Koropak.co.id – Ini yang berasal dari tanaman Camellia sinensis. Daunnya dikemas sedemikian rupa, diseduh dengan air panas dan rasakanlah sensasi rasa aromatik, wangi dan menenangkan jiwa.
Sudah lama Indonesia menikmati sajian ini. Air panas dengan campuran daun teh. Disuguhkan dengan beragam cara hingga menghasilkan aneka rasa. Semuanya nikmat.
Sejak kapan teh ini ada? Laman katadata.co.id menulis, teh mula masuk Indonesia pada akhir abad ke-17, Gubernur jenderal Hindia Belanda bernama Camphyus mulai menanam teh di halaman rumahnya di Batavia. Dan kemudian setelah itu, teh menjelma jadi salah satu tanaman wajib dalam tanam paksa.
Minum teh punya sejarah tradisi yang kuat. Di Indonesia, ada banyak daerah yang punya istilah beragam menjelaskan tentang tradisi minum teh ini. Solo atau Surakarta di antaranya.
Tradisi ngeteh di Kota Solo ternyata bukan merupakan kultur asli. Akan tetapi itu merupakan warisan dari para elite Belanda di masa kolonial.
Meskipun sebenarnya acara minum teh juga tidak lazim dilakoni bangsa Belanda dikarenakan di negara mereka kopi yang lebih populer. Sementara minum teh sendiri merupakan tradisi dari bangsa Inggris.
Dilansir dari SuaraSurakarta.id, potongan-potongan sejarah pun menguak fakta bahwa kultur ngeteh di Jawa itu dipengaruhi oleh para bangsawan Belanda berdasarkan kesaksian masyarakat pesisir Jawa yang blak-blakan mengaku bahwa dirinya mengikuti tata cara masyarakat kolonial Belanda dalam hal minum teh, seperti yang dilakukan keluarga Kartini.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko menyebutkan, Teh biasa disajikan dalam poci yang disandingkan dengan gula, susu serta kudapan lokal maupun kue tradisional Belanda.
“Teh juga selalu disajikan di setiap acara jamuan makan keluarga bangsawan dalam tradisi kerajaan Jawa, seperti halnya yang dilakukan di Kadipaten Mangkunegaran,” sebut Heri yang juga merupakan Penulis Sejarah Wisata Kuliner Solo itu.
Sementara itu, tercatat, Paku Buwana X pernah beberapa kali menjamu Raja Siam dari Negeri Gajah Putih (Thailand) dengan secangkir teh dan dengan cara yang amat santun.
Seiring dengan perkembangan zaman, budaya ngeteh yang semulanya hidup di bilik rumah aristokrat, pada akhirnya mulai tersebar dan berkembang di lingkungan masyarakat luas. Bahkan kini teh bisa dinikmati hampir oleh semua orang dalam berbagai golongan maupun kelas sosial.
Baca : Mengenal Budaya Minum Teh di Berbagai Penjuru Dunia
Budaya minum teh sejak zaman kerajaan itu juga sampai saat ini terus dilestarikan dan menjadi kearifan lokal kultur masyarakat di Kota Solo, Jawa Tengah. Meskipun jika dilihat dari bentang alamnya sendiri Kota Solo tidak memiliki perkebunan teh karena berada di daerah dataran rendah.
Tapi jangan salah, Bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di masa lalu ternyata pernah memiliki perkebunan teh di Ngampel, Boyolali dan budidaya tanaman teh yang dijajal kaum aristokrat itu diberi nama Madusita. Fakta tersebut terekam dalam Serat Biwadha Nata.
Madusita sendiri terdiri dari dua kata yang sarat akan makna, yaitu madu berarti manis dan sita berarti hati atau dingin. Madusita juga dijadikan sebagai nama pesanggrahan untuk raja beristirahat.
Oleh karena itu, istilah Madusita ini bisa bermakna Sinuhun Paku Buwana merasa hatinya tentram dan manis seperti madu saat berkunjung ke pesanggrahan yang berada di sekitar perkebunan teh.
Sementara itu, wilayah Ampel, Boyolali sendiri dipilih sebagai lokasi perkebunan teh dikarenakan berada di dataran tinggi dengan iklim tropis yang tanahnya subur. Akan tetapi hingga saat ini, belum terlacak mengenai titik sebaran hasil panen teh yang digarap Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu.
Kisah yang disampaikan oleh Heri Priyatmoko itu seolah membuktikan bahwa Keraton Solo memiliki peranan dalam mengembangkan usaha perkebunan teh dan membentuk budaya ngeteh di tanah Jawa.
Sebab, hingga saat ini teh juga berhasil menjadi komoditas yang dijual di berbagai tempat, mulai dari angkringan pinggir jalan hingga restoran mewah kelas satu.
Guna memperkuat kultur ngeteh, pada Oktober 2012 lalu sempat digelar Festival Teh Internasional di Kota Solo. Acara tersebut digelar di sepanjang koridor Ngarsapura yang menghadirkan 1.000-an penjual teh. Kota Solo dipilih sebagai tuan rumah Festival Teh Internasional pertama karena dianggap sebagai etalase teh di Indonesia.
Sampai saat ini, teh berhasil menjadi salah satu ikon kuliner di Kota Solo yang sangat populer. Tiap angkringan di Kota Solo juga memiliki resep dan cara meracik teh yang berbeda-beda. Hingga munculah budaya mencampur atau mengoplos teh yang diklaim hanya ada di Kota Solo.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini