Koropak.co.id – Alun-alun di suatu daerah baik itu di Solo, Yogyakarta, Semarang, Malang hingga sejumlah wilayah di Jawa Barat menjadi ikon penting dari kejayaan daerah tersebut. Uniknya, kendati tiap daerah berbeda geografisnya, namun ternyata ada keseragaman konsep pembangunan dan fasilitas sosial di alun-alun.
Misalnya, keberadaan pohon beringin yang kerap di tanam di sekitar alun-alun. Selain itu, ada juga berdiri keraton, pendopo atau kediaman pejabat daerah dan terakhir, di sekitar alun-alun ini selalu disiapkan tempat pertunjukan atau pagelaran.
Seperti halnya keberadaan sebuah keraton di Alun-Alun Utara Solo yang didirikan pada tahun 1745. Diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat, bangunan itu berdiri di sebelah selatan alun-alun dengan model prakolonial itu.
Di Keraton Surakarta Hadiningrat itu juga berdiri sebuah menara segi delapan setinggi 30 meter dan diberi nama Panggung Songgo Buwono yang berdiri sejak tahun 1777.
Menara tersebut berfungsi sebagai pertemuan antara Raja Solo yang bergelar Susuhunan dengan Ratu penguasa Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.
Sementara di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada zaman dahulu sering diadakan pawai kereta putra mahkota Yogyakarta, kini kereta tersebut tersimpan di koleksi keraton Kyai Wimanaputra.
Olivier Johannes Raap, dalam bukunya “Kota Di Djawa Tempo Doeloe” karya diketahui kereta putra mahkota tersebut dibeli dari pabrik kereta Hermans, Den Haag Belanda pada tahun 1850-an. Sedangkan kain dan pelapis interior dari model kereta kuda ‘Berline’ ini dibuat di pabrik kereta Barendse Semarang.
Di Alun-alun Semarang yang sudah ada sejak abad ke-17 sering dijadikan tempat penyelenggaraan pawai atau parade militer. Namun seiring berjalannya waktu atau tepatnya pada abad ke-20, lapangan terbuka itu semakin menyempit hingga pada akhirnya penuh dengan bangunan.
Kini, hanya tinggal sebuah nama jalan di depan masjid yang dibangun di sekitar alun-alun yakni Jalan Alun-alun Barat. Bahkan lapangan yang dijadikan sebagai parade militer kala itu pun kini berubah menjadi Hotel Metro.
Dahulu, Malang juga ternyata memiliki alun-alun yang berbeda dari yang lainnya. Alun-alun Kota Malang justru tidak terletak didepan Kabupaten, melainkan berada di depan rumah asisten residen yang berada disisi selatan alun-alun yang turut ditanami pohon ditengahnya dan dipagari tembok rendah.
Baca : Hikayat Sejoli Alun-Alun dan Pohon Beringin
Sayangnya, rumah asisten residen tersebut sudah dibongkar dan digantikan dengan kantor pos. Pada abad ke-19, selain kediaman seorang pemimpin dan masjid utama, penjara juga menjadi sebuah elemen tetap dari alun-alun model kolonial.
Salah satu contohnya penjara yang dibangun pada tahun 1829 di sisi timur alun-alun Kota Malang. Perlu diketahui juga bahwa pada zaman itu, tahanan yang dipenjara tak hanya disekap di dalam sel secara terus menerus.
Para tahanan itu seringkali dipekerjakan untuk membuat buah catur yang kemudian dijual hingga disuruh untuk menyapu jalanan sekitarnya.
Seiring berjalannnya waktu atau tepatnya pada tahun 1921 penjara baru pun dibangun di Lowokwaru, sehingga gedung penjara lama pun beralih fungsi sebagai panti asuhan negeri.
Namun di akhir tahun 1980, gedung tersebut dibongkar dan diganti dengan kompleks pertokoan Ramayana. Di Alun-alun yang dibangun saat Kota Purworejo berdiri sejak tahun 1830-an tepatnya ditengah-tengahnya terdapat sebuah Paseban yang berfungsi sebagai balai penghadapan pejabat dan pengadilan.
Sayangnya, Paseban tersebut kini menjadi Kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Selain Paseban, di alun-alun juga terdapat Kompleks Kabupaten, Rumah Asisten Residen yang sudah terlebih dahulu dibangun dan kini berubah menjadi Kantor Pemerintah Daerah.
Jika di Purworejo ada Paseban, di Alun-alun Garut yang berdiri pada tahun 1813 ada Babancong (sebuah paseban khas Sunda) yang dibangun sekitar tahun 1880 dan berfungsi sebagai panggung tempat Bupati berpidato.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini