“Mahasiswi nekat akhiri hidup, diduga depresi karena putus cinta”
“Putus cinta, pria bertato nekat bunuh diri”
“Dikejar banyak utang Si Fulan minum racun tikus”
Sungguh, berita-berita seperti itu sudah sangat sering lewat di beranda medsos kita. Miris. Kenapa orang-orang begitu mudah mengakhiri hidup hanya karena putus cinta atau persoalan lainnya?
Tercatat, hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Jika dihitung rata-rata, dalam 40 detik ada seorang yang melakukan bunuh diri.
Menyedihkan. Tak heran, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut fenomena bunuh diri sebagai ancaman nyata.
Setiap tanggal 10 September, WHO telah menetapkan sebagai peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Ikhtiar itu dilakukan sebagai upaya memberi peringatan kepada semua orang tentang betapa berharganya hidup. Banyaknya persoalan tidak lantas mengambil jalan pintas. Bunuh diri sama sekali bukan solusi.
Pada 2001, ‘Aidh Al-Qarni mengguncang dunia melalui buku “La Tahzan”. Karya itu fenomenal. Bertahan selama beberapa tahun. Diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Buku “La Tahzan” atau jangan bersedih menyampaikan satu pesan penting: semua masalah hidup pasti ada solusinya.
Pesan itu berlaku bagi siapapun, di manapun, serta apapun agama dan kepercayaannya. Buku “La Tahzan” disambut banyak orang, karena memang faktanya manusia yang hidup di era ini sedang banyak bersedih.
Kesedihan tidak mengenal jenis kelamin, bangsa, ras, golongan dan kepercayaan. Ianya fitrah.
Setiap manusia pasti mengalaminya. Kesedihan karena sakit, ditinggal wafat orang terkasih, persoalan hidup yang datang silih berganti, usaha bangkrut, kesulitan ekonomi dan sebab-sebab lainnya.
Syekh ‘Aidh Al-Qarni memberi pesan tentang harapan. Ia menegaskan, karena harapanlah manusia bisa bertahan. Harapan adalah adalah harta terbesar yang tak bisa dibeli dengan apapun.
“Jangan bersedih, karena Allah mengabulkan permohonan seorang musyrik, apalagi muslim yang bertauhid.”
Belajarlah mengucap hamdalah saat mengalami kesedihan. Bersyukur saat sedih tentu tidak mudah. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita.
Saat nyawa terancam, dikejar orang-orang Quraisy, Rasululullah bersama sahabatnya Abu Bakar bersembunyi di dalam Gua Tsur. Jarak keduanya dengan pemburu sudah sangat dekat.
Sahabat Abu bakar berkeringat luar biasa, Rasulullah pun berbisik, “La Tahzan. Innallaha ma’ana. Jangan bersedih. Allah bersama dengan kita.”
Betapa dalamnya pesan yang disampaikan Rasul itu. Di saat dalam kondisi yang sangat tidak nyaman dan nyawa terancam, hati dan pikirannya tertuju pada satu titik: Allah. “Allah bersama kita.”
Lantas, haruskah kita larut dalam kesedihan jika harapan baik masih terbentang luas tak terbatas? Sudah. Lepaskan pelukan itu.
Terlalu lama memeluk kesedihan hanya akan membuat pikiran terjebak di jurang kehancuran. Terlalu lama memeluk kesedihan hanya akan membuat mata hati tersesat dalam kegelapan.
Yakinlah, kamu tidak sendiri. Kendati semua orang di dunia ini menjauhimu, yakinlah ada Dia yang selalu menemani dan menjadi pendengar setia atas semua keluh kesahmu.
Kamu tidak sendiri, kawan. Ada Allah yang selalu mencintai dan tidak pernah ingkar janji: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”