Koropak.co.id – Pada awal abad ke-20, barisan ruko yang khas mendominasi pemandangan di semua kawasan pecinan yang ada di Bumi Nusantara, salah satunya seperti yang ada di Jalan Petekoan Jakarta. Rata-rata lebar dari ruko yang berjejeran di kawasan pecinan tersebut antara 3-5 meter dengan panjang 5-8 kali dari lebarnya.
Konsep yang diambil dari bangunan itu berasal dari Tiongkok kuno yang menetapkan bahwa rumah kena pajak yang dibangun itu tergantung dengan lebar dinding yang menghadap ke jalan.
Sementara itu, untuk masalah pencahayaan bagi gedung sempit dan panjang ini diatasi dengan membuat sebuah bukaan dibagian tengahnya yang tidak terlihat dari luar.
Olivier Johannes Raap dalam bukunya ‘Kota Di Djawa Tempo Doeloe’ menuliskan, sampai dengan abad ke-19, di berbagai kota di nusantara masih banyak rumah Tionghoa berlantai satu dan berbahan yang sama seperti rumah pribumi yaitu menggunakan bahan kayu dan bambu.
“Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan model lama itu berganti menjadi model baru dengan pengaplikasian dinding bata yang tebal dan bersinggungan tegak lurus dengan jalan. Kemudian juga atap perisainya dibuat dari genting dan dinding bata yang dibagi dengan rumah tetangga selalu lebih tinggi dibanding atap, karena berfungsi sebagai dinding api,” tulisnya.
Olivier menambahkan, contoh lainnya kawasan pecinan di Cianjur yang dibangun diantara pusat kota dan dekat dengan pasar di sepanjang Jalan Raya Bogor-Bandung yang dahulunya merupakan bagian dari Jalan Pos. Akan tetapi kini jalan tersebut berganti nama menjadi Jalan Mangunsarkoso.
“Pada awalnya disana banyak sekali ruko yang dibangun sangat sederhana dengan satu lantai saja. Selain itu, generasi imigran Tionghoa pertama banyak yang belum berencana untuk menetap,” tambahnya.
Namun, pada pertengahan abad ke-19, semakin banyak orang Tionghoa yang beruntung, sehingga mereka memutuskan untuk tidak pulang dan menetap dengan membangun rumah yang lebih besar, lebih bagus dan kaya akan hiasan khas seperti di negeri mereka.
Baca : Menelusuri Sejarah Berdirinya Pecinan di Bumi Nusantara
Tercatat sekitar tahun 1684, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membangun sebuah veldschans atau benteng di tengah lapangan di tepi Sungai Cisadane sebagai garda pertahanan terdepan di wilayah barat Batavia.
Keberadaan benteng inilah yang ternyata menjadi alasan mengapa penghuni pecinan yang berada di sisi selatannya dijuluki Cina Benteng. Diketahui, sebelumnya VOC sendiri mulai merambah hutan di daerah itu untuk dijadikan tanah agraris.
Disana mereka mengontrakan pekerjaannya kepada orang Tionghoa, begitu juga dengan para pendatangnya yang dipekerjakan untuk membangun benteng dan disana terjadi kelas pedagang sebagai penjual aneka kebutuhan.
Dikarenakan penduduk disana banyak keturunan Dinasti Tang yang dalam dialek Hokian disebut Tang Lang, maka kota yang tumbuh disana pun disebut dengan nama Tangerang. Sedangkan menurut sumber lain, nama Tangerang berasal dari kata tengger atau yang dalam bahasa Sunda berarti tanda.
Seperti biasanya disana, pecinan dibangun di sekitar Pasar Lama yang berada di Jalan Syekh Yusuf dan tidak jauh dari klenteng. Selain itu, sejak pendirian Kota Batavia, jumlah penduduk bermata sipit disana begitu dominan hingga pada akhirnya kota ini pun lebih mirip koloni Tionghoa dibandingkan dengan koloni Belanda.
Pada awalnya juga banyak sekali orang Tionghoa yang tinggal di tembok kota, namun setelah terjadinya pemberontakan Tionghoa (1740) membuat mereka tidak boleh tinggal disana. Hingga pada akhirnya kawasan yang letaknya berada di selatan pintu kecil diluar tembok kota pun ditetapkan sebagai tempat tinggal orang Tionghoa.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, gedung pintu kecil yang dibangun pada 1638 pun sudah hilang dan tinggal kenangan saja dalam bentuk nama jalan. Kemudian di sungai yang bermuara di Kali Ciliwung pada masa itu, terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan antara Jalan Pintu Kecil dengan Jalan Pancoran.
Tercatat pada akhir abad ke-18, aliran air yang ada pada sungai itu merupakan batas selatan pecinan Batavia. Saat itu, kawasan Toko Tiga yang ada disana menjadi pusat pecinan. Bahkan di atas sungai turut dibangun sebuah kakus yang berarti rumah tahi.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini