Seni Budaya

Raih Sertifikat WBTb, Begini Sejarah Payung Geulis Tasikmalaya

×

Raih Sertifikat WBTb, Begini Sejarah Payung Geulis Tasikmalaya

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Selain Karinding dan Bordir Tasikmalaya, Payung Geulis juga termasuk salah satu dari 22 karya budaya Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Dedi Taufik mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, tercatat sudah ada 46 karya budaya yang mendapatkan sertifikat serupa dari Kemendikbudristek sebagai WBTb di Jabar.

“Apabila dihitung dari tahun 2013, hingga saat ini sudah ada 86 karya budaya Jawa Barat yang ditetapkan sebagai WBTb Indonesia. Ditambah lagi dengan 4 WBTb milik bersama antara Jabar dan provinsi lain, yakni Aksara dan naskah Ka Ga Nga, Calung Banyumas Pantun Betawi dan Pakuwon,” kata Dedi sebagaimana dihimpun Koropak, Sabtu 18 Desember 2021.

Berbicaranya mengenai payung geulis, karya budaya tersebut merupakan salah satu ikon dari Kota Tasikmalaya. Payung Geulis sendiri mulai diproduksi oleh salah seorang tokoh masyarakat bernama H Muhi yang berada di wilayah Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya pada tahun 1930-an.

Dilansir dari berbagai sumber, H. Muhi merupakan salah satu tokoh yang memiliki perekonomian cukup memadai. Kala itu, dia membuat sendiri payung dari kertas yang digunakan untuk pergi ke ladang pada saat cuaca panas dan hujan.

Ternyata, apa yang dilakukan oleh H. Muhi tersebut menjadi inspirasi bagi warga lainnya yang kemudian mereka membuat payung yang sama. Setelah itu, dia pun mulai berpikir untuk menjadikan komoditas usaha, sehingga dia mulai memproduksi dan menjadi pengrajin payung.

 

 

Baca : Karinding dan Bordir Tasikmalaya Dapat Sertifikat WBTb

Sementara itu, pada masa kolonial Belanda sekitar tahun 1926, payung geulis banyak dipakai oleh noni-noni Belanda. Payung geulis yang terbuat dari bahan kertas dan kain tersebut berhasil mengalami masa kejayaan pada tahun 1955 hingga 1968. Meski setelah itu sempat mengalami pasang surut, akan tetapi payung geulis mulai bersinar dan dapat bangkit kembali pada tahun 1980-an.

Di era ini, para pengrajin mulai membuka kembali usaha pembuatan payung meskipun dalam jumlah kecil. Para pengrajin payung geulis ini berdomisili di Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya yang sekaligus menjadi salah satu sentra produksi payung geulis hingga disebut juga dengan kampung wisata payung geulis.

Payung geulis memiliki rangka yang terbuat dari bambu. Setelah dirangkai dan dipasangi kain dan kertas, ujung payung geulis dirapikan dengan menggunakan kanji. Selanjutnya, agar terlihat lebih menarik, rangka bagian dalam payung pun diberi benang warna–warni dan proses ini disebut ngararawat.

Proses pembuatan payung geulis bergantung pada sinar matahari, karena setelah diberi kanji, maka langkah selanjutnya payung akan dijemur hingga keras. Payung pun kemudian diberi warna, serta dilukis dengan corak bunga.

Semua proses pembuatan payung geulis tersebut dibuat secara manual atau dengan buatan tangan sendiri (handmade) kecuali gagang payung yang dibuat dengan menggunakan mesin.*

 

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

 

error: Content is protected !!