dalam hal ini tidak hanya mengacu kepada kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, dan kebenaran pragmatis, akan tapi menjadikan ketiganya menyatu di bawah payung kebenaran ilahiah.
“Dengan demikian, jika ujung harapan kita bernegara adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, toto tentrem kertoraharjo, baldatun toyyibatun, maka untuk menjadi bangsa yang thoyyib (baik), jangan sampai ada sikap dan perilaku yang membuat Tuhan marah,” tuturnya.*