Koropak.co.id - Sebagai provinsi yang kebanyakan dihuni oleh masyarakat Sunda, selain keanekaragaman seni dan budayanya, Jawa Barat juga memiliki banyak sekali permainan tradisional yang unik dan menghibur.
Bahkan tidak banyak yang tahu juga melalui permainan tradisional, bisa mempererat tali pertemanan hingga dapat dijadikan sebagai ajang mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki oleh seseorang.
Selain itu, minimnya fasilitas teknologi di zaman dahulu membuat para anak pun bebas mengekspresikan berbagai aktivitasnya di luar rumah dengan saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain bersama teman-temannya melalui permainan tradisional.
Salah satu permainan tradisional khas Jawa Barat yang unik itu adalah Sorodot Gaplok. Diketahui, permainan tradisional yang satu ini juga sarat akan nilai edukasi bagi yang memainkannya.
Dilansir dari berbagai sumber, permainan ini sendiri berasal dari dua kalimat Bahasa Sunda yaitu Sorodot yang berarti ‘meluncur’ dan Gaplok yang berarti ‘tamparan’.
Sehingga, Sorodot Gaplok pun bisa diartikan sebagai permainan meluncurkan batu ke batu lainnya dan nantinya bisa menimbulkan suara ‘plok’ seperti suara tamparan.
Permainan ini biasanya dilakukan oleh dua kelompok dengan jumlah genap. Konon katanya, permainan ini dapat melatih jiwa kepemimpinan serta kerjasama tim yang baik hingga meningkatkan konsentrasi dari masing-masing pemainnya.
Baca : Cobalah Lima Permainan Tradisional Sunda Ini, Dijamin Seru!
Permainan yang menggunakan batu sebagai alat permainannya ini juga biasanya dimainkan oleh anak laki-laki saja. Dalam permainannya, setelah dibagi menjadi dua tim maka langkah selanjutnya yakni harus menentukan tim mana yang akan bermain terlebih dahulu serta tim mana yang menjadi penjaga dan biasanya ditentukan dengan cara suit.
Cara bermain dari permainan tradisional ini sangat unik, yakni pemainnya terdiri dari beberapa orang dan masing-masing pemain akan memiliki satu buah batu atau media lain.
Setiap bermain sorodot gaplok, harus disediakan juga arena berupa lahan luas dengan 3 garis. Untuk garis pertama digunakan sebagai garis mulai, garis kedua sebagai garis tengah dan garis ketiga sebagai tempat menyimpan batu.
Cara bermain permainan ini adalah pemain akan dibagi menjadi dua kelompok dengan teknis bergiliran. Saat satu kelompok bermain, maka kelompok yang lain harus meletakan batu di garis ketiga.
Setelah itu, para pemain giliran pertama akan berada di garis mulai untuk melemparkan batu menuju sasaran yang dimana batu kelompok lawan menjadi sasarannya.
Jika batu milik pemain tersebut berhasil mengenai batu lawan atau sasaran, maka pemain itu langsung beralih ke garis tengah. Di garis ini, pemain harus meletakan batu miliknya diatas punggung kaki, lalu kembali mengarahkan batunya ke sasaran yang sama dengan syarat pemain itu tidak boleh melangkahkan kaki lebih dari dua kali.
Apabila setiap pemain dari satu kelompok itu berhasil melalui tahap demi tahap, maka kelompok tersebut akan dinyatakan sebagai pemenangnya. Namun jika satu atau semua pemain tidak berhasil, maka kelompok lain akan mendapat giliran bermain.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Yogyakarta - Jemparingan dikenal sebagai olahraga panahan khas Kerajaan Mataram yang berasal dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Olahraga panahan yang dikenal juga dengan jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta ini, dapat ditelusuri keberadaannya sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta.
Raja pertama Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), disebutkan menjadi sosok yang mendorong pengikutnya untuk belajar memanah. Hal itu dilakukan sebagai sarana untuk membentuk watak ksatria.
Adapun Watak ksatria yang dimaksud itu adalah empat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan sebagai pegangan oleh rakyat Yogyakarta, yaitu sawiji atau konsentrasi, greget atau semangat, sengguh atau rasa percaya diri, dan ora mingkuh atau memiliki rasa tanggung jawab.
Diceritakan pada awalnya, permainan yang satu ini hanya dilakukan di kalangan keluarga Kerajaan Mataram, dan dijadikan sebagai ajang perlombaan di kalangan prajurit kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, seni memanah itu pun kini semakin diminati dan dimainkan oleh banyak orang dari kalangan rakyat biasa.
Jemparingan ini juga memiliki filosofi yang bertujuan untuk pembentukan watak, salah satunya sawiji. Oleh karena itulah, jemparingan berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah dalam membidik target dengan tepat.
Selain itu, apabila olahraga panahan biasanya dilakukan sambil berdiri, jemparingan justru dilakukan dalam posisi duduk bersila. Tak hanya itu saja, pemanah jemparingan juga tidak membidik dengan mata. Akan tetapi memposisikan busur di hadapan perutnya, sehingga bidikannya itu didasarkan pada perasaan pemanah.
Diketahui, gaya memanah yang dilakukan tersebut juga sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, yakni pamenthanging gandewa pamanthening cipta, atau yang berarti membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik.
Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthening cipta ini bermakna bahwa manusia yang memiliki cita-cita itu hendaknya berkonsentrasi penuh pada cita-citanya agar dapat tercapai. Sementara itu, jemparingan sendiri berasal dari kata jemparing yang berarti anak panah.
Tak hanya itu saja, permainan jemparingan ini juga memiliki nama sendiri untuk perlengkapan yang menyertainya. Jemparing atau anak panah, biasanya terdiri dari deder atau batang anak panah, bedor atau mata panah, wulu atau bulu pada pangkal panah, dan nyenyep atau bagian pangkal dari jemparing yang diletakkan pada tali busur saat memanah.
Kemudian untuk busurnya dinamakan gandewa, dan terdiri dari cengkolak atau pegangan busur, lar atau bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak, serta kendheng atau tali busur yang masing-masing ujungnya itu dikaitkan pada ujung-ujung lar.
Baca: Irama Gejog Lesung Sayup Menggema di Yogyakarta
Sementara untuk sasarannya disebut dengan wong-wongan atau bandulan yang berbentuk silinder tegak dengan panjang 30 centimeter dan berdiameter 3 centimeter. Lalu, sekitar 5 centimeter bagian atas silinder yang diberi warna merah dan dinamakan molo atau sirah (kepala). Kemudian untuk bagian bawahnya diberi warnah putih, dan dinamakan awak atau badan.
Selanjutnya, pertemuan antara molo dan awak akan diberi warna kuning setebal 1 centimeter dan dinamakan jangga atau leher. Di bawah bandulan akan digantung sebuah bola kecil, dimana pemanah akan mendapat pengurangan nilai apabila mengenai bola ini. Sedangkan di bagian atasnya, digantung lonceng kecil yang akan berdenting setiap kali jemparing mengenai bandulan.
Gandewa dan jemparing itu dibuat khusus oleh pengrajin yang disesuaikan dengan postur tubuh pemanah, salah satunya adalah rentang tangan pemanah. Penyesuaian ini tentunya sangat diperlukan agar pemanah nantinya merasa nyaman dan dapat memanah dengan optimal. Oleh karena itulah perlengkapan jemparingan akan bersifat pribadi dan sulit untuk dipinjamkan.
Dikarenakan jemparingan dilakukan dalam posisi duduk bersila, maka saat memainkannya, seseorang yang memegang busur dan anak panah itu akan duduk menyamping dengan busur ditarik ke arah kepala sebelum ditembakkan ke arah wong-wongan.
Pemanah juga harus berusaha mengenai sasaran dengan tepat. Semakin banyak banyak anak panah yang mengenai bandulan, maka semakin banyak pula nilai yang didapatkan.
Terlebih lagi jika mengenai molo yang berwarna merah. Meskipun begitu, jangan sampai mengenai bola kecil di bawah bandulan apabila tidak ingin mendapatkan pengurangan nilai. Seiring berkembangnya zaman, jemparingan pun kini mulai mengalami beberapa perubahan. Saat ini, terdapat berbagai cara memanah dan bentuk sasaran yang dibidik.
Akan tetapi, semuanya itu juga tetap berpijak pada filosofi jemparingan sebagai sarana untuk melatih konsentrasi. Di sisi lain, beberapa orang juga kini tidak lagi membidik dengan posisi gandewa di depan perut. Namun dalam posisi sedikit miring, sehingga pemanah dapat membidik dengan mata.
Setelah sebelumnya sempat terancam hampir punah dikarenakan peminatnya yang semakin sedikit, terutama setelah meninggalnya salah satu pendukung jemparingan, Paku Alam VIII. Akan tetapi dewasa ini seni memanah tradisional itu justru digandrungi oleh generasi muda, terutama di lingkungan Yogyakarta.
Di lingkungan Keraton Yogyakarta, permainan jemparingan juga rutin melaksanakan latihan setiap minggu. Para pemanah, dalam busana khas Jawa, kebaya dan batik untuk wanita, lalu surjan, kain batik dan blangkon untuk kaum pria, akan merentang busur untuk menempa hati, memusatkan pikiran dan konsentrasi untuk sebuah tujuan yang ingin dicapai.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Kalimantan Tengah - Bulan April dan Mei menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh para petani di pedesaan Nusantara. Pasalnya dalam periode itu, hamparan padi di sawah sudah siap untuk dipanen.
Di masa itu juga seluruh masyarakat desa akan saling gotong royong untuk menuai hasil panen sekaligus juga untuk merayakan rasa syukur atas berkah panen yang diraih.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah (Kalteng). Diketahui, mereka mempunyai tradisi dalam menyambut panen padi yang diturunkan oleh nenek moyang Dayak sejak zaman dahulu kala. Mangenta namanya.
Tradisi yang berupa kegiatan kaum petani dalam mengungkapkan rasa syukur atas dimulainya musim panen padi itu tetap lestari dan terjaga dengan baik hingga saat ini. Disebutkan bahwa masyarakat Dayak pada zaman dahulu, menjaga tradisi mangenta ini dengan tujuan untuk mendahului masa berkembang biaknya hama padi seperti tikus, burung, atau serangga.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat pun akan beramai-ramai membuat kenta, makanan khas Dayak Kalteng berbahan dasar ketan. Kenta yang dimasak itu akan disangrai dan ditumbuk dalam lesung. Menariknya lagi, makanan ini hanya disajikan pada momen tertentu, seperti saat upacara adat atau pernikahan suku Dayak Ngaju.
Selain itu, tradisi ini dilakukan suku Dayak yang berdiam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan. Di sisi lain, mangenta juga dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi atau istilah adatnya, prosesi kuman behas taheta atau makan beras baru.
Baca: Ongkek, Sesaji dalam Ritual Yadnya Kasada yang Penuh dengan Makna
Adapun bahan yang diperlukan untuk membuat kenta diantaranya padi ketan, kelapa muda, gula putih atau gula merah, dan air kelapa muda. Sementara itu, untuk cara membuatnya dimulai dengan menyangrai padi ketan yang sudah direndam dan ditiriskan selama kurang lebih 10 menit dengan api sedang.
Setelah itu, padi yang sudah disangrai itu kemudian ditumbuk hingga halus. Sedangkan untuk cara memasak kenta, langkah pertamanya adalah menambahkan air kelapa secukupnya pada kenta yang sudah bersih lalu diamkan selama kurang lebih lima menit.
Selanjutkan tambahkan gula pasir atau gula merah, parutan kelapa serta garam secukupnya. Terakhir, aduk semuanya hingga tercampur rata dan diamkan kurang lebih lima menit. Kenta pun siap untuk dihidangkan.
Tak hanya itu saja, kenta juga dapat diseduh dengan air panas lalu diberi campuran susu. Tekstur kenta yang kenyal dan bercitarasa manis, tentunya membuat olahan yang satu ini akan terasa semakin nikmat.
Namun sayangnya seiring berjalannya waktu, saat ini banyak generasi muda Kalteng bahkan keturunan Dayak sendiri tidak mengetahui tentang tradisi mangenta ataupun makanan kenta.
Oleh karena itulah, berbagai upaya untuk mengenalkan tradisi nenek moyang ini bisa dilakukan dengan tidak hanya sekadar varian original saja. Pasalnya penganan tradisional kenta juga bisa menjadi kuliner modern yang digemari semua orang termasuk generasi milenial.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Barat - Tahukah kamu? Masyarakat Minangkabau, khususnya yang tinggal di Padang Pariaman, Sumatra Barat, memiliki tradisi saling gotong royong untuk warganya yang dikenal dengan nama "Badoncek".
Tradisi badoncek digelar dengan tujuan untuk mengumpulkan dana dari masyarakat. Nantinya, dana yang sudah dikumpulkan itu akan digunakan demi kepentingan adat, sosial, dan agama. Hal ini tentunya sangat berguna sekali, demi mengatasi persoalan dana yang tidak bisa diatasi secara perorangan.
Dilansir dari laman dari Antara, berbicara mengenai sejarahnya, tradisi ini lahir karena sebuah falsafah Minang "Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang" yang berarti "berat sama dipikul dan ringan sama-sama harus dijunjung".
Dalam pelaksanaannya, biasanya tradisi Badoncek ini dilakukan saat acara halal bihalal atau tepatnya saat para perantau kembali ke kampung halamannya. Para perantau inilah yang kemudian akan bersaing memberikan sumbangan terbaik, sebagai wujud cintanya kepada kampung halamannya.
Adapun kegiatan Badoncek sendiri berasal dari kata doncek yang berarti melompat atau melempar. Hal ini di maksudkan agar uang yang diberikan dengan cara melemparkannya ke atas meja itu dilakukan secara terbuka dan disaksikan khalayak ramai.
Sementara untuk istilah canang atau janang, mengacu kepada seseorang yang sangat mahir dalam memainkan kata untuk menarik perhatian para penonton. Selain itu, canang juga kerap menjadi pusat perhatian dalam kegiatan Badoncek.
Baca: Menguak Misteri Buk Buk Neng, Tradisi Masyarakat Mojokerto dalam Mencari Orang Hilang
Jihan Raffah Syafni dalam "Kearifan Lokal Minangkabau dalam Tradisi Lisan 'Badoncek' di Pariaman" menyebutkan bahwa canang itu harus mampu menarik hati, perasaan dan emosi penonton, agar nantinya sumbangan yang diberikan bisa lebih banyak lagi.
Dikarenakan badoncek ini diadakan pada malam hari, maka biasanya tamu yang masih tersisa adalah kerabat dekat dan masyarakat setempat. Mereka inilah yang nantinya akan terlibat langsung sebagai peserta Badoncek. Dalam pelaksanaannya juga, semakin tinggi status sosialnya, maka semakin banyak uang yang akan terkumpul.
Melalui tradisi ini juga akan terlihat prestise sebuah keluarga di tengah masyarakat. Terlebih lagi setelah uang terkumpul, canang juga akan mengumumkan besaran uang yang diperoleh. Dalam sebuah artikel berjudul "Badoncek dalam Tradisi Masyarakat Padang Pariaman Sumatra Barat" disebutkan bahwa masyarakat Minangkabau bisa mengumpulkan uang dalam jumlah nominal yang cukup besar.
Akan tetapi, hal tersebut juga tergantung dari keahlian Tukang Janang yang memainkan perannya. Diceritakan pada awalnya Tukang Janang akan memanggil nama warga secara acak. Kemudian nama yang disebutkan itu akan menyumbangkan uang yang dimilikinya.
Setelah seluruh dana berhasil dikumpulkan, dan nantinya akan digunakan untuk membangun masjid hingga membangun sarana dan prasarana lainnya. Selain itu, biasanya tujuan pengambilan dana ini sudah disampaikan terlebih dahulu.
Tradisi Badoncek ini di dalamnya sangat terlihat sekali semangat kebersamaan, dan nilai gotong royongnya. Di sisi lain, hal ini sebagai wujud hubungan sosial yang erat antar sesama masyarakat khususnya bagi perantau.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Masyarakat Tengger yang tinggal di Jawa Timur, mengenal semacam sesaji yang disebut dengan ongkek. Bagi mereka, ongkek tersebut mempunyai makna filosofis yang mendalam dan tidak bisa dibuat dengan sembarangan.
Selain itu, masyarakat Tengger juga mempunyai beragam tradisi dan adat istiadat yang masih dilestarikan dan tetap terjaga hingga saat ini, tak terkecuali juga ritual adat yang rutin dilakukan.
Salah satu ritual adat yang biasa dilakukan masyarakat Tengger adalah Yadnya Kasada. Ritual ini dilaksanakan sebagai simbol rasa hormat dan wujud syukur masyarakat Tengger kepada leluhur mereka.
Tak hanya itu saja ritual adat ini juga dijadikan sebagai sarana penyucian diri. Dalam ritual adat Yadnya Kasada, terdapat sesaji yang dihadirkan sebagai persembahan kepada leluhur. Ongkek namanya.
Sesaji itu menjadi suatu hal yang penting dan tak boleh terlewat setiap momen Yadnya Kasada tiba. Oleh karena itulah, sebelum Yadnya Kasada dimulai, masyarakat Tengger sudah sibuk membuat ongkek.
Biasanya, sesaji ongkek ini akan terdiri dari hasil bumi seperti buah, sayur, dan umbi-umbian. Selain bermakna sebagai wujud rasa syukur, semua yang disediakan oleh masyarakat Tengger itu juga untuk mengenang leluhur mereka, yakni Joko Seger dan Roro Anteng.
Baca: Cerita Rakyat Dewi Rara Anteng dan Raden Jaka Seger
Dalam pembuatannya, aneka hasil bumi akan dirangkai dan ditata sedemikian rupa. Bahkan, agar tampak rapi, hasil bumi tersebut disusun menggunakan tian penyangga yang terbuat dari bambu. Hasilnya maka akan jadilah ongkek yang berbentuk melengkung seperti gapura penuh dengan hiasan berwarna-warni hasil bumi.
Setelah jadi, ongkek tersebut akan dibawa warga desa ke Pura Luhur Poten yang berada di kaki Gunung Bromo, tempat di mana upacara dan doa bersama diadakan.
Kemudian setelah itu, ongkek akan dibawa lagi ke kawah Gunung Bromo untuk dilarung. Selain itu, ongkek ini juga ternyata tidak boleh dibuat dan dibawa ke Gunung Bromo secara sembarangan oleh warga desa.
Sebab, ada aturan yang harus ditaati oleh warga desa, yakni di desa tidak boleh sedang dilanda momen berduka, seperti musibah atau adanya orang yang meninggal dunia menjelang Yadnya Kasada. Sehingga dengan kata lain, desa tersebut harus benar-benar dalam keadaan "bersih".
Sementara itu, untuk pelaksanaan Yadnya Kasada pada 2023 ini, rencananya akan dilaksanakan pada 3 s.d 5 Juni 2023 mendatang. Di tanggal itu, masyarakat Tengger yang tinggal di sekitar Gunung Bromo pun dapat kembali melarung ongkek apabila tidak ada duka yang menyelimuti desanya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Biasanya saat ada seseorang yang dinyatakan hilang, maka respon pertama yang akan kita lakukan adalah dengan mencarinya. Selain mencarinya sendiri, kita juga turut meminta bantuan tim pencari profesional seperti tim SAR dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi penyebab hilangnya seseorang itu bisa dilandasi oleh banyak faktor, contohnya seseorang bisa hilang di jalur pendakian akibat kondisi cuaca yang buruk atau tersesat.
Lantas, bagaimana proses pencarian orang hilang akibat diculik oleh makhluk gaib?
Bisa dikatakan, kejadian orang hilang di Indonesia kerap sekali dikaitkan dengan sosok tak kasat mata atau mahluk gaib, baik itu sosok genderuwo, kuntilanak atau kalong wewe.
Ketika ada orang yang hilang dan diyakini diculik oleh mahluk gaib, maka biasanya akan ada sebuah ritual tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Nusantara. Seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Mojokerto, Jawa Timur.
Saat ada orang yang hilang terutama hilangnya itu secara tidak wajar, biasanya masyarakat setempat akan menggelar tradisi yang dinamakan Buk-Buk Neng. Masyarakat Mojokerto sendiri hingga saat ini masih menjaga dan melestarikan tradisi yang ada.
Baca: Ketika Nasi Disalawatkan dalam Tradisi Panjang Jimat di Cirebon
Bukti itu pun diperkuat dengan masih adanya tradisi Buk-Buk Neng yang dilaksanakan ketika ada salah satu masyarakat yang hilang. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh sebagian masyarakat ketika proses pencarian korban hilang itu sudah memakan waktu berhari-hari dan tak kunjung ditemukan.
Untuk proses penelusuran korban hilang dengan tradisi Buk-Buk Neng ini terbilang sangatlah unik. Dalam pelaksanaannya, para warga setempat akan ramai-ramai membawa peralatan dapur seperti wajan, panci, baskom atau nampah.
Kemudian setelah itu semua alat dapur yang mereka bawa pun akan dipukul sambil berkeliling dan meneriaki nama korban yang sedang dicari. Berdasarkan kepercayaan yang berkembang, masyarakat setempat meyakini melalui tradisi ini, si mahluk gaib yang menculik korban akan berjoget ketika mendengar tabuhan dari alat dapur.
Sehingga, pada saat mahluk gaib itu sedang tidak fokus dengan tawanannya, maka si tawanan akan kabur hingga pada akhirnya dapat ditemukan oleh warga. Sebelum melakukan ritual buk-buk neng, anggota keluarga biasanya akan menggelar selamatan.
Selain memanjatkan doa, mereka juga akan mengirimkan sesaji di lokasi hilangnya korban. Terlepas dari percaya atau tidak, setelah dilakukan buk-buk neng itu orang yang dicari bisa ditemukan, baik dalam keadaan hidup atau sekadar menemukan jasadnya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Banyuwangi, Jawa Timur memiliki tarian sakral yang dikenal dengan nama Tari Seblang. Tarian tradisional khas Banyuwangi itu biasanya digelar pada awal bulan Syawal, atau tepatnya dimulai sejak 3 Syawal.
Diketahui, hingga saat ini, tercatat ada dua wilayah di Kecamatan Glagah, Banyuwangi yang masih menyelenggarakan tari Seblang, yaitu Desa Olehsari dan Bakungan.
Meskipun dua wilayah itu berada dalam satu kecamatan yang sama dan juga memiliki nama yang sama yakni Seblang, namun tradisi yang dijalankan kedua wilayah tersebut memiliki sedikit perbedaan. Oleh karena itulah muncul nama, Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan yang memiliki tujuan sama.
Tari Seblang digelar sebagai ritual bersih desa suku Osing di Banyuwangi yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut. Selain itu, tari Seblang juga dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Tak hanya itu saja, tarian ini juga sebagai bentuk permohonan agar seluruh warga desa bisa diberi kedamaian, ketenangan, keamanan, dan kemudahan dalam mendapatkan rezeki yang halal sekaligus juga agar senantiasa dijauhkan dari segala marabahaya.
Biasanya para penari yang menarikan Tari Seblang itu merupakan turunan dari penari sebelumnya yang dipilih oleh dukun setempat secara supranatural. Bahkan, untuk sinden dan pemain gamelannya juga masih memiliki hubungan darah dengan penari sebelumnya.
Setidaknya terdapat perbedaan penari tari Seblang Olehsari dan Bakungan. Untuk penari Seblang Olehsari, akan dimainkan oleh anak perempuan berusia sembilan tahun dan belum mengalami mentruasi.
Sedangkan untuk penari Seblang Bakungan, akan dimainkan oleh wanita tua berusia 50 tahun ke atas atau sudah manapouse. Disebutkan bahwa tari seblang juga melibatkan kegiatan mistis. Dalam pertunjukannya, sang penari akan dirasuki roh halus agar dapat menari.
Sebelum menari, seorang pawang akan mengasapi penari dengan asap dupa sembari mengucapkan mantera tertentu. Adapun tujuan dari pembacaan mantera tersebut agar roh halus bisa masuk ke dalam tubuh penari. Sehingga dengan mata terpejam, penari akan dapat mengikuti arahan pawang dengan irama gending.
Baca: Tari Gending Sriwijaya, Tarian Kolosal Refresentasi Nenek Moyang Nusantara
Tarian ini akan dilakukan selama enam s.d tujuh jam, dan setelah kerasukan penari akan berputar di atas panggung bundar selama tiga hingga empat kali secara terus-menerus. Kemudian sesekali, para tetua desa juga akan mengikuti penari di belakang.
Penari juga akan menari dengan iringan gamelan dan nyanyian yang dibawakan oleh sinden. Setelah itu akan digelar pembagian kembang tujuh rupa yang konon katanya dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan membuang sial.
Penari pun akan menggunakan semacam mahkota yang disebut omprog dan terbuat dari pucuk daun pisang kapok yang dihiasi berbagai bunga berbau wangi. Proses pembuatan omprog juga dilakukan secara magis dengan pembakaran dupa sebagai pelengkapnya.
Kemudian setelah itu, mahkota pun akan dipasang melingkar di kepala penari hingga menutup sebagian wajahnya. Selanjutnya, tetua adat akan mengasapi penari Seblang dengan dupa sambil mengucapkan sejumlah mantera agar roh leluhur bisa masuk ke dalam tubuh penari dengan diiringi Gending Lukinto.
Gending tersebut dipercaya masyarakat setempat untuk mendatangkan roh halus dalam ritual Seblang. Untuk memastikan roh leluhur sudah masuk ke dalam tubuh penari, tetua adat pun cukup dengan menggoyangkan tubuh penari ke kanan dan ke kiri.
Jika nampan bambu yang dibawa penari itu terjatuh dan badan penari juga terjungkal ke belakang, maka roh sudah masuk ke dalam tubuh penari. Berbicara mengenai busana yang dipakai dalam tariannya, ternyata ada perbedaan busana yang digunakan penari Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan.
Untuk penari Seblang Olehsari, omprog yang digunakan berupa pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari. Lalu pada bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang diambil dari sekitar pemakaman, dan ada juga kaca kecil yang diletakkan di tengah omprog.
Baju yang digunakan pun dominan berwarna hijau dan kuning dengan selendang terselip di bagian pinggang. Sementara untuk penari Seblang Bakungan, akan menggunakan omprog yang terbuat dari kain kafan yang disuwir-suwir hingga menutup sebagian wajah penari.
Pada bagian atas omprognya, akan diletakkan bunga yang berasal dari kuburan. Baju yang digunakannya juga dominan berwarna kuning kemerah-merahan. Selain mengandung unsur mistik, ritual Seblang juga memberikan hiburan dikarenakan banyak adegan lucu yang ditampilkan penari Seblang.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Admin
Koropak.co.id, Jakarta - Ondel-ondel dan Jakarta ibarat dua sisi mata uang. Tak terpisahkan dan saling memberi makna. Keberadaannya bukan sepanjang penggalan. Kendati sudah ada sejak ratusan tahun lalu, hingga kini ondel-ondel masih menjadi bagian dari cerita Jakarta.
Seiring perjalanan waktu, eksistensi ondel-ondel mengalami pergeseran fungsi. Selain menjadi bagian dari acara-acara adat, termasuk sebagai bentuk syukur atas hasil panen yang melimpah, ondel-ondel juga dimainkan sebagai ikhtiar pengobatan.
Masyarakat Betawi tempo dulu memanfaatkannya untuk tolak bala. Mereka percaya mengarak ondel-ondel keliling kampung bisa mengusir wabah penyakit. Dulu, ondel-ondel dinilai sakral, karena merupakan personifikasi dari roh leluhur suku Betawi. Keberadaannya dikaitkan dengan hal-hal metafisika, seperti mengusir roh jahat.
Tapi kini, ondel-ondel sepenuhnya sudah menjadi media hiburan, bahkan ada yang menggunakannya untuk mengamen. Perkembangan zaman telah mendorong perubahan pada kesenian khas Betawi itu.
Sangat mudah untuk mengidentifikasi ondel-ondel. Perawakannya yang tinggi dan warnanya yang mencolok memudahkan siapapun untuk mengenalinya. Dalam konteks kesenian Betawi, ondel-ondel berbentuk sepasang boneka, perwakilan laki-laki dan perempuan. Karakter laki-laki berwarna merah, sedangkan yang perempuan warna putih. Dua warna itu melambangkan keseimbangan.
Rangka tubuhnya dibuat dari bambu dengan garis tengah 80 s.d. 100 centimeter. Adapun wajahnya dibuat dari kayu dengan mata berukuran besar melotot. Sementara rambutnya dibuat dari ijuk warna hitam yang diberi hiasan kembang kelapa.
Baca: Pesona Ondel-ondel yang Tak Pernah Pudar
Selain itu, ada pula mahkota yang menjadi lambang kejayaan Jakarta, baju sadaria atau ujung serong, selendang dengan motif flora, sarung kotak-kotak atau cukin, dan kebaya encim yang melambangkan hubungan dagang dengan Cina.
Adapun baju yang dikenakan ondel-ondel lelaki adalah baju sadaria atau ujung serong yang merupakan pakaian adat dari kaum lelaki masyarakat Betawi, dan ada sentuhan pengaruh dari bangsa Arab.
Selain bambu dan kayu, bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat ondel-ondel di antaranya paku dan kawat beton untuk memaku dan mengikat sambungan, tali untuk membentuk pinggang supaya ramping, daun pisang yang kering atau jerami untuk mengisi bagian kepala.
Adapun rambutnya menggunakan ijuk, lalu ada kembang kelapa dan kertas warna untuk penghias kepala, bola plastik atau tempurung kelapa untuk membuat buah dada ondel-ondel perempuan.
Ada juga fiber untuk membuat topeng, seng untuk daun telinga, kulit kambing atau benang wol untuk membuat kumis dan jambang, kain untuk pakaian ondel-ondel, kancing baju dan lain-lain.
Dalam penampilannya, pertunjukan ondel-ondel biasanya diiringi tanjidor dan musik tradisional lainnya, termasuk dikolaborasikan dengan pencak silat khas Betawi.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Masyarakat Suku Madura memiliki tradisi unik dalam rangka menyambut musim panen garam. Namanya Tradisi Nyadar.
Upacara yang dikenal juga dengan sebutan Nadar ini hingga saat ini masih rutin dilakukan oleh masyarakat di Pinggirpapas, Kabupaten Sumenep yang memang berprofesi sebagai petani garam.
Upacara nyadar ini biasanya diselenggarakan sebanyak tiga kali dalam satu tahun, dengan rentang waktu satu bulan berselang. Adapun kata Nadar atau Nyadar sendiri berasal dari kata bahasa Arab yakni Nazar yang berarti melepas niat.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat petani garam pun nantinya akan melepas niat dikarenakan keberhasilannya dalam mengusahakan garam sebagai mata pencaharian utama.
Berbicara mengenai sejarahnya, upacara nyadar ini sering dikaitkan dengan seorang pendakwah Islam bernama Syekh Angga Suto. Pendakwah Islam yang dikenal juga dengan Emba Anggasuto yang pada awalnya singgah di Cirebon, Jawa Barat itu berasal dari Timur Tengah.
Kemudian setelah itu, Angga Suto memutuskan untuk pergi ke Sumenep tepatnya ke Pulau Madura dengan tujuan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Saat berada di sekitar pantai Desa Pinggirpapas, Angga Suto pun melihat keanehan terutama saat air surut.
Diceritakan ketika air laut surut, Angga Suto melihat bekas telapak kaki yang sangat besar yang lama kelamaan berubah menjadi gumpalan garam.
Berawal dari peristiwa itulah, Emba Anggasuto lantas mengajarkan cara membuat garam kepada masyarakat sekitar. Sehingga, sejak saat itu jugalah masyarakat Desa Pinggirpapas sampai dengan saat ini berprofesi sebagai petani garam.
Sementara itu, dalam upacaranya, masyarakat setempat akan mengirim doa kepada leluhur yang mengajarkan pengolahan garam. Atau bisa dikatakan juga secara khusus upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Syekh Anggasuta.
Baca: Kala Kerinduan Istri Pelaut Tergambar Indah dalam Motif Batik Madura
Sebab, bagi masyarakat Sumenep, Syekh Anggasuta menjadi orang pertama yang menemukan cara membuat garam. Tak hanya itu saja, tradisi nyadar juga bertujuan sebagai syiar Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu agenda dalam upacaranya, yakni pembacaan naskah-naskah kuno.
Upacara nyadar ini biasanya dilakukan di tempat khusus yang sudah ditentukan sejak zaman dahulu. Untuk nyadar pertama dan kedua akan dilakukan di sekitar makam atau asta para leluhur yang ada di Desa Kebundadap Barat diantaranya makam Syekh Anggasuta, Syekh Kabasa, Syekh Dukun, dan Syekh Bangsa.
Sedangkan untuk upacara nyadar ketiga, dilakukan di Desa Pinggirpapas yang menjadi tempat pertama kalinya pengolahan garam dilakukan. Upacara Nyadar pertama dilakukan pada waktu dimulainya pembuatan garam, yakni sekitar bulan Juli.
Upacara pertama ini dilakukan antara tanggal 13 s.d 19 dalam kalender hijriah. Mengapa memakai kalender hijriah? Alasannya karena masyarakat disana mayoritasnya memeluk agama Islam.
Sementara itu, untuk upacara kedua dilakukan satu bulan setelah upacara pertama dilakukan dengan ketentuan tanggal yang sama. Begitu juga selanjutnya dengan upacara nyadar ketiga yang dilakukan satu bulan setelah upacara kedua.
Tak hanya tempatnya yang berbeda, Nyadar ketiga ini juga memiliki perbedaan secara prosesi. Dalam pelaksanaan upacara ketiga ini, masyarakat tidak melakukan ziarah ke makam para leluhur seperti halnya pada upacara pertama dan kedua.
Sebagai gantinya, di malam harinya, masyarakat akan membaca layang atau naskah kuno yang dikenal dengan Macapat. Cerita yang dibacakan berupa Jatiswara, kisah jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia.
Setelah itu, akan dibacakan juga cerita Sampurnaning Sembah, kisah jalannya bakti manusia kepada Sang Pencipta. Tak berhenti sampai disana saja, keesokan paginya, masyarakat akan menggelar upacara rasulan. Masyarakat juga akan membawa makanan dalam piring keramik, yang nantinya akan dibacakan doa dan dimakan bersama-sama.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat - Di berbagai wilayah Indonesia, biasanya perayaan Maulid Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam kerap dimeriahkan dengan berbagai tradisi unik. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Cirebon.
Menyambut peringatan kelahiran Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam, masyarakat di Cirebon biasanya akan merayakannya dengan menggelar tradisi yang dikenal dengan nama "Panjang Jimat".
Diketahui, tradisi ini merupakan refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam sekaligus juga merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulid Nabi yang dilaksanakan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Adapun kata panjang jimat sendiri berasal dari kata panjang yang berarti sebuah piring pusaka berbentuk bundar besar, pemberian seorang petapa suci bernama Sahyang Bango dari Gunung Singkup. Sedangkan kata jimat, diartikan sebagai benda pusaka yang perlu dijaga.
Selain itu, istilah jimat dalam tradisi ini juga adalah sebutan untuk nasi dalam proses saat menjadi gabah yang dikupas satu per satu biji besarnya. Sembari mengupas biji gabah yang dilakukan oleh rombongan bapak sindikasih, nasi tersebut pun akan diiringi bacaan salawat.
Rombongan itu juga nantinya akan menjadi iring-iringan ketika malam pelai panjang jimat dilaksanakan. Akan tetapi sebelum itu, pada sore harinya ada prosesi yang dinamakan lamaran atau panjang mios. Prosesi tersebut menjadi awal pemberitahuan kepada masyarakat bahwa nanti malam akan ada ritual Panjang Jimat.
Sementara itu, dalam pelaksanaan ritual panjang mios ini, Patih Qadiran bersama pinangeran dan abdi dalem akan mengiringi beberapa sajian yang akan disajikan pada saat panjang jimat. Mereka juga akan mengiringi beberapa sajian yang akan disajikan pada malam itu.
Baca: Tarik Wisatawan, Cirebon Gencar Gelar Seni Budaya di Ruang Terbuka
Selanjutnya ada juga beberapa pendukung ritual panjang mios lainnya, seperti benda secara ritual, beberapa kuliner sajian yang akan disantap bersama-sama dan dibagikan kepada masyarakat setelah prosesi ritual panjang jimat selesai.
Dalam pelaksanaannya, ritual dari Panjang Jimat ini akan dimulai dengan arak-arakan yang dilakukan sejak berada di Bangsal Prabayaksa Keraton Kasepuhan menuju Langgar Agung yang berjarak 100 meter.
Para abdi dalem pun nantinya akan berbaris dan membawa peralatan upacara lengkap dengan obor. Tak hanya itu saja, akan ada juga yang membawa manggaran, nadan, dan jantungan yang menjadi simbol kebesaran dan keagungan dengan diiringi pembacaan salawat Nabi.
Kemudian ada juga yang membawa air merah dan kembang goyang, dengan isi boreh yang melambangkan air ketuban. Sedangkan untuk kelompok lainnya, akan membawa air serbab atau air dari gula aren dalam guci yang melambangkan darah ketika bayi lahir.
Uniknya lagi, tradisi ini berhasil banyak menarik wisatawan dari daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, hingga Bandung.
Selain dikarenakan menampilkan keunikan bagi masyarakat, tradisi ini banyak diminati wisatawan karena dianggap dapat memberikan berkah kepada masyarakat yang hadir. Terutama pada saat pembacaan salawat untuk Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Tengah - Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh Wali Songo yang berdakwah dan menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus, Jawa Tengah.
Menariknya dalam dakwah yang disampaikannya, ia justru melarang masyarakat untuk menyembelih sapi saat Hari Raya Idul Adha. Lantas, apa alasannya?
Dalam ajaran agama Islam, diketahui sapi termasuk hewan yang sah untuk dijadikan kurban, bersama dengan kambing atau domba dan unta. Akan tetapi, Sunan Kudus malah meminta masyarakat agar menyembelih kerbau saat Hari Raya Idul Adha.
Adapun alasan mengapa Sunan Kudus memutuskan untuk melarang masyarakat menyembelih sapi saat pelaksanaan Hari Raya Idul Adha di wilayah Kudus dan sekitarnya, dikarenakan untuk menghargai pengikut Hindu dan Buddha di wilayah Kudus.
Erina Dwi Parawati dan kawan-kawan dalam buku "Manajemen Kerukunan Umat Beragama" menuliskan bahwa masyarakat Kudus sebelumnya sudah menganut agama Hindu dan Buddha. Bahkan saat Sunan Kudus datang juga, mayoritas masyarakat di wilayah tersebut masih menganut ajaran itu.
Rizem Aizid dalam buku "Islam Abangan dan Kehidupannya" mengatakan, alasan lain Sunan Kudus melarang masyarakat untuk menyembelih sapi, adalah untuk menarik simpati umat Hindu. Pasalnya sapi sendiri merupakan hewan yang disucikan oleh umat Hindu dan menjadi kendaraan dewata.
Tahukah kamu? Ada kisah menarik dari Sunan Kudus yang kala itu melakukan pendekatan kepada umat Hindu. Zulham Farobi dalam buku "Sejarah Wali Songo" diceritakan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi atau dalam riwayat lain Kebo Gumarang.
Baca: Hikayat Mukena, Khazanah Budaya Indonesia yang Diperkenalkan Wali Songo
Sapi tersebut merupakan sapi yang dibawa pedagang-pedagang asing yang melakukan hubungan jual-beli dengan masyarakat Jawa. Sunan Kudus pun membawa sapi tersebut ke halamannya lalu mengikatnya.
Melihat hal itu, masyarakat Kudus yang kala itu mayoritasnya masih beragama Hindu merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi tersebut. Sehingga hanya dalam sekejap saja, mereka berkumpul di tempat Sunan Kudus mengikat sapi itu.
Kepada masyarakat, Sunan Kudus pun bercerita bahwa saat ia kecil dulu pernah diselamatkan oleh seekor sapi. Ia juga bahkan mengatakan pernah nyaris meninggal karena kehausan. Namun datanglah seekor sapi yang kemudian menyusuinya hingga ia merasa segar kembali.
Demi rasa hormatnya kepada hewan yang pernah menyelamatkannya, Sunan Kudus pada akhirnya melarang masyarakat untuk menyakiti sapi. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya sapi saja, manusia juga dilarang menyakiti makhluk hidup lainnya.
Seiring berjalannya waktu, ajaran Sunan Kudus pun ternyata masih dilestarikan hingga kini. Oleh karena itulah, masyarakat di Kudus pun tidak menyembelih sapi, melainkan menyembelih kerbau saat Hari Raya Idul Adha tiba.
Hal tersebut diungkapkan Humas Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, Denny Nur Hakim. Ia menyebut bahwa masyarakat Kudus hingga saat ini masih memegang teguh tradisi dari Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi.
"Kita masih memegang teguh ajaran dari Sunan Kudus, yakni tidak menyembelih sapi, termasuk saat hari raya Idul Adha. Bukan hanya kurban, dalam kehidupan sehari-hari juga kita tidak menyembelih sapi. Sebagai gantinya, masyarakat pun memilih untuk menyembelih kerbau," ungkap Denny sebagaimana dilansir dari laman detik.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Ada banyak sekali permainan tradisional yang biasa dimainkan anak-anak di Jakarta pada zaman dahulu. Salah satunya adalah permainan tradisional asli Betawi yang dikenal dengan nama Tok Kadal.
Diketahui, sebelum mengenal gadget atau ponsel pintar, anak-anak di Jakarta dan sekitarnya, kerap memainkan permainan tradisional yang satu ini. Bahkan, permainan yang dikenal juga dengan nama kalawadi ini sangat popular hingga menjadi permainan favorit bagi anak-anak Jakarta.
Selain di Jakarta, permainan tradisional ini juga bisa ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia yang tentunya dengan nama yang berbeda-beda. Contohnya seperti gatrik hingga gelatik.
Dilansir dari laman jakarta.go.id, biasanya permainan tradisional ini dimainkan secara berkelompok dengan dibagi menjadi dua tim yang saling bergantian dalam bermain.
Berbicara mengenai sejarahnya, sayangnya tidak ada yang mengetahui secara persis kapan permainan tersebut awalnya muncul. Namun konon katanya, Tok Kadal dulunya muncul ketika anak-anak merasa terkejut atas kehadiran binatang kadal atau bengkarung.
Sehingga, secara reflek mereka pun melemparkan kadal hingga jauh dengan batang kayu. Sejak saat itulah anak-anak menjadikan kejadian tersebut menjadi sebuah permainan yang biasa dimainkan di lapangan terbuka. Akan tetapi dalam permainannya, kadal atau bengkarung diganti dengan sebatang kayu.
Baca: Mengasah Konsentrasi Anak Melalui Permainan Tradisional Encrak Khas Jawa Barat
Sebelum memainkan permainan ini, diharapkan peserta untuk terlebih dahulu mengumpulkan alat yang akan dipergunakan. Diantaranya kayu bulat dengan panjang kurang lebih 40 centimeter dan berdiameter 2,5 s.d 3 centimeter yang akan digunakan sebagai alat pemukul atau penggetok.
Selanjutnya juga ada kayu tambahan berukuran kurang lebih 10 centimeter, sebagai simbolisasi kadal atau bengkarungnya. Untuk kayunya sendiri bisa memanfaatkan kayu apapun selama kayu tersebut tidak mudah patah.
Setelah itu, gali lubang di tanah lapang dengan diameter kurang lebih 5 centimeter atau bisa diganti dengan memasangkan dua buah batu bata yang diletakkan secara berjajar dengan jarak kurang lebih 5 centimeter.
Untuk memainkan permainan Tok Kadal, awalnya para pemain harus membentuk dua kelompok dengan satu orang komandan atau ketua kelompok. Setelah regu dan ketua terbentuk, maka kedua tim bisa melakukan pengundian melalui suit untuk memulai permainan terlebih dahulu.
Bagi kelompok yang kalah dalam pengundian suit, mereka bisa berjaga di posisi yang telah disepakati. Selanjutnya, kelompok yang bermain terlebih dahulu bisa mencongkel kadal setinggi-tingginya dari lubang atau di atas batu bata yang telah disusun.
Jika kadal tersebut berhasil tertangkap oleh kelompok jaga, maka pemain yang mencongkel kadal itu dianggap mati dan dilanjutkan oleh pemain kedua. Jika tidak tertangkap, kadal tersebut nantinya akan dilemparkan ke arah pemukul. Jika terkena maka akan mati, namun jika tidak tepat, permainan pun bisa dilanjutkan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Utara - Sudah banyak yang mengetahui bahwa masyarakat Batak Toba dikenal sebagai salah satu suku di Sumatra Utara yang selalui lekat dengan musik. Mulai dari upacara adat hingga upacara keagamaan, musik pun menjadi media yang selalu dilibatkan.
Biasanya, alat musik tersebut akan dimainkan untuk mengiringi tarian seremonial tor-tor atau yang biasa dikenal dalam istilah lokalnya sebagai "adat ni gondang dohot tortor".
Berbicara mengenai alat musik khas masyarakat Batak Toba, gendang atau dalam Bahasa Batak disebut juga dengan gondang, merupakan sekelompok alat musik khas, mulai dari taganing, gordang, bahkan odap. Ketiga alat musik tersebut biasanya akan digantung di atas balok atau rak-rak kayu.
Gondang sabangunan terdiri dari lima taganing atau gendang yang mempunyai peran melodis, di antaranya, 1 gordang atau gendang besar penentu ritme, dan 3 s.d 4 ogung atau gong atau pembentuk ritme konsta.
Kemudian 1 hesek atau perkusi yang biasanya menggunakan botol kosong atau lempeng besi yang dipukul untuk membantu irama, dan sarune bolon atau alat musik tiup. Beberapa musisi menyebut taganing sebagai kelompok tujuh drum yang terdiri dari lima taganing, lalu ditambah gordang dan odap.
Akan tetapi, gordang dan odap sendiri merupakan dua instrumen yang terpisah dan memiliki fungsi yang berbeda. Sehingga, odap dapat digantikan dengan gordang atau taganing. Di sisi lain, Gondang Batak Toba ini memiliki andil penting pada setiap nada dan lagu yang dimainkan dalam setiap gelaran upacara adat hingga keagamaan.
Baca: Berawal dari Pelengkap Gondang, Terlahirlah Tari Tor Tor
Dalam pertunjukannya, alat musik ini memiliki peran ganda, yaitu sebagai pembawa melodi sekaligus juga sebagai ritme variabel dalam beberapa lagu. Tak hanya itu saja, alat musik ini juga berperan sebagai dirigen yang memberikan aba-aba dengan isyarat ritme yang harus dipatuhi seluruh anggota ansambel.
Tak berhenti sampai disana saja, alat musik ini turut memberikan semangat kepada pemain yang lain. Untuk menjadi seorang partaganing atau penabuh gendang, tentunya tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Disebutkan seseorang itu harus terlebih dahulu berguru pada pargonsi atau pemain musik gondang yang sudah memiliki keahlian bermusik. Namun, konon katanya ada seorang memiliki keahlian tersebut dari Batara Guru atau bakat.
Berdasarkan kepercayaan lama Batak Toba, seorang partaganing, bersama dengan parsarune atau peniup sarune disejajarkan dengan dewa. Hal itu dikarenakan keduanya mampu menyampaikan semua permohonan dan harapan kepada Debata Mulajadi Nabolon atau penguasa tertinggi.
Seiring berjalannya waktu, hingga saat ini alat musik tersebut masih digunakan untuk kepentingan upacara keagamaan sampai dengan hiburan. Mulai dari pernikahan, kelahiran, hingga kematian, alat musik ini tak pernah absen dan selalu mengiringinya.
Akan tetapi untuk acara keagamaan, atau dalam konteks agama Parmalim atau penganut agama leluhur, masih menggunakan alat musik ini sesuai dengan yang aslinya. Mereka menggunakan alat musik ini sebagai bentuk untuk menghormati nenek moyang.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: