Koropak.co.id - Klepon merupakan salah satu jenis jajanan tradisional Indonesia yang masih digemari dari dulu sampai dengan saat ini.
Diketahui, Klepon memiliki bentuk seperti bola-bola kecil berwarna hijau yang ditambah dengan isian gula merah atau gula Jawa, dan disajikan dengan parutan kelapa.
Memiliki tekstur kenyal dengan rasanya yang manis, biasanya klepon disajikan dan disantap sebagai camilan pada pagi dan sore hari.
Selain memiliki tampilan yang unik, ternyata jajaran pasar yang satu ini juga menyimpan sejarah dan filosofi yang menarik untuk ditelusuri.
Dilansir dari berbagai sumber, berdasarkan sejarahnya, mencatatkan bahwa jajanan tradisional klepon ini sudah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu.
J. M. Meulenhoff dalam bukunya 'Indisch leven in Nederland' menuliskan bahwa jajanan klepon sudah ada sejak tahun 1950-an. Konon kue tradisional ini pertama kalinya diperkenalkan di Negeri Kincir Angin oleh seorang imigran Indonesia yang berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.
"Saat itu, klepon sendiri tersedia di toko dan restoran Indonesia-Belanda dan etnis Tionghoa. Sementara itu, untuk asal usul dari namanya sendiri, diambil dari bahasa Jawa yang berarti 'indung telur hewan'. Kemungkinan penamaan Klepon tersebut merujuk pada bentuknya yang bulat dan kecil-kecil," tulisnya.
Sementara itu, orang-orang Jawa biasanya menyajikan klepon bersama dengan kue tradisional lainnya seperti getuk dan cenil. Selain sebagai menu sarapan, jajanan manis yang satu ini juga sering dijadikan sebagai hidangan dalam suatu acara atau pun pertemuan kampung.
Di beberapa provinsi di Indonesia, contohnya seperti di Sulawesi dan Kalimantan, klepon dikenal dengan sebutan onde-onde. Namun penyebutan onde-onde sering membuat bingung, karena oleh orang Jawa sendiri onde-onde mengacu pada kue tradisional yang dibuat dari tepung beras dan berisi adonan kacang hijau.
Selain menggugah selera, ternyata klepon juga mengandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dipelajari oleh semua orang. Dikutip dari buku 'Belajar dari Makanan Tradisional Jawa', klepon merupakan lambang kesederhanaan.
Hal itu dapat dilihat dari bahan-bahannya yang sederhana dan mudah untuk didapatkan. Tercatat, bahan-bahan untuk membuat Klepon sendiri meliputi tepung ketan, garam, pandan, gula merah, air, air kapur dan kelapa.
Baca : Sejarah Bakpia Yogyakarta, Hasil Akulturasi Perpaduan Dua Budaya
Kesederhanaan kue tradisional ini juga tampak dari cara pembuatannya yang sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Sifat sederhana, bersahaja atau tidak berlebihan ini juga merupakan perilaku terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya.
Selain itu juga, mulai dari bentuk, warna dan rasa yang ada pada Klepon pun memiliki maknanya masing-masing. Pada umumnya klepon berbentuk bulat tidak sempurna dan bentuk bulat ini melambangkan bahwa hidup seperti bulatan yang tidak diketahui mana ujung dan pangkalnya.
Bulatan yang tidak sempurna dan tidak rata itu juga menjadi simbol bahwa kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak ada yang pasti. Untuk warna hijau pada klepon berasal dari bahan pewarna alami, seperti daun suji atau daun pandan.
Warna ini melambangkan kehidupan yang di mana seseorang harus menjaga hatinya agar tetap hidup. Dengan hati yang hidup, maka dia akan selalu berusaha berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan.
Ketika disantap, klepon juga akan terasa manis dan rasa manis ini berasal dari isiannya yang berupa gula aren atau gula Jawa. Rasa yang ada pada klepon tersebut melambangkan pentingnya manusia untuk memiliki kebaikan hati.
Meskipun tidak terlihat dari luar, namun kebaikan hati itu dapat dirasakan. Klepon itu juga turut dibalur dengan parutan kelapa yang melambangkan tahapan kehidupan manusia. Seperti yang diketahui, kelapa dilapisi sabut dan batok yang keras.
Setelah kedua lapisan ini dikupas, masih ada lapisan lainnya berupa kulit ari yang berwarna kecokelatan dan kehitaman. Kemudian di balik kulit ari terdapat daging buah kelapa yang selanjutnya diparut dan dihaluskan untuk membaluri klepon.
Seperti halnya dalam hidup, kita harus melewati beberapa tahap untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Tahapan dalam membuat jajanan ini juga menyimpan sebuah makna. Meski sederhana dan bahannya mudah didapatkan, namun cara membuatnya tidak boleh sembarangan.
Untuk membuat klepon yang lezat, dibutuhkan kemampuan untuk mencampur bahan-bahan dengan takaran yang pas dan proses pembuatan klepon ini melambangkan pentingnya ketepatan, ketelitian dan kesabaran dalam melakukan berbagai pekerjaan.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari ini, 31 Maret 1962 silam, pasukan khusus angkatan laut Republik Indonesia yang dikenal dengan nama Komando Pasukan Katak (Kopaska) secara resmi didirikan oleh Presiden Ir Soekarno.
Presiden Soekarno mendirikan Kopaska untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan di Irian Barat menjelang Operasi Trikora. Tahun ini, Kopaska berusia 61 tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi garda terdepan dalam pertahanan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kopaska pun menjadi pasukan elite yang cukup disegani dalam tubuh TNI Angkatan Laut.
Meskipun Kopaska secara resmi didirikan pada 31 Maret 1962, akan tetapi sebenarnya pasukan elite angkatan laut ini sudah ada sejak 1954-an. Kapten Pelaut R. Iskak disebut-sebut sebagai "Bapak Kopaska". R. Iskak berasal dari sekolah pasukan katak Angkatan Laut di pangkalan Angkatan Laut Surabaya.
Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa Kopaska berperan penting dalam pertahanan serta keamanan negara. Pasalnya, Tak hanya terlibat Operasi Trikora, Kopaska juga berperan dalam berbagai misi penting lainnya. Kopaska sendiri memiliki semboyan "Tan Hana Wighna Tan Sirna" yang berarti "tak ada rintangan yang tak dapat diatasi".
Lantas, bagaimana sejarah terbentuknya Kopaska TNI-AL ini?
Dilansir dari Majalah Cakrawala edisi 449 Tahun 2020 terbitan Dinas Penerangan TNI-AL, diketahui bahwa pemikiran pembentukan Kopaska itu berasal dari Presiden Soekarno.
Meskipun gagasannya sudah ada sejak zaman revolusi Kemerdekaan Indonesia, namun pemikiran Bung Karno sapaan akrab Presiden Soekarno itu baru terealisasi menjelang Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Baca: Sejarah Hari Armada yang Tak Lepas dari Kelahiran TNI Angkatan Laut
Saat itu, Indonesia yang baru lahir, hidupnya dipersulit dengan adanya blokade laut yang dilakukan oleh Angkatan Laut Belanda. Ketika Belanda menguasai Irian barat, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), yang dipimpin Menteri Panglima Angkatan Laut, Raden Eddy Martadinata, secara diam-diam mengadakan latihan khusus pasukan katak.
Tercatat, hanya 12 orang saja yang lulus seleksi dan mengikuti pelatihan tersebut. Puncak latihan tertutup ini pun terjadi pada 31 Maret 1962 di halaman kolam renang Senayan, Jakarta.
Di sana, Laksamana Madya RE Martadinata akhirnya meresmikan berdirinya satuan Pasukan Katak di tubuh Angkatan Laut yang kemudian dikenal sebagai Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Saat itu, Kopaska bersifat misterius dan tidak banyak orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Selain itu pasukan elite tersebut juga dikenal sebagai satuan yang standar latihannya sangat berat.
Di sisi lain, Kopaska juga terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri/Staf Angkatan Laut Nomor Kep. M/KSAL.5401.13 pada 31 Maret 1962. Adapun tugas utama dari Kopaska adalah peledakan atau demosili bawah air, termasuk sabtotase atau penyerangan rahasia ke kapal lawan, hingga sabotase pangkalan musuh.
Kopaska juga memiliki beberapa tugas lainnya, di antaranya mempersiapkan pantai pendaratan untuk operasi amfibi yang lebih besar, penghancuran instalasi bawah air, pengintaian, anti teror di laut, dan terpedo berjiwa.
Dengan berbagai misi tergolong sangat berat dan berbahaya yang diemban Kopaska, tidak mengherankan jika pendidikan dan pelatihan untuk membentuk prajurit berkualifikasi ini juga berat dan sangat menantang.
Setiap siswa Pendidikan Komando Pasukan Katak (Dikkopaska) harus melalui berbagai tahapan pendidikan, seperti tes ketahanan air, psikotes khusus, tes kesehatan khusus bawah air, dan berbagai tes jasmani lainnya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat - Masyarakat Jawa Barat tentunya sudah tidak asing lagi dengan kue Surabi atau serabi. Ya, mungkin penganan tradisional berbentuk bulat dan berbahan dasar tepung beras ini juga sudah menjadi kuliner khas yang melegenda.
Biasanya, kuliner khas Jawa Barat ini akan disajikan bersama dengan gula aren yang dicairkan atau kinca sebagai sausnya. Namun terkadang ada juga yang lebih suka menyantapnya secara original.
Seiring berkembangnya zaman, penganan Surabi pun turut berkembang. Bahkan, ada sebagian dari para pedagangnya yang secara sengaja memodifikasi tampilannya. Sehingga, tidak mengherankan sekali jika saat ini Surabi bisa dinikmati dengan berbagai varian rasa. Ditambah lagi penyajiannya juga saat ini sudah semakin menarik.
Berbicara kreatifitas, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tepatnya di Kampung Kali Jaya RT/RW 04/09, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, ada seorang pedagang yang cukup piawai dalam memodifikasi Surabi menjadi makanan yang "Bikin Kangen".
Seperti yang diketahui, sejak zaman nenek moyang, mungkin tampilan Surabi begitu-begitu saja. Yakni memiliki tampilan berwarna putih polos dengan hiasan hitam bekas tungku pembuatan di bawahnya. Namun, pedagang di Karawang yang satu ini justru mengubah tampilan Surabi menjadi berwarna hijau.
Baca: Si Manis Jaje Laklak, Jajanan Khas Bali Mirip dengan Kue Serabi
Serabi Hijau atau dalam bahasa Sunda disebut Surabi Hejo Rengasdengklok, menjadi kuliner khas dari Kabupaten Karawang. Alasan dari penamaan itu karena disesuaikan dengan warnanya yang hijau cerah. Sehingga, hanya dengan melihat warnanya saja, mungkin setiap orang ingin mencicipi penganan tersebut.
Adalah Maat Kasim, sang inisiator dari kuliner Surabi Hejo. Ia sendiri tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan sukses secara finansial hanya karena berjualan surabi.
Diceritakan bahwa pada 1995-an, kondisi ekonomi keluarganya seketika berubah drastis, saat Kasim mulai melirik peluang usaha dari makanan rakyat itu dengan menjadi penjual Surabi hejo. Kasim mengaku, telah memiliki resep Surabi hejo sejak masih berusia sembilan tahun.
Surabi hejo buatan Kasim itu memiliki dua rasa yakni rasa gula aren dan gula durian yang rasanya sangat terjaga hingga membuatnya tak takut bersaing dengan pedagang lainnya. Dikarenakan rasanya yang sangat khas inilah, Kasim mempopulerkan penganannya itu sebagai Raja Surabi Hijau Khas Rengasdengklok.
Menariknya lagi, Serabi Hijau juga menjadi salah satu makanan khas Karawang, Jawa Barat, yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) pada 2017.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Kalimantan Selatan - Tanggal 29 Maret 1924 menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasalnya di tanggal tersebut dilaksanakan Nasional Borneo Kongres Ke-2 yang digelar di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nasional Borneo Kongres sendiri merupakan salah satu sarana politik HOS Cokroaminoto untuk tanah seberang, guna menggalang kekuatan rakyat untuk menentang kolonialisme Belanda.
Nasional Borneo Kongres dilaksanakan dengan menghimpun peserta dari wakil-wakil rakyat Kalimantan Selatan (dan Tengah), Kalimantan Timur dan wakil-wakil Sjarikat Dajak (Pakat Dajak), baik itu dari golongan Islam maupun golongan lainnya.
Melalui Nasional Borneo Kongres, Sarekat Islam (SI) berhasil meningkatkan rasa kesadaran manusia Bumiputera Borneo untuk meningkatkan derajat kehidupan rakyat Borneo agar sejajar dengan suku-suku lainnya.
Kemudian juga memuliakan kepribadian bangsa dan menghargai barang buatan sendiri, lalu bersama rakyat Hindia lainnya mencapai Kemerdekaan Hindia dengan melalui saluran hukum yang berlaku.
Baca: Kisah Pangeran Diponegoro; Tertangkap Belanda Hingga Diasingkan ke Manado
Diketahui, Sarekat Islam atau Syarikat Islam (SI) merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda memberi keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat.
Organisasi yang dulunya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) ini didirikan pada 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI juga merupakan organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia. Dalam kongres pertama SDI yang digelar di Solo pada 1906, namanya pun ditukar menjadi Sarikat Islam.
Selanjutnya pada 10 September 1912-an, berkat keadaan politik dan sosial pada masa itu, HOS Tjokroaminoto menghadap notaris B. ter Kuile di Solo untuk membuat Sarikat Islam sebagai Badan Hukum dengan Anggaran Dasar SI yang baru.
Empat hari kemudian atau tepatnya pada 14 September 1912, Sarikat Islam pun mendapatkan pengakuan dan disahkan oleh Pemerintah Belanda.
Setelah itu, HOS Tjokroaminoto mengubah yuridiksi SDI menjadi lebih luas dari yang dulunya hanya mencakupi permasalahan ekonomi dan sosial. Kemudian berkembang ke arah politik dan Agama untuk menyumbangkan semangat perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Tanggal 28 Maret 2006 menjadi hari bersejarah bagi dunia medis Indonesia. Pasalnya, tepat 17 tahun lalu, operasi transplantasi wajah pertama di Indonesia berhasil dilakukan Tim Dokter Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur.
Adapun pasien yang pertama kali mendapatkan prosedur transplantasi wajah tersebut adalah Siti Nur Jazilah, seorang wanita yang mengalami tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan menjadi korban penyiraman air keras oleh suaminya, Mulyono pada 2004.
Dilansir dari laman p2k.itbu.ac.id, penyiraman air keras yang dilakukan suaminya itu pun membuat wajah Siti Nur Jazilah atau lebih akrab disapa Lisa mengalami kerusakan dan harus direkonstruksi ulang.
Sehingga Lisa pun pada akhirnya dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo, Surabaya untuk mendapatkan operasi transplantasi wajah. Operasi transplantasi wajah yang dilakukan ini pun berbeda dengan proses rekonstruksi wajah biasanya.
Dilansir dari laman mayoclinic.org, diketahui transplantasi wajah yang dilakukan bukan hanya bertujuan untuk mengembalikan atau merekonstruksi bentuk wajah yang telah rusak, melainkan juga untuk mengganti kulit wajah.
Pergantian kulit tersebut dilakukan dengan cara mengganti keseluruhan kulit pasien dengan kulit wajah donor atau kulit pasien sendiri yang berasal dari bagian tubuh lainnya.
Baca: Sejarah Lahirnya Hari Persatuan Farmasi Indonesia
Sementara itu, dilansir dari laman bisnis.com, sebanyak 42 orang dari tim dokter dengan diketuai dokter senior, yakni dr. Mohammad Saifuddin Noor, melakukan operasi transplantasi terhadap Lisa. Setelah berlangsung selama 42 jam, tim dokter pada akhirnya berhasil melakukan transplantasi terhadap wajah Lisa.
Meskipun demikian, proses transplantasi wajah yang dilakukan itu tidak dapat memulihkan sepenuhnya wajah Lisa seperti sediakala. Di sisi lain, Lisa juga harus menjalani kurang lebih sebanyak 17 kali operasi kembali untuk mengembalikan wajahnya. Namun, wajah Lisa tetap tidak dapat kembali seperti semula.
Tercatat, operasi terakhir dilakukan pada 27 Februari 2013 dengan memperbaiki kelopak mata kanan bagian atas, bagian bibir, dan sudut pipi. Setahun kemudian atau tepatnya pada 5 Februari 2014, Lisa diperkenankan untuk pulang setelah tujuh tahun dirawat di rumah sakit.
Wanita asal Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu dilepas tim RSUD dr Soetomo Surabaya. Alasan Lisa diperbolehkan pulang, dikarenakan secara medis, lukanya sudah membaik meskipun wajah belum sempurna 100 persen.
Terlebih lagi Lisa sudah dianggap bisa hidup mandiri tanpa bantuan tim medis lagi. Meski demikian, Lisa juga masih diwajibkan untuk kontrol seminggu dua kali untuk melihat perkembangan bekas lukanya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Nama Pangeran Diponegoro tentunya sudah tidak asing lagi sebagai salah satu pahlawan nasional yang selalu dikenang oleh rakyat Indonesia.
Selain tercatat dalam pelajaran sejarah nasional, namanya juga terabadikan dalam berbagai nama jalan dan gedung-gedung megah di kota-kota besar di seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya itu saja, nama besarnya pun turut diabadikan dalam kesatuan komando wilayah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sehingga tidak mengherankan sekali jika Pangeran Diponegoro ini terekam dalam benak setiap Warga Negara Indonesia di mana pun mereka berada dan dari mana pun mereka berasal. Diketahui semasa hidupnya, Pangeran Diponegoro ini terkenal sebagai salah satu musuh Belanda yang paling sulit untuk ditaklukkan.
Bahkan perlawanan yang dilakukannya selama lima tahun mulai dari 1825 s.d 183-an, begitu merepotkan sampai membuat keuangan pemerintah kolonial kolaps. Perselisihannya dengan Belanda tersebut membuat Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan di Manado.
Lantas, bagaimana awal mula perselisihan Pangeran Diponegoro dengan Pemerintah Kolonial Belanda?
Diceritakan bahwa periode kemunduran Keraton Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengku Buwana II, membawa dampak yang sangat besar bagi perubahan budaya dan politik pemerintahan di Jawa.
Setelah meninggalnya Hamengku Buwana I, Keraton Yogyakarta mengalami banyak pertikaian, terutama akibat adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Campur tangan inilah yang membuat Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan mengangkat senjata.
Hal itu dilakukannya dengan alasan karena turut campur pihak Belanda dalam urusan kerajaan merupakan hal yang sangat bertentangan dengan hukum adat dan agama yang berlaku. Belum lagi dengan adanya sekelompok bangsawan istana dan pejabat Belanda yang bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat.
Secara garis besar perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro ini disebabkan oleh tiga hal, diantaranya sejak awal 1800-an, kekuatan kolonial berusaha untuk menanamkan pengaruh di Jawa, khususnya pada Pemerintahan kerajaan yang ada.
Selanjutnya, pertentangan politik yang dilandasi kepentingan pribadi dalam keraton, semakin lama semakin meruncing. Tak hanya itu saja, pengangkatan Hamengku Buwana V yang masih kecil dinilai membawa banyak kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk.
Baca: Mengungkap Mitos Pohon Dewandaru, Tumbuhnya dari Tongkat Pengawal Diponegoro
Di sisi lain, beban rakyat akibat pemberlakuan pajak yang berlebihan pun mengakibatkan keadaan masyarakat semakin tertekan. Selain tidak setuju dengan campur tangan Belanda terhadap urusan internal keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro juga tidak setuju dengan kebijakan pemasangan patok di tanah pribadi.
Seperti pada 1821-an, petani lokal harus menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Namun, penguasa Hindia Belanda saat itu, Van Der Capellen, menetapkan dekrit bahwa semua tanah yang disewa harus dikembalikan dengan syarat pemilik lahan memberikan kompensasi terhadap penyewa.
Hal inilah yang pada akhirnya membuat Pangeran Diponegoro semakin bertekad untuk melakukan perlawanan. Tak hanya sampai di situ saja, atas perintah Belanda, Patih Danureja sampai memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam leluhurnya.
Sebelum perang pecah, pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi diserang di Tegalrejo. Saat itu rumah Diponegoro dibakar, akan tetapi Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil meloloskan diri dengan bergerak ke arah barat melewati Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.
Mereka pun melakukan perjalanan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat Kota Bantul. Goa tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai basis Pangeran Diponegoro. Selain goa itu, ada juga Goa Kakung yang terletak dibagian barat dan dijadikan sebagai tempat pertapaannya.
Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 1827, Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Pangeran Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng, sehingga membuat pasukan Diponegoro terjepit.
Akibatnya, secara perlahan-lahan, orang-orang yang ikut dengan Pangeran Diponegoro ditangkap. Pada 1829, Kyai Mojo pemimpin spiritual pemberontakan juga ditangkap, lalu disusul dengan Pangeran Mangkubumi dan Panglima Alibasah Sentot Prawirodirjo yang menyerah kepada Belanda.
Kemudian tepat pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap Belanda di Magelang, lalu diasingkan ke Manado, hingga meninggal dunia di Makassar. Pangeran Diponegoro bersedia menyerahkan diri dengan syarat anggota perang yang tersisa dibebaskan.
Tercatat dalam pemberontakan hingga menyebabkan perang antara Pangeran Diponegoro dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang kemudian dikenal sebagai "Perang Diponegoro" dan menghabiskan waktu selama 5 tahun mulai dari 1825 s.d 1830 ini, menelan korban hingga 200.000 jiwa penduduk Jawa dan 8.000 jiwa pasukan Belanda.
Pangeran Diponegoro akhirnya wafat di pengasingan pada 8 Januari 1855, lalu jenazahnya dikebumikan di makam yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Dalam perjalanan sejarahnya, Pemerintahan Republik Indonesia (RI) pernah dipimpin oleh beberapa sosok presiden. Salah satunya adalah Soeharto.
Selain itu, dikarenakan keberhasilannya dalam menstabilkan perekonomian pasca 1965-an, ia pun menyandang gelar Bapak Pembangunan sekaligus dikenal sebagai sosok Smiling General.
Namun sebelum menjadi orang nomor satu di Indonesia, Soeharto sendiri merupakan pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda berpangkat terakhir Mayor Jenderal. Soeharto juga merupakan presiden kedua RI setelah Soekarno.
Tercatat, Soeharto mulai secara resmi menjabat sebagai presiden Indonesia sejak 27 Maret 1968-an, setelah sebelumnya menjabat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera pada 1966 dan diangkat menjadi Pejabat Presiden pada 1967 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Hari ini menjadi peristiwa yang tercatat dalam sejarah Republik Indonesia, dimana menandai kemunculannya pemerintahan sah dari Presiden Soeharto. Dengan menuai berbagai pro dan kontra, Presiden Soeharto pun berhasil menjabat sebagai presiden RI selama 32 tahun lamanya sebelum digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.
Lantas, bagaimana awal sejarah dilantiknya Soeharto sebagai Presiden RI?
Diketahui pada 17 Juni 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum ke IV dengan diketuai oleh Jenderal Abdul Haris Nasution di Jakarta. Sidang Umum itu pun mengesahkan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret kepada pemegang mandat, yaitu Soeharto dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR hasil Pemilu.
Baca: Sejarah Hari Ini, Soeharto Resmi Gantikan Soekarno Sebagai Presiden
Selain itu juga, Sidang Umum juga meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno mengenai peristiwa terjadinya Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan G30S.
Tak hanya itu saja, Sidang Umum itu juga turut meminta pertanggungjawaban mengenai penugasan pembentukan Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) kepada pengemban Supersemar sebagai pengganti Kabinet Dwikora dengan kewajiban pengutamaan program perbaikan kehidupan Rakyat.
Setelah Sidang Umum ke IV berakhir, setelah itu dilanjutkan dengan Sidang Istimewa MPRS yang dilaksanakan pada 1967-an. Sidang Istimewa tersebut juga menghasilkan 7 Ketetapan MPRS, diantaranya Ketetapan nomor XXXIV yang mencabut kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno.
Kemudian setelah itu mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga pemilihan Presiden melalui MPR hasil Pemilu, serta Pencabutan Manifesto Politik (Manipol) Sebagai Garis Besar Haluan Negara.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto pada akhirnya ditetapkan sebagai pejabat presiden setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.
Lalu pada 27 Maret 1968, sesuai dengan hasil Sidang Umum MPRS dan berdasarkan Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968, Soeharto resmi dilantik menjadi presiden. Menariknya lagi, selain menjabat sebagai presiden, Soeharto juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan atau Keamanan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Bagi masyarakat khususnya yang tinggal di Jakarta, tentunya sudah tidak asing lagi dengan kue yang satu ini. Namanya kue pancong.
Diketahui, kue pancong merupakan salah satu makanan tradisional yang berasal dari Jakarta. Makanan khas Betawi ini juga sangat disukai oleh masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta.
Jajanan yang sudah ada sejak lama atau tepatnya pada era 90-an ini seolah kembali menemukan identitasnya. Kue khas Betawi ini juga seakan terlahir kembali di dunia perkulineran Indonesia. Pasalnya, saat ini jajanan tersebut kembali populer di Indonesia.
Bahkan jajanan khas betawi ini tidak hanya diminati oleh anak-anak dan remaja saja, melainkan juga diminati oleh berbagai kalangan. Selain di Jakarta, kue pancong juga dapat ditemukan di berbagai tempat di wilayah Indonesia.
Biasanya, jajanan tradisional ini terdapat di pinggir jalan maupun dijajakan oleh penjual keliling. Kue Pancong memiliki citarasa yang manis serta gurih. Makanan khas Betawi ini juga dicetak menggunakan adonan kue dari aluminium.
Kue berbentuk setengah lingkaran dengan tekstur yang lembut ini biasanya juga terbuat dari tepung beras, tepung terigu, parutan kelapa, gula pasir, garam dan kelapa sawit.
Baca: Si Manis Jaje Laklak, Jajanan Khas Bali Mirip dengan Kue Serabi
Selain itu, jajanan khas Betawi ini juga memiliki penamaan yang berbeda-beda di setiap wilayah Indonesia. Seperti di Yogyakarta, kue itu dikenal dengan nama kue Serabi Rangin. Sedangkan di Bali, kue ini dikenal dengan nama kue Haluman, dan di Bandung dikenal dengan nama kue Bandros.
Selain memiliki rasa yang pas di lidah, kalian juga tidak perlu repot dan merasa kesulitan dalam mencari kue pancong. Pasalnya kue ini sudah banyak terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Inilah yang menjadi alasan mengapa jajanan tersebut banyak disukai oleh masyarakat.
Tak hanya di pinggir jalan, makanan khas Betawi itu juga sudah banyak dijual di berbagai tempat modern seperti kedai dan kafe. Bahkan saat ini sudah banyak penjual kue pancong yang juga menyajikan makanan tersebut dengan berkreasi seunik mungkin.
Jika pada zaman dulu kue pancong dibuat hanya dengan memberi sedikit taburan gula saja, akan tetapi di zaman yang serba modern ini, inovasi kue pancong banyak bermunculan.
Para penjual kue pancong itu berkreasi dengan mengombinasikan makanan tersebut dalam berbagai cara. Seperti dengan menambahkan topping yang berisi coklat keju, coklat susu, kue lumer setengah matang, ayam goreng hingga warna-warni.
Dengan demikian hal tersebut tentunya menambah keunikan tersendiri dan memikat daya tarik masyarakat untuk mencicipi hidangan yang berbeda dari biasanya. Pastinya, untuk harga dari kue pancong zaman sekarang juga berbeda dengan kue pancong zaman dulu.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari ini, 55 tahun lalu atau tepatnya 26 Maret 1968, Soeharto resmi menjadi Presiden kedua Republik Indonesia (RI) menggantikan Presiden pertama RI, Ir Soekarno.
Diketahui, naiknya Soeharto sebagai orang nomor satu di Indonesia menggantikan Bung Karno sapaan akrab Presiden Soekarno, ternyata tidak terlepas dari rangkaian peristiwa panjang yang terjadi setelah Gerakan satu Oktober 1965 atau Gestok.
Ingar bingar yang terjadi dalam peristiwa tersebut pun mengakibatkan munculnya Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar pada 11 Maret 1966. Hal ini jugalah yang menjadi gerbang awal bagi Soeharto dalam meraih tampuk kepemimpinannya.
Supersemar itu diberikan Presiden Soekarno kepada Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Supersemar yang diberikan tersebut berisikan instruksi untuk mengatasi situasi dan kondisi Indonesia yang tidak stabil dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu.
Supersemar juga ternyata memiliki kekuatan mengikat kepada semua orang secara hukum, bahkan Bung Karno sekali pun tidak bisa membatalkan instruksi dari surat tersebut. Hal ini jugalah yang pada akhirnya menjadi awal lahirnya TAP MPRS Nomor IX/1996 pada 21 Juni 1996.
Kemudian di hari yang sama, bersamaan dengan keluarnya peraturan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) juga mencabut gelar presiden seumur hidup yang lekat pada Bung Karno. Bahkan setelah itu, MPRS juga memberikan kewenangan sebagai pengemban Supersemar kepada Soeharto.
Hal tersebut tentunya membuat Soeharto semakin diatas angin. Setelah diberi kewenangan sebagai pengemban Supersemar, ia pun diberi mandak untuk membentuk kabinet sendiri pada 5 Juli 1966. Setelah MPRS memberikan mandat tersebut kepada Soeharto, dualisme di puncak kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto tak terhindarkan.
Baca: 12 Maret 1967; Peristiwa Bergantinya Kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto
Meskipun begitu, Soeharto tetap berhasil mendapatkan perhatian lebih setelah memanfaatkan momentum Gestok dengan menjadi Pangkopkamtib. Tidak hanya itu saja, memburuknya perekonomian Indonesia saat itu, membuat kondisi politik Soekarno semakin terdesak.
Pada 7 Februari 1967, Soekarno pun mengirim surat kepada Soeharto yang didalamnya berisikan "Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan mengarahkan Soeharto untuk melaporkan pada Presiden tentang pelaksanaan pemindahan kekuasaan ini apabila dipandang perlu".
Kemudian setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR-GR pun melakukan pertemuan dengan MPRS untuk mengajukan sidang terkait pemberhentian Presiden Soekarno pada 9 Februari 1967.
Setelah serangkaian peristiwa panjang, Soekarno pada akhirnya menyerahkan tampuk kekuasaan eksekutifnya kepada pengemban Supersemar, Soeharto pada 22 Februari 1967.
Tak lama setelahnya, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan menetapkan Soeharto sebagai penggantinya sesuai dengan yang tertuang dalam TAP MPRS Nomor. XXXIII Tahun 1967.
Selanjutnya dalam sidang MPRS pada 7 Maret 1967, Soeharto akhirnya secara resmi menjadi pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Lalu pada 26 Maret 1968, Soeharto resmi menjadi Presiden RI secara penuh dan dilantik pada sidang V MPRS yang dipimpin Jenderal AH Nasution.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Berbicara tentang minuman segar untuk berbuka puasa, pastinya Anda sudah tidak asing lagi dengan minuman yang satu ini. Namanya Es Teler.
Ya, es teler diketahui menjadi salah satu jenis sajian minuman segar yang cukup populer dan banyak digemari masyarakat Indonesia. Pasalnya es teler ini memiliki cita rasa yang dinilai ampuh dalam mengatasi rasa haus setelah seharian melaksanakan ibadah puasa.
Minuman segar ini terbuat dari berbagai potongan buah seperti kelapa muda, alpukat, nangka serta dilengkapi juga dengan santan kelapa cair, sirup pemanis dan es batu atau es serut.
Biasanya, untuk varian isian atau topping lain ke dalam es teler, bisa ditambahkan sesuai dengan selera atau kreasi penjualnya. Minuman ini begitu populer dan banyak disajikan baik di gerobak dan warung pinggir jalan hingga di berbagai rumah makan atau restoran keluarga.
Lantas, bagaimana sejarah awal terciptanya es teler hingga membuatnya bisa menjadi populer seperti sekarang?
Berdasarkan sejarahnya, diketahui es teler ini merupakan resep minuman yang dibuat oleh pasangan suami istri, Tukiman Darnowiyono dan Samijem Darmowiyono. Mereka berasal dari Desa Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah, dan merantau ke Jakarta untuk berdagang pada 1967.
Awalnya, Samijem beserta suami menjual es campur di depan rumahnya. Tanpa disangka-sangka banyak digemari orang hingga selalu laris pembeli. Selain menjual es campur, di depan rumahnya juga ia turut menjual menu makanan seperti bakso dan siomay.
Baca: Rekomendasi Minuman Nusantara yang Cocok Jadi Menu Berbuka Puasa
Barulah pada 1976-an, sajian es campur yang dijual Samijem mulai menemukan bentuk atau varian baru setelah seorang Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang saat itu masih kuliah di bilangan Salemba, Jakarta Pusat.
Mahasiswa UI yang juga merupakan pelanggan tetapnya itu minta dibuatkan racikan es campur yang disukainya yaitu menggunakan campuran kelapa muda, nangka, dan alpukat. Setelah itu, dilumuri susu kental manis dan sirup gula.
Saking sukanya dengan cita rasa es campur racikan Samijem itu, ia sampai menamai minuman tersebut dengan nama es teler. Ia menamainya begitu karena rasanya yang sangat menyegarkan dan saking lezatnya sampai membuat orang benar-benar mabuk.
"Wah, esnya bikin teler. Yaudah yayuk (sebutan Samijem) namain aja es teler," katanya kepada Samijem setelah menenggak es tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Tukiman dan Samijem yang awalnya menjual sajian es teler di depan rumahnya pun berpindah dan mendirikan kedai atau warung sendiri di Jalan Pegangsaan Barat.
Kini, resep asli es teler racikan Tukiman dan Samijem kini dijual dengan brand Es Teler Mulya Asli dan berlokasi di kompleks Bioskop Metropole, Jakarta Pusat.
Salah satu keunikan dari resep es teler Sari Mulya Asli racikan Tukiman dan Samijem adalah rasa sirup atau pemanisnya yang otentik dan diracik dengan resep khusus. Untuk penyajian dari es teler Sari Mulya Asli juga tidak menggunakan mangkok, melainkan menggunakan gelas dengan es batu berbentuk persegi dan tidak memakai es serut.
Bukan tanpa alasan, es serut yang cepat mencair disebutnya bisa membuat rasa menjadi berubah dan mengurangi rasa nikmat dari es teler. Dengan citarasanya yang bisa diterima oleh lidah banyak orang, membuat es teler sampai dengan saat ini masih menjadi salah satu minuman favorit untuk dinikmati bersama keluarga.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia atau World TB Day diperingati setiap tanggal 24 Maret. Tujuan dari peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia ini agar masyarakat lebih sadar dan peduli bahwa penyakit TBC merupakan penyakit yang masih dikategorikan sebagai epidemi di dunia, termasuk Indonesia.
Diketahui, penyakit tuberkulosis merupakan penyakit berbahaya yang bahkan bisa menjadi penyebab kematian ke-13 dan penyakit menular ke-2 setelah virus Covid-19. Penyakit ini juga telah menyebabkan 1,6 juta orang di dunia meninggal.
Menurut World Health Organizations (WHO), pada umumnya penyakit ini lebih sering dijumpai pada negara berkembang yang dibuktikan dengan lebih dari 95 persen kasusnya terjadi di negara berkembang.
Indonesia sendiri menempati urutan ke-2 di dunia dengan kasus TBC tertinggi setelah India dengan total 824.000 kasus TBC. Sehingga dengan diperingatinya Hari Tuberkulosis Sedunia ini, bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit tuberkulosis dan berupaya untuk mengakhirinya.
Lalu, bagaimana dengan sejarah Hari Peringatan Tuberkulosis Sedunia ini?
Berdasarkan catatan sejarahnya, Hari Tuberkulosis Sedunia pertama kalinya diusulkan oleh World Health Organization (WHO), salah satu organisasi kesehatan terbesar di dunia. Diceritakan pada 1882-an, Dr Robert Koch menemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab dari penyakit ini.
Sumbangsih Koch dalam menemukan kuman penyebab penyakit TBC ini tentunya merupakan hal yang sangat bernilai bagi dunia kesehatan dan umat manusia. Pasalnya, dengan ditemukannya kuman penyebab TBC, maka para peneliti mulai bisa menciptakan obat untuk menyembuhkan TBC.
Selanjutnya, obat TBC yang dikenal dengan nama streptomisin pun pertama kalinya ditemukan pada 1944-an. Setelah itu, pengembangan obat TBC terus terjadi di berbagai negara di dunia. Di sisi lain, kasus TBC ini sempat meningkat dengan angka kasusnya yang sangat drastis pada 1949 dan 1990-an.
Saat itu negara-negara maju banyak menemukan kasus TBC pada warganya. Namun, seiring perkembangan zaman, saat ini TBC hanya banyak ditemui di negara-negara berkembang dan tingkat ekonomi rendah.
Baca: Perjalanan Peringatan Hari Kesehatan Internasional
Berawal dari penemuan itulah, WHO kemudian memilih dan menetapkan tanggal 24 Maret sebagai Hari TBC sedunia dengan tujuan agar kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ini dapat menjadi suatu pencegahan.
Di satu sisi, penemuan yang dilakukan ilmuwan asal Jerman tersebut jugalah yang pada akhirnya membuka misteri dari penyakit tuberkulosis yang ternyata sudah ada berjuta-juta tahun lamanya.
Sejarah tuberkulosis yang berlangsung lama itu dapat ditelusuri hingga 9.000 tahun yang lalu di Atlit Yam, kota yang sekarang telah terbenam di bawah laut Mediterania, lepas pantai Israel. Penelusuran penyakit tersebut diperoleh dari hasil temuan fosil manusia, tepatnya ibu dan anak yang dikubur bersama oleh para arkeolog.
Awal mula penyakit TBC pertama ini ditemukan di India dan Tiongkok yang bahkan tercatat sudah ada sejak 3.300 dan 2.300 tahun yang lalu. Sedangkan di Eropa, TBC setidaknya telah merenggut 25 persen dari total kematian selama periode 1600 s.d 1800.
Sementara itu, di Indonesia, kasus TBC juga ternyata telah lama terjadi dan buktinya pun tercatat dalam salah satu relief Candi Borobudur. Relief tersebut menggambarkan penderita TBC dengan kondisi badan yang kurus kering.
Adapun bukti sejarah lainnya juga ditunjukkan dari pendirian 15 sanatorium perawatan pasien tuberkulosis Stiching Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT) sebagai yayasan bentukan Pemerintah Hindia Belanda dan banyak tersebar di pulau Jawa.
Tak hanya itu saja, mereka juga mendirikan 20 consultatie bureaux atau biro konsultasi yang memberikan penyuluhan dan pengobatan. Kemudian upaya penanganan TBC yang berantakan pada masa penjajahan Jepang mulai dibangun kembali setelah masa kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru.
Di mana pada masa itu, program pemberantasan TBC secara nasional mulai disusun. Masa pengobatan penderita TBC yang pada awalnya berlangsung selama 1 s.d 2 tahun, bisa dipersingkat menjadi 6 bulan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat - Tanggal 23 Maret 1946 menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasalnya di tanggal itu, terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan Bandung Lautan Api.
Diketahui, Bandung Lautan Api sendiri merupakan peristiwa bersejarah pasca kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 23 Maret 1946. Momentum ini tentunya begitu memiliki nilai sentimentil bagi Indonesia khususnya rakyat Bandung, Jawa Barat, karena harus menyaksikan rumah dan bangunannya terbakar oleh api.
Tercatat, sekitar 200.000 rakyat Bandung saat itu membakar rumah dan bangunan yang menjadi kediaman mereka sendiri, kemudian meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.
Bukan tanpa sebab, hal tersebut dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu yang dapat menggunakan Kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Lantas, bagaimana sejarah dari peristiwa terjadinya Bandung Lautan Api? Apa yang melatarbelakanginya?
Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun para penjajah tetap berupaya untuk merebut kembali wilayah Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan untuk mempertahankan kawasan Indonesia dari serangan penjajah.
Mudjibah Utami dalam buku "Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia (2015)", menuliskan bahwa sejarah Bandung Lautan Api dimulai dari kedatangan pasukan Inggris ke Bandung yang ditandai dengan kehadiran Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) dibawah pimpinan Kapten Gray.
Tentara Sekutu bagian dari Brigade MacDonald itu tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945. Saat itu, kondisi pemuda Bandung sendiri tengah disibukkan dengan perebutan senjata Jepang.
Bahkan tentara mereka yang kala itu diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sampai mengeluarkan ultimatum yang ditujukan pada rakyat Bandung.
Baca: Balai Kota Bandung; Sejak Zaman Kolonial Hingga Kebakaran
Dalam ultimatum pertama yang diberikan, berisi tentang Bandung yang harus dibagi menjadi dua, yakni Bandung Utara sebagai tempat kekuasaan Sekutu, dan Bandung Selatan masih dikuasai Pemerintah Indonesia. Ultimatum tersebut pun mengakibatkan terjadinya pertempuran secara sporadis di berbagai daerah.
Tentara Sekutu yang mulai terdesak, akhirnya kembali mengeluarkan ultimatum kedua yang berisikan agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00 WIB, pasukan Indonesia harus sudah meninggalkan Bandung sejauh 10 hingga 11 kilometer dari pusat kota.
Akan tetapi ultimatum itu tak diindahkan, hingga membuat tentara Indonesia mulai mengatur strategi. Namun sayangnya, ketidakseimbangan jumlah tentara Indonesia dan sekutu pada akhirnya membuat tentara Indonesia merancang operasi "Bumi Hangus".
Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI), Kolonel Abdul Haris Nasoetion selanjutnya memerintahkan pasukannya untuk mengevakuasi warga menuju tempat yang lebih aman. Setelah penduduk meninggalkan kota, operasi "Bumi Hangus" dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung pun bisa segera dilangsungkan.
Hanya dalam sekejap, seluruh Kota Bandung diselimuti gelapnya asap dan pemadaman listrik. Kondisi tersebut dimanfaatkan tentara Indonesia untuk menyerang NICA secara gerilya.
Adapun beberapa tokoh penting dalam peristiwa Bandung Lautan Api diantaranya Kolonel Abdul Haris Nasution, Sutan Syahrir, Abdul Haris Nasoetion, Atje Bastaman, dan Mayor Rukana.
Peristiwa inilah yang menginspirasi Ismail Marzuki beserta para pejuang Indonesia saat itu untuk mengubah dua baris terakhir dari lirik lagu "Halo, Halo Bandung" menjadi lebih patriotis dan membakar semangat perjuangan.
Beberapa tahun kemudian, lagu Halo, Halo Bandung pun menjadi sebuah kenangan akan emosi para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, dan menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari Meteorologi Sedunia atau World Meteorological Day setiap tahunnya diperingati pada 23 Maret di seluruh dunia. Peringatan Hari Meteorologi Sedunia ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya meteorologi atau ilmu yang mempelajari cuaca dan atmosfer.
Meteorologi merupakan salah satu ilmu yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan, pasalnya ilmu ini berguna dalam memberikan prakiraan cuaca sehari-hari, perlindungan terhadap cuaca buruk, membantu dalam mengoptimalkan kegiatan pertanian, hingga memberikan informasi penting yang dibutuhkan untuk penerbangan.
Berbicara mengenai sejarah Hari Meteorologi Sedunia pertama kalinya diperingati pada 23 Maret 1961 yang bertepatan juga dengan berdirinya Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorogical Organization (WMO) pada 23 Maret 1950.
WMO dikenal sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kerja sama internasional dalam bidang meteorologi, hidrologi dan ilmu geofisika.
Namun sebelum badan khusus ini terbentuk, diketahui International Meteorogical Organization (IMO) yang didirikan pada 1873-an tepatnya di era industri tahap awal menjadi pendahulu dari WMO. Tercatat, IMO sendiri didirikan saat Kongres Meteorologi Internasional Wina yang diselenggarakan di tahun yang sama.
Seiring berjalannya waktu, setiap tahunnya dalam peringatannya, WMO memilih tema untuk Hari Meteorologi Sedunia yang berkaitan dengan isu-isu terkini dan tantangan yang dihadapi Dunia.
Baca: World Water Day 2023; Ancaman Krisis Air Bersih di Depan Mata
Biasanya tema-tema yang diusung WMO itu juga berfokus pada topik seperti perubahan iklim, peristiwa cuaca ekstrem, kelangkaan air, dan peran meteorologi dalam pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, dilansir dari laman resmi World Meteorogical Organization (WMO), Hari Meteorologi Sedunia 2023 menjadi peringatan ke-150 tahun WMO. Peringatan Hari Meteorologi Sedunia 2023 ini juga akan menyoroti pencapaian masa lalu, kemajuan saat ini, dan potensi masa depan.
Pencapaian, kemajuan dan potensi tersebut mulai dari telegraf dan prakiraan pelayaran pada akhir abad ke-19, hingga super komputer dan teknologi luar angkasa.
Selanjutnya, untuk tema yang diangkat dalam perayaan Hari Meteorologi Sedunia yang jatuh pada 23 Maret 2023 ini adalah "The Future of Weather, Climate and Water Across Generations" atau yang berarti "Masa Depan Cuaca, Iklim dan Air Lintas Generasi".
Adapun beberapa acara yang dapat menghiasi perayaan Hari Meteorologi Sedunia, mulai dari pameran, hingga simposium dan lokakarya yang diadakan oleh organisasi meteorologi.
Acara yang diselenggarakan itu tentunya akan dapat memberikan kesempatan bagi para ilmuwan, masyarakat dan pembuat kebijakan untuk berdiskusi dan belajar tentang perkembangan dalam meteorologi dan bidang yang terkait.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: