Koropak.co.id - Ini adalah wedangan atau angkringan mantap. Telah lama jadi penanda kota Solo yang top markotop. Hik namanya.
Hik berikut dengan gerobak dan sajian makanan ala kampung tersebut telah mewarnai dan mengambil peran dalam gerak sejarah sosial masyarakat perkotaan.
Di Solo sendiri, dinamika dan kondisi sosiokultur masyarakatnya menentukan corak kekhasan tersendiri. Masyarakat Solo juga dikenal memiliki hobi nglaras atau bersantai ria dan senang jagongan atau mengobrol kesana kemari.
Selain itu, malam hari juga tidak lantas menjadi waktu untuk beristirahat penuh bagi masyarakat Solo.
Untuk memulihkan tenaga selepas bekerja seharian penuh, biasanya masyarakat Solo akan memanfaatkan waktu malam hari sebagai waktu untuk begadang dan bersendau gurau atau jagongan ngalor ngidul diskusi omong kosong.
Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, berdasarkan sejarahnya, pada tahun 1902 Kota Solo mulai dialiri listrik.
Kemudian malam hari pun mulai berubah menjadi terang dan banyak bermunculan pertunjukan layar tancap di alun-alun, gedung bioskop di taman Kebonrojo atau Sriwedari, dan lainnya.
Pada masa itu jugalah orang-orang mulai berbondong-bondong datang ke Solo layaknya urbanisasi. Akan tetapi, Solo tampak unik dikarenakan model urbanisasinya yang bervarian.
Saat itu, Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran menawarkan jenis urbanisasi tradisional, yakni dengan membuka lowongan abdi dalem lewat proses magang.
Kemudian juga institusi pemerintah Belanda pun turut mempengaruhi jenis urbanisasi kolonial dengan mengiming-imingi keluarga priyayi untuk menjadi pegawai birokrasi profesional, asalkan mereka mengenyam bangku sekolah Eropa.
Di sisi lain, perusahaan industri batik, pertokoan Tionghoa serta pasar tradisional pada masa itu berhasil mencuri perhatian kelas bawah untuk mendaftarkan diri sebagai buruh. Sehingga mulai dari sana, terciptalah model urbanisasi modern di sektor informal.
Peluang mengais rejeki yang bertebaran di waktu malam juga dilirik oleh kalangan wong cilik kelas yang kurang beruntung di dunia pendidikan dan tidak berjejaring dengan kelompok bangsawan.
Diketahui, rata-rata mereka itu berasal dari pinggiran wilayah Surakarta khususnya Klaten yang datang untuk mencoba peruntungan dengan menjajakan makanan ringan, melayani kebutuhan perut penghuni kota yang melilit sepulang menikmati pertunjukan tengah malam, atau hanya sekedar melayani masyarakat yang gemar bepergian di malam hari.
Baca : Wedang Uwuh Memang Ampuh, Dari Yogyakarta ke Banyak Negara
Pada waktu itu, makanan masih dipikul dan tidak seperti sekarang ini yang ditaruh di atas gerobak. Sehingga, untuk menjaring pembeli sebanyak mungkin, maka bakul (penjual) hik akan berhenti di titik-titik keramaian seperti di taman Sriwedari dan Pasar Pon.
Kedua lokasi tersebut sendiri kala itu merupakan arena hiburan yang tidak pernah sepi pengunjung. Salah satunya adalah Mbah Karso Dikromo, yang masa mudanya sering akrab dipanggil Jukut.
Mbah Karso yang berasal dari Desa Ngerangan, Klaten tahun 1930-an itu merantau ke Solo pada saat berusia sekitar 15 tahun.
Dikarenakan ayahnya yang meninggal dunia, maka sebagai sulung dari empat bersaudara, Mbah Karso merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Sesampainya di Solo, dia pun bertemu dengan Mbah Wono yang menjadi awal dari sejarah hik atau angkringan.
Bekerja dengan Mbah Wono sebagai penggembala kerbau dan membantu membajak, Mbah Karso juga turut berkenalan dengan pejual makanan terikan atau makanan dari Jawa Tengah berkuah kental dengan lauk tempe atau daging.
Dari perkenalan itu jugalah, Mbah Karso kemudian ditawari untuk ikut berjualan terikan. Dengan bermodalkan pikulan tumbu (alat untuk berjualan makanan) Mbah Karso mulai berjualan terikan.
Setelah beberapa lama ikut berjualan terikan, selanjutnya pada tahun 1943, Mbah Karso mendapatkan ide untuk menjajakan minuman. Hal itu bertujuan agar pembeli bisa melegakan dahaga saat makan.
Mulai dari ide itulah, Mbah Karso sedikit memodifikasi pikulan jualannya dengan bagian depan untuk makanan, sementara bagian belakang untuk ceret minuman. Dari berjualan dengan pikulan inilah Mbah Karso mengajak warga dari desanya untuk ikut berjualan sepertinya.
Pada awalnya, dia hanya menjual menu terikan lalu kemudian ditambah dengan makanan lainnya seperti jadah bakar, singkong, getuk, kacang, dan aneka sate yang ada sampai sekarang. Macam-macam lauk juga turut dimasukkan dalam wadah dari daun pisang yang disebut takir.
Baca : Pempek Palembang dan Akulturasi Budaya Kuliner Tionghoa
Selain aneka lauk, ditambah juga nasi kucing. Nasi kucing ini sebenarnya adalah nasi dengan lauk sedikit ikan bandeng yang identik dengan makanan kucing. Sehingga sampai dengan sekarang, nasi bandeng itu disebut juga dengan istilah nasi kucing.
Kehadiran nasi kucing ini pada waktu itu justru menggeser pamor terikan, maka mulai dari sinilah kenapa nasi kucing selalu identik dengan hik atau angkringan.
Istilah hik sendiri pada awalnya juga dari Solo, akan tetapi tidak jelas bagaimana awalnya istilah hik tersebut muncul. Asal muasal nama unik ini juga diketahui memiliki beragam versi.
Ada yang menduga istilah ini berasal dari cara penjualnya menjajakan dagangannya dengan berteriak “Hiiiiiik!”.
Ada pula yang mengatakan pembelinya sendawa seperti itu. Kemudian versi lainnya mengatakan saat penjual tersandung, karena kaget kemudian berteriak “Hiiiiiyek!”.
Jadi sampai dengan sekarang, tidak dapat dipastikan asal kata 'hik' tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, kata hik itu sampai saat ini dianggap merupakan akronim dari Hidangan Istimewa Kampung.
Kepopuleran warung hik di Solo pada tahun 1940-an, pada akhirnya merambah ke Yogyakarta di tahun 1950an. Mulai dari sinilah baru nama angkringan mulai dikenal.
Aktivitas ekonomi juga terus berdetak dan ruang kota tak pernah lengang, hal ini tentunya tidak lepas dari andilnya hik yang buka setiap sore dan tutup hingga menjelang pagi.
Hal ini jugalah yang menjadikan Solo dikenal sebagai “kota yang tak pernah tidur” baik itu untuk penghuni maupun ekonominya.
Hik sendiri mampu bertahan sampai dengan saat ini karena tidak mengenal kasta sosial, merangkul lintas umur dan beragam.
Selain itu, hidangan hik juga memiliki varian makanan dan minuman yang lebih komplit dan semakin beragam. Meskipun harganya relatif murah, akan tetapi konsumen hik sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, pegawai kantoran, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif.
Tak hanya itu, antar pembeli dan penjual pun sering terlihat mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan.
Di sisi lain, Hik juga tak berubah akan fungsi awalnya, yaitu sebagai fungsi sosial.
Hik mampu menjelma menjadi tempat ngobrol tentang segala aspek kehidupan, bahkan kalau kita mau mencari informasi dan mencari makna kehidupan, hik adalah tempatnya. Hik juga terkenal sebagai tempat yang egaliter dikarenakan bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat - Tanggal 23 Maret 1946 menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasalnya di tanggal itu, terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan Bandung Lautan Api.
Diketahui, Bandung Lautan Api sendiri merupakan peristiwa bersejarah pasca kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 23 Maret 1946. Momentum ini tentunya begitu memiliki nilai sentimentil bagi Indonesia khususnya rakyat Bandung, Jawa Barat, karena harus menyaksikan rumah dan bangunannya terbakar oleh api.
Tercatat, sekitar 200.000 rakyat Bandung saat itu membakar rumah dan bangunan yang menjadi kediaman mereka sendiri, kemudian meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.
Bukan tanpa sebab, hal tersebut dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu yang dapat menggunakan Kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Lantas, bagaimana sejarah dari peristiwa terjadinya Bandung Lautan Api? Apa yang melatarbelakanginya?
Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun para penjajah tetap berupaya untuk merebut kembali wilayah Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan untuk mempertahankan kawasan Indonesia dari serangan penjajah.
Mudjibah Utami dalam buku "Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia (2015)", menuliskan bahwa sejarah Bandung Lautan Api dimulai dari kedatangan pasukan Inggris ke Bandung yang ditandai dengan kehadiran Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) dibawah pimpinan Kapten Gray.
Tentara Sekutu bagian dari Brigade MacDonald itu tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945. Saat itu, kondisi pemuda Bandung sendiri tengah disibukkan dengan perebutan senjata Jepang.
Bahkan tentara mereka yang kala itu diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sampai mengeluarkan ultimatum yang ditujukan pada rakyat Bandung.
Baca: Balai Kota Bandung; Sejak Zaman Kolonial Hingga Kebakaran
Dalam ultimatum pertama yang diberikan, berisi tentang Bandung yang harus dibagi menjadi dua, yakni Bandung Utara sebagai tempat kekuasaan Sekutu, dan Bandung Selatan masih dikuasai Pemerintah Indonesia. Ultimatum tersebut pun mengakibatkan terjadinya pertempuran secara sporadis di berbagai daerah.
Tentara Sekutu yang mulai terdesak, akhirnya kembali mengeluarkan ultimatum kedua yang berisikan agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00 WIB, pasukan Indonesia harus sudah meninggalkan Bandung sejauh 10 hingga 11 kilometer dari pusat kota.
Akan tetapi ultimatum itu tak diindahkan, hingga membuat tentara Indonesia mulai mengatur strategi. Namun sayangnya, ketidakseimbangan jumlah tentara Indonesia dan sekutu pada akhirnya membuat tentara Indonesia merancang operasi "Bumi Hangus".
Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI), Kolonel Abdul Haris Nasoetion selanjutnya memerintahkan pasukannya untuk mengevakuasi warga menuju tempat yang lebih aman. Setelah penduduk meninggalkan kota, operasi "Bumi Hangus" dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung pun bisa segera dilangsungkan.
Hanya dalam sekejap, seluruh Kota Bandung diselimuti gelapnya asap dan pemadaman listrik. Kondisi tersebut dimanfaatkan tentara Indonesia untuk menyerang NICA secara gerilya.
Adapun beberapa tokoh penting dalam peristiwa Bandung Lautan Api diantaranya Kolonel Abdul Haris Nasution, Sutan Syahrir, Abdul Haris Nasoetion, Atje Bastaman, dan Mayor Rukana.
Peristiwa inilah yang menginspirasi Ismail Marzuki beserta para pejuang Indonesia saat itu untuk mengubah dua baris terakhir dari lirik lagu "Halo, Halo Bandung" menjadi lebih patriotis dan membakar semangat perjuangan.
Beberapa tahun kemudian, lagu Halo, Halo Bandung pun menjadi sebuah kenangan akan emosi para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, dan menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari Meteorologi Sedunia atau World Meteorological Day setiap tahunnya diperingati pada 23 Maret di seluruh dunia. Peringatan Hari Meteorologi Sedunia ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya meteorologi atau ilmu yang mempelajari cuaca dan atmosfer.
Meteorologi merupakan salah satu ilmu yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan, pasalnya ilmu ini berguna dalam memberikan prakiraan cuaca sehari-hari, perlindungan terhadap cuaca buruk, membantu dalam mengoptimalkan kegiatan pertanian, hingga memberikan informasi penting yang dibutuhkan untuk penerbangan.
Berbicara mengenai sejarah Hari Meteorologi Sedunia pertama kalinya diperingati pada 23 Maret 1961 yang bertepatan juga dengan berdirinya Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorogical Organization (WMO) pada 23 Maret 1950.
WMO dikenal sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kerja sama internasional dalam bidang meteorologi, hidrologi dan ilmu geofisika.
Namun sebelum badan khusus ini terbentuk, diketahui International Meteorogical Organization (IMO) yang didirikan pada 1873-an tepatnya di era industri tahap awal menjadi pendahulu dari WMO. Tercatat, IMO sendiri didirikan saat Kongres Meteorologi Internasional Wina yang diselenggarakan di tahun yang sama.
Seiring berjalannya waktu, setiap tahunnya dalam peringatannya, WMO memilih tema untuk Hari Meteorologi Sedunia yang berkaitan dengan isu-isu terkini dan tantangan yang dihadapi Dunia.
Baca: World Water Day 2023; Ancaman Krisis Air Bersih di Depan Mata
Biasanya tema-tema yang diusung WMO itu juga berfokus pada topik seperti perubahan iklim, peristiwa cuaca ekstrem, kelangkaan air, dan peran meteorologi dalam pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, dilansir dari laman resmi World Meteorogical Organization (WMO), Hari Meteorologi Sedunia 2023 menjadi peringatan ke-150 tahun WMO. Peringatan Hari Meteorologi Sedunia 2023 ini juga akan menyoroti pencapaian masa lalu, kemajuan saat ini, dan potensi masa depan.
Pencapaian, kemajuan dan potensi tersebut mulai dari telegraf dan prakiraan pelayaran pada akhir abad ke-19, hingga super komputer dan teknologi luar angkasa.
Selanjutnya, untuk tema yang diangkat dalam perayaan Hari Meteorologi Sedunia yang jatuh pada 23 Maret 2023 ini adalah "The Future of Weather, Climate and Water Across Generations" atau yang berarti "Masa Depan Cuaca, Iklim dan Air Lintas Generasi".
Adapun beberapa acara yang dapat menghiasi perayaan Hari Meteorologi Sedunia, mulai dari pameran, hingga simposium dan lokakarya yang diadakan oleh organisasi meteorologi.
Acara yang diselenggarakan itu tentunya akan dapat memberikan kesempatan bagi para ilmuwan, masyarakat dan pembuat kebijakan untuk berdiskusi dan belajar tentang perkembangan dalam meteorologi dan bidang yang terkait.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Timur - Tahukah kamu? Gang Dolly yang berada di Jalan Kupang Gunung I Surabaya, Jawa Timur, menyimpan jejak sejarah panjang khususnya dalam bisnis perlendiran di Kota Pahlawan.
Pada masanya, Dolly pun menjadi ikon gemerlapnya dunia malam yang bahkan disebut-sebut mengalahkan Phat Phong di Thailand atau Geylang di Singapura. Lantas, siapakah sebenarnya sosok dari pemilik nama tempat tersohor itu.
Ada sebuah versi yang mengatakan bahwa sosok pemiliknya adalah Dolly Van der Mart, perempuan Belanda yang pada awalnya merupakan seorang pebisnis handal di gang tersebut.
Disebutkan juga disana ia membuka beberapa tempat penginapan dan juga restoran. Akan tetapi di sisi lain, ternyata dirinya juga menyambi dengan menjadi seorang mucikari pada awal periode rumah bordil yang berada di Surabaya.
Dilansir dari Detik, Dolly sendiri merupakan nama panggilannya sesuai dengan nama yang tertulis di prasasti makamnya yang berada di Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Di prasasti makamnya itu tertulis D.A. Chavid atau nama lengkapnya adalah Dollyres Advenso atau Advenso Dollyres.
Ia merupakan perempuan kelahiran Surabaya keturunan Filipina. Chavid sendiri merupakan nama dari ayahnya yang seorang warga negara Filipina. Sedangkan ibunya bernama Herliah yang merupakan orang Jawa.
Diceritakan, Dolly termasuk orang yang mengawali bisnis prostitusi di Kupang Gunung pada 1960-an silam. Namun pada awalnya ia tidak terjun dalam bisnis pelacuran, dan dia baru belajar dari seorang mucikari tersohor bernama Tante Beng di Kembang Kuning.
Sebuah reportase di Majalah Jakarta-Jakarta menyebutkan, sekitar 8 tahun Dolly menjadi anak kesayangan Tante Beng. Pada masa-masa itu, dia pun mulai mengumpulkan aset dan belajar menjadi germo yang ilmunya didapatkan dari sang mucikari.
Kemudian pada 1969-an, Dolly akhirnya memulai bisnisnya sendiri setelah pindah ke kawasan Kupang Gunung. Disana dia membangun sebuah rumah di bekas lahan kuburan China, dan mulai menjalankan bisnis rumah bordil.
Baca: Menguak Misteri Banyaknya Janda di Desa Ciburayut Bogor
Bangunan atau gundukan makam disana diratakan. Mereka juga memindahkan kerangka yang tersisa atau bahkan hanya meratakan gundukan makam namun tak memindahkan kerangkanya. Setelah itu di atasnya, baru dibangun rumah-rumah.
Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" menuliskan, pada 1967-an, muncul seseorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga bekerja sebagai pelacur yang selanjutnya menikah dengan seorang pelaut Belanda.
Menariknya, Dolly enggan dipanggil dengan nama Mami, dan lebih memilih dipanggil papi, sebagaimana layaknya germo pria. Karena dianggap sebagai perintis, membuat Dolly pun dipanggil sebagai nama kompleks secara keseluruhan.
Mulai 1980-an, Dolly sudah terkenal di Asia Tenggara bahkan mancanegara. Bahkan mayoritas yang menjadi PSK di sana bukan orang Surabaya, melainkan pendatang dengan beragam latar belakang, salah satunya ekonomi.
Setelah bertahan puluhan tahun lamanya, tahun 2014 pun menjadi momen bersejarah ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menutup Dolly. Meskipun ada rentetan unjuk rasa, Pemkot Surabaya tetap gigih menutup lokalisasi yang konon menjadi terbesar di Asia Tenggara ini.
Kini, jejak Dolly masih tersimpan dalam sebuah bangunan yang dulunya bernama Wisma Barbara. Di gedung ini terdapat sekitar 100 kamar. Dikarenakan hal itu tidak main-main, wisma tersebut kemudian dibeli Pemkot Surabaya seharga Rp9 s.d 10 miliar.
Di sisi lain, selama ini keluarga Dolly menutup rapat identitas mereka. Handoyo, salah satu adik Dolly mengaku malu disebut sebagai famili dari mantan PSK dan mucikari paling kesohor se-Asia Tenggara.
"Di usia tuanya kakak sayang sering menangis. Karena dia sakit hati dengan orang-orang yang mencetuskan namanya untuk digunakan sebagai kompleks pelacuran di Kota Pahlawan. Bahkan sakit hati itu dibawa mati kakak saya," katanya sebagaimana dimuat dalam National Geographic.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Tanggal 22 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Air Sedunia atau World Water Day. Diketahui, peringatan Hari Air Sedunia dilaksanakan sebagai upaya untuk menarik atensi publik tentang betapa pentingnya air bersih bagi kehidupan.
Air merupakan salah satu sumber utama yang menjadi kebutuhan bagi kehidupan. Tak hanya digunakan untuk pelepas dahaga, air juga memiliki banyak manfaat sebagai penunjang kehidupan makhluk hidup dalam kehidupan sehari-harinya.
Pasalnya tanpa air, setiap manusia akan sangat kesulitan untuk melakukan berbagai kegiatan dan aktivitas. Di sisi lain, air juga memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. Sebab, hampir semua kegiatan dan keperluan sehari-hari itu akan selalu membutuhkan air.
Di Indonesia sendiri, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi ancaman krisis air yang sudah berada di depan mata menjelang musim kemarau tahun 2023. Terlepas dari hal itu, lantas bagaimana sejarah Hari Air Sedunia ini?
Hari Air Sedunia yang diperingati setiap tahunnya pada 22 Maret ini adalah sebagai sarana untuk memusatkan atensi masyarakat akan pentingnya air bersih, serta mengadvokasi pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.
Sejarah awal ditetapkannya peringatan Hari Air Sedunia ini merupakan agenda global yang secara kuat mengangkat isu tentang penyediaan air berkualitas tinggi secara internasional. Selain itu, untuk peningkatan kesadaran global terkait sifat dan ruang lingkup masalah air internasional dimulai sekitar 1960-an.
Selanjutnya dalam Sidang Umum PBB ke-47 yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil pada 22 Desember 1992, menetapkan tanggal 22 Maret setiap tahunnya sebagai Hari Air Sedunia. Peringatan Hari Air Sedunia pun mulai dilaksanakan pada 1994 dengan tema yang berbeda setiap tahunnya.
Selain itu, peringatan Hari Air Sedunia juga ditujukan agar seluruh penduduk dunia menyadari tentang pentingnya air bersih dalam kehidupannya. Dengan diperingatinya Hari Air Sedunia ini juga diharapkan masyarakat bisa memberi dukungan dalam konservasi air dengan cara mengurangi penggunaan air yang berlebih.
Di sisi lain, sebagian masyarakat dunia saat ini masih mengalami kendala kekurangan air bersih hingga berdampak yang cukup serius pada kehidupannya. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan ada sekitar 829.000 orang setiap tahunnya meninggal akibat penyakit diare.
Baca: Hari Hutan, Jaga Kelestarian
Diketahui, penyakit diare tersebut disebabkan oleh air yang kotor, sanitasi, dan kebersihan tangan. Oleh karena itulah, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan meningkatkan atensi masyarakat atas pentingnya air bersih dan hal itu dapat dilakukan melalui peringatan Hari Air Sedunia.
Sementara itu, tahun 2023, dalam peringatan Hari Air Sedunia kali ini, PBB fokus mengangkat isu mempercepat perubahan untuk mengatasi krisis air dan sanitasi. Kemudian salah satu upaya yang dilakukan PBB adalah dengan mengadakan kampanye Hari Air Sedunia 2023 yang dinamai "Be The Change".
Kampanye global tersebut dilakukan untuk mendorong masyarakat dunia agar bisa mengambil peran dalam cara untuk menggunakan, mengkonsumsi dan mengelola air. Setiap individu yang berpartisipasi juga akan membuat janji pada situs web kampanye dan akan berkontribusi pada Agenda Aksi Air 2023 yang akan dibuka pada Hari Air Sedunia, 22 Maret 2023.
Agenda Aksi Air merupakan kumpulan komitmen sukarela mulai dari pemerintah, perusahaan, organisasi, anggota masyarakat dan lainnya yang dilakukan untuk memberikan kemajuan pada target air dan sanitasi yang disepakati secara global.
Terutama dalam 6 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6): air dan sanitasi untuk semua pada tahun 2030. Berdasarkan data terbaru yang didapatkan oleh PBB, saat ini SDG 6 berada di luar jalur yang seharusnya. Sehingga pemerintah pun harus bekerja rata-rata empat kali lebih cepat agar dapat memenuhi SDG 6 tepat waktu.
Di satu sisi, peran kecil dari masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mengatasi disfungsi pada siklus air. Pasalnya, disfungsi itu dapat mempengaruhi berbagai permasalahan global seperti kesehatan hingga kelaparan, kesetaraan gender hingga pekerjaan, pendidikan hingga industri, dan bencana hingga perdamaian.
Menjaga kebersihan air ini tentunya sudah menjadi tugas kita bersama untuk memerangi krisis air bersih yang saat ini menjadi isu global. Beberapa upaya pun dapat dilakukan untuk menjaga kebersihan air, mulai dari melakukan daur ulang barang bekas, dan buang sampah B3 pada tempatnya.
Upaya berikutnya bisa dengan meminimalisir penggunaan bahan kimia, menghemat air, melakukan penghijauan dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan air.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Hari Puisi Sedunia setiap tahunnya diperingati pada 21 Maret. Tahun ini, merupakan peringatan Hari Puisi Sedunia ke-24 tahun sejak pertama kalinya dirayakan saat Konferensi Umum ke-30 di Paris, Prancis pada 21 Maret 1999.
Diketahui, Puisi sendiri merupakan salah satu bentuk ekspresi paling murni dari kebebasan linguistik. Puisi juga dapat memperkuat perkembangan intelektual, emosional dan psikologis, serta membentuk generasi yang memiliki wawasan luas.
Di sisi lain, peringatan Hari Puisi Sedunia digelar dengan tujuan untuk memperingati puisi sebagai salah satu bentuk ekspresi dan identitas budaya. Selain itu, Hari Puisi Sedunia juga diharapkan dapat mendorong tradisi puisi yang di antaranya sudah banyak terancam punah.
Tak hanya itu saja, Hari Puisi Sedunia pun menjadi momentum untuk mengenang para penulis puisi dari seluruh dunia. Dilansir dari laman UNESCO, perayaan Hari Puisi Sedunia ini bermula dari terselenggarakannya Konferensi Umum ke-30 di Paris, Prancis pada 1999-an.
Sementara itu, alasan UNESCO mengesahkan Hari Puisi Sedunia dikarenakan puisi merupakan karya seni yang dianggap memiliki peranan penting dalam sejarah dunia.
Baca: Puisi Memperkaya Batin, Menenangkan Rohani
Ditambah lagi, Hari Puisi Sedunia juga memiliki tujuan untuk mendukung keragaman kebahasaan melalui ekspresi puisi, serta meningkatkan kesempatan untuk menikmati puisi yang hampir terancam punah.
Oleh karena itulah, dalam momentum Hari Puisi Sedunia ini, UNESCO mengundang semua orang di dunia untuk menciptakan puisi dan saling berbagi puisi. Selain itu, UNESCO juga menginginkan agar semangat menggebu-gebu yang ditorehkan dalam puisi, dapat dihidupkan kembali pada generasi modern ini.
Dilansir dari laman Poets.org, tercatat ada sejumlah festival puisi di dunia yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Puisi Sedunia. Salah satunya dengan menggelar Festival Puisi Internasional yang dilaksanakan di beberapa negara di dunia.
Tercatat beberapa negara di dunia yang menyelenggarakan Festival Puisi Internasional itu diantaranya di Cork (Irlandia), Bogota (Colombia), Skotlandia, dan Quetzaltenango (Guatemala). Kemudian ada juga Malam Puisi Internasional di Hong Kong, Festival Puisi Tasmania, dan Festival Film Puisi ZEBRA.
Selain itu, dilansir dari laman resmi PBB, Hari Puisi Sedunia bisa menjadi kesempatan untuk menghormati penyair, menghidupkan kembali tradisi lisan pembacaan puisi, serta mempromosikan membaca, menulis dan mengajar puisi.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Tanggal 21 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Hutan Sedunia atau International Day of Forest. Peringatan Hari Hutan Sedunia ini pertama kalinya diperingati pada 21 Maret 2013 berdasarkan resolusi PBB pada 28 November 2012.
Dengan adanya peringatan Hari Hutan Internasional ini, organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun berharap berbagai negara di dunia dapat melakukan upaya lokal, nasional, hingga internasional untuk mengatur kegiatan yang melibatkan hutan dan pohon, contohnya seperti kampanye penanaman pohon.
Diketahui, hutan sendiri merupakan salah satu komponen dalam lingkungan yang memiliki peranan penting bagi makhluk hidup. Selain menjadi sumber pemasok oksigen terbesar, hutan juga mendukung keberlangsungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi.
Tak hanya itu saja, hutan juga berperan sebagai filter penyerap karbon dioksida (Co2) terbaik untuk memastikan udara di sekitar bersih dan layak dihirup. Sehingga tidak mengherankan sekali jika hutan sering disebut juga sebagai paru-paru bumi yang menjadi sumber kehidupan.
Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu, masyarakat semakin banyak yang mengabaikan betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Baca: Hari Gerakan Pohon dan Upaya Penyelamatan Hutan
Akibatnya sebagian daerah pun pada akhirnya menjadi gersang, hingga membuat risiko terjadinya bencana longsor menjadi semakin tinggi karena tidak adanya media untuk menyerap air dengan baik.
Menyadari hal itu, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB pada akhirnya menetapkan tanggal khusus yakni setiap 21 Maret untuk memperingati Hari Hutan Sedunia. Peringatan ini sendiri sengaja diadakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, khususnya kelestarian hutan.
Di sisi lain, peringatan Hari Hutan Sedunia juga dilakukan untuk mendorong masyarakat agar dapat terlibat dalam upaya-upaya pelestarian hutan demi kehidupan bumi yang lebih baik.
Berdasarkan sejarahnya, hari ini diperingati sebagai World Forestry Day pada 1971-an. Sementara itu, ide tersebut muncul dalam Konferensi Organisasi Pangan dan Pertanian yang ke-16.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Admin
Koropak.co.id, Jakarta - Ramadan tinggal menghitung hari. Esok lusa, umat Islam di seluruh dunia bakal melaksanakan salah satu rukun Islam, yakni saum. Di Indonesia, beberapa organisasi keagamaan sudah mengumumkan kapan tanggal 1 Ramadan 1444 Hijriah, termasuk waktu lebarannya atau 1 Syawal.
Muhammadiyah, misalnya. Organisasi yang didirikan Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 itu sudah mengeluarkan maklumat tentang penetapan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 Hijriah.
Dalam maklumat tersebut ditegaskan bahwa 1 Ramadan tahun ini jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023, dan 1 Syawal pada Jumat Pahing, 21 April 2023. Penentuan tanggal itu berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Begitupun dengan Persatuan Islam atau Persis. Namun, kendati awal Ramadannya sama, organisasi yang didirikan di Bandung pada 12 September 1923 ini berbeda waktu dalam penentuan 1 Syawal.
Berpijak pada metodologi hisab imkan ru'yah kriteria astronomi, Dewan Hisab dan Rukyah Pimpinan Pusat Persatuan Islam menyatakan bahwa awal Ramadan 1444 Hijriah ditetapkan pada Kamis, 23 Maret 2923, dan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.
Bagaimana dengan Nahdlatul Ulama? Dalam menentukan awal Ramadan, organisasi keagamaan yang didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 itu mesti melalui rukyatul hilal yang dilakukan di sejumlah titik pengamatan. Adapun Pemerintah menggunakan keduanya, yakni hisab dan rukyatul hilal.
Baca: Lima Keseruan Ramadan di Era 90-an yang Kini Jarang Ditemukan
Di Indonesia, perbedaan awal Ramadan atau Syawal bukan hanya terjadi kali ini. Tahun lalu juga begitu. Pada Ramadan 2022, Pemerintah dan Nahdlatul Ulama menetapkan awal Ramadan jatuh pada 3 April 2022, sedangkan Muhammadiyah pada 2 April 2022. Kendati begitu, hari idulfitrinya sama, yakni 2 Mei 2022.
Perbedaan seperti itu bukan hal yang baru, karena sudah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Pada tahun 1938, misalnya, diketahui ada dua pihak yang berbeda keputusan dalam menentukan awal Ramadan. Ada yang memulai saum pada Senin, 24 Oktober 1938, sedangkan yang lain memutuskan Selasa, 25 Oktober 1938.
Jauh sebelum itu, seperti ditulis de Graff dalam "Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa", perbedaan dalam menentukan awal Ramadan menjadi perselisihan antara Sunan Kudus dengan Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus memilih meninggalkan Demak. Namun, de Graff menilai ada alasan lain lebih mendalam yang membuat Sunan Kudus bersikap seperti itu.
Di Aceh pun terjadi hal serupa. Pada Abad ke-16, Sultan setempat berselisih paham dengan Tuwan yang merupakan seorang ahli agama. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan hari pertama saum di bulan Ramadan.
Sejarah mencatat, di negeri ini perbedaan dalam menentukan hari pertama di bulan Ramadan telah berlangsung sejak berabad-abad silam. Pengalaman panjang itu sejatinya menjadi pijakan kuat untuk lebih dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Tengah - Masyarakat Kota Semarang tentunya sudah tak asing lagi dengan bubur India yang hanya dapat ditemukan di Masjid Jami Pekojan saat Ramadan tiba. Biasanya, hidangan tersebut akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat sekitar sebagai hidangan berbuka puasa.
Tak ayal, menjelang waktu magrib tiba, banyak orang yang berbondong-bondong untuk mengantre di Masjid Jami Pekojan agar bisa mendapatkan makanan yang satu ini. Namun sebelum itu, mereka pun harus terlebih dahulu mengikuti acara pengajian sampai dengan azan tiba.
Sementara para pengurus masjid, mereka pun akan mulai mempersiapkan mangkuk yang telah berisi bubur untuk dijajarkan dengan rapi. Tak hanya menyajikan bubur, berbagai jenis minuman hangat dengan makanan pendamping lain seperti buah pun dipersiapkan oleh pengurus masjid.
Berdasarkan sejarahnya, diketahui awal mulanya bubur India bisa menjadi salah satu makanan khas Ramadan disana memang berawal dari orang-orang India yang saat itu singgah di Semarang tepatnya di wilayah sekitar Masjid Pekojan untuk berdagang. Tak hanya berdagang, mereka juga ada yang berdakwah.
Disana, mereka pun turut membaur dan mengakrabkan diri dengan warga lokal hingga terjadilah pertemuan budaya dari interaksi yang berlangsung cukup lama, termasuk juga masalah kulinernya. Orang-orang India itu juga tak segan untuk berbagi resep dan mengajak warga lokal untuk membuat bubur bersama.
Mulai saat itulah, bubur India pun menjadi santapan yang disukai oleh orang-orang sekitar Masjid Pekojan hingga lama kelamaan menjadi sebuah tradisi untuk menyantap bubur ketika bulan puasa tiba.
Baca: Berbagi Bubur Pedas, Tradisi Melayu Saat Berbuka Puasa
Dilansir dari laman GNFI, bahan yang digunakan untuk membuat bubur ini terdiri dari santan yang menjadi basis dari kuahnya. Kemudian ada jahe, daun sala, kayu manis, serai, bawang merah, onclang, daun salam, dan tambahan wortel untuk bahan rempahnya.
Dari segi rasa, tentunya bubur yang satu ini kental dan kaya akan sentuhan cita rasa resep India. Selain itu, ketika menyantap bubur ini, rempah-rempahnya pun akan terasa sangat dominan. Rasanya yang gurih lezat membuat banyak orang menunggu santapan ini sebagai menu berbuka puasa.
Sementara itu, dilansir laman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, salah satu takmir atau juru masak bubur India, Ahmad Ali menyebutkan, jika sajian mangkuk yang diberikan untuk bubur India ini bisa lebih dari 100 porsi.
"Yang kita sajikan itu sebanyak 150 porsi, dan yang dibawa pulang bisa lebih dari itu. Karena masyarakat di sini juga banyak yang membawa pulang bubur itu. Untuk pembuatan buburnya ini sudah dilaksanakan sejak pukul 11.00 WIB sampai dengan waktu Asar," kata Ali.
Ali juga menyebutkan bahwa sejarah dari bubur tersebut sudah ada selama 100 tahun. Begitu juga dengan tradisi untuk menyantap bubur India secara bersama-sama di Masjid Jami Pekojan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Bali - Tahukah kamu? Bali memiliki kue tradisional khas yang menyerupai kue serabi. Namanya laklak. Kue tradisional khas Pulau Dewata itu sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di Bali.
Kudapan yang biasa disebut juga dengan Jaje Laklak ini memiliki bentuk yang benar-benar menyerupai serabi, yakni berbentuk lingkaran namun ukurannya lebih kecil yakni berdiameter 3 centimeter atau hanya sebesar telapak tangan anak kecil. Dalam bahasa Bali, Jaje berarti kue.
Jajanan khas Bali ini terbuat dari tepung beras, air panas, santan panas, air daun suji, baking powder, garam, kelapa parut, serta saus gula merah yang terbuat dari gula merah, gula pasir dan air mineral. Biasanya, Jaje Laklak sendiri berwarna hijau pucat.
Diketahui warna hijau pucat pada Jaje Laklak itu diperoleh dari daun kayu suji yang digunakan sebagai pewarna alami dalam pembuatannya. Akan tetapi secara umum, Jaje Laklak berwarna putih, namun ada juga yang berwarna merah atau merah muda.
Dimana warna yang didapatkan pada kue tersebut berasal dari pewarnaan alami yakni dari air daun pandan yang kemudian dicampurkan kedalam adonan atau warna merah yang berasal dari buah naga. Cara pembuatan jajanan yang terkenal dengan citarasanya yang manis dan legit ini terbilang sangatlah mudah.
Baca: Arak Bali, Dari WBTb Indonesia Hingga Jadi Suvenir KTT G20
Adonan Jaje Laklak yang sudah diberi warna itu kemudian dipanggang dengan kayu bakar dan dicetak menggunakan cetakan serabi yang terbuat dari tanah liat. Aroma kayu bakar dan bagian laklak yang terpanggang inilah yang nantinya akan memberi cita rasa khas hingga mampu mengundang selera makan siapa saja yang mencobanya.
Setelah matang, Jaje Laklak pun akan disajikan hangat-hangat dengan taburan parutan kelapa dan gula merah yang dicairkan. Perpaduan rasa gurih dan manis yang ada pada Kue Laklak pun tentunya semakin menambah citarasa kenikmatan makanan khas Bali yang satu ini.
Uniknya, masyarakat Bali memiliki kebiasan menyantap Jaje Laklak di pagi hari. Jaje Laklak tersebut biasanya disajikan sebagai sarapan pagi. Tak hanya itu saja, Jaje Laklak juga banyak ditemukan di pasar tradisional di waktu pagi hari. Selain itu, Jaje Laklak juga dibuat secara khusus sebagai hidangan pesta dan upacara adat.
Seiring berjalannya waktu, kini jajanan tradisional itu mengalami perkembangan dan sudah dibuat dengan berbagai macam ide kreatif. Bahkan, kini semakin banyak pula ide-ide kreatif dari masyarakat dalam mengolah jajanan khas Bali ini.
Salah satu ide kreatifnya adalah dengan memanfaatkan daun kelor yang dikenal memiliki banyak manfaat untuk kesehatan sebagai campuran untuk bahan pewarna dari Jaje Laklak. Daun kelor itu nantinya akan dihancurkan dan diambil airnya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta - Tanggal 18 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Arsitektur Indonesia. Diketahui, peringatan Hari Arsitektur Indonesia ini diselenggarakan dalam rangka memberikan apresiasi atas peran serta jasa para arsitek yang telah berperan penting dalam pembangunan di Indonesia.
Lalu, bagaimana sejarah dari Hari Arsitektur Indonesia yang diperingati setiap 18 Maret ini?
Tak banyak yang membahas tentang sejarah dari Hari Arsitektur Indonesia yang ditetapkan pada 18 Maret. Meskipun begitu, tanggal 18 Maret yang ditetapkan sebagai Hari Arsitektur Indonesia ini telah tercatat sebagai tanggal penting nasional di Perpustakaan Nasional (Perpusnas).
Penetapan Hari Arsitektur Indonesia ini juga tentunya tak lepas dari peran dan jasa serta pengaruh dari para arsitek di Indonesia dalam pembangunan nasional. Selain itu, hasil karya dari para arsitek Indonesia juga dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Sehingga, dalam rangka mengapresiasi kinerja dari para arsitek Indonesia dalam pembangunan nasional, maka ditetapkanlah peringatan Hari Arsitektur Indonesia yang jatuh pada 18 Maret yang selalu diperingati setiap tahunnya.
Di sisi lain, Hari Arsitektur Indonesia juga dijadikan sebagai upaya penghargaan untuk para arsitek dan sosok inspiratif lainnya yang turut berkontribusi dalam perkembangan dunia arsitektur di Indonesia.
Mulai dari arsitek terdahulu dengan karya-karya bersejarahnya yang masih terawat dengan baik hingga menjadi objek wisata peninggalan masa lampau dan banyak dikunjungi wisatawan. Adapun arsitek masa kini, hadir dengan inovasi-inovasi baru yang membawa angin segar bagi dunia arsitektur Indonesia.
Baca: Akulturasi Budaya dalam Gaya Arsitektur Islam di Nusantara
Sementara itu, berbicara mengenai perjalanan panjang sejarah arsitektur di Indonesia, dalam perjalanannya gaya arsitektur di Indonesia mendapatkan berbagai macam pengaruh dari budaya luar. Baik itu pada saat masa kerajaan Hindu-Buddha, maupun di masa kini yang terus menyesuaikan peradaban.
Adapun sosok-sosok inspiratif dari dunia arsitektur sebagaimana dilansir dari display.ub.ac.id yang berkontribusi bagi pembangunan nasional Indonesia, salah satunya adalah Y.B. Mangunwijaya, atau yang dikenal juga sebagai Bapak Arsitektur Indonesia.
Y.B. Mangunwijaya tercatat pernah meraih penghargaan Aga Khan for Architecture untuk rancangan permukiman tepi Kali Code, Yogyakarta. Lalu ada juga Ridwal Kamil yang populer dengan rancangan Museum Tsunami Aceh dan menjadi orang pertama dari Indonesia yang menyabet penghargaan Urban Leadership Award dari University of Pennsylvania.
Selanjutnya ada Friedrich Silaban yang memenangkan sayembara desain maket untuk Masjid Istiqlal yang diselenggarakan oleh Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno. Friedrich juga telah banyak mendapat penghargaan di kancah internasional.
Kemudian sosok selanjutnya ada Soejodi Wirjoatmodjo yang terkenal dengan karya rancangannya yakni Gedung MPR/DPR RI di Senayan, Jakarta. Tak hanya itu saja, arsitek yang satu ini juga telah banyak merancang masterplan tata kota di berbagai daerah di Indonesia.
Kelima ada Han Awal yang berjasa dalam merancang pemugaran Gedung Arsip Nasional dan menyumbang penghargaan Award of Excellence UNESCO Asia Pasific Heritage tahun 2001. Lalu yang terakhir ada Achmad Noeman, salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan terkenal dengan julukan arsitek sejuta masjid.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Tengah - Tanggal 17 Maret 1757 menjadi momen peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Dimana di tanggal tersebut, terjadi peristiwa penandatanganan Perjanjian Salatiga.
Perjanjian Salatiga tersebut membagi wilayah Kesultanan Mataram, dan mengakhiri peperangan panjang di Jawa antara Pangeran Sambernyawa dengan Sunan Paku Buwono III, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Sultan Hamengku Buwono I di Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Selain itu, Perjanjian Salatiga yang berlangsung di Gedung Pakuwon, Kota Salatiga pada 17 Maret 1757 itu juga merupakan kelanjutan dari Perjanjian Giyanti yang membelah dua wilayah Kerajaan Mataram dan ditandatangani 13 Februari 1755.
Sementara itu, dalam Perjanjian Salatiga sendiri, mengharuskan kedua penguasa yakni Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III merelakan sebagian wilayahnya diberikan kepada Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, Hamengkubuwono I, dan Pakubuwono III memiliki hubungan saudara dan merupakan keturunan dari Amangkurat IV.
Diceritakan pada awalnya Raden Mas Said dan Hamengkubuwono atau Pangeran Mangkubumi bekerja sama untuk melawan Belanda setelah keinginan Pangeran Mangkubumi untuk diangkat sebagai raja ditolak pihak Belanda. Tercatat, keduanya bekerja sama kurang lebih selama 9 tahun.
Namun sayangnya, siasat licik Belanda melalui VOC berhasil memecah kerja sama antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Bahkan berkat siasat liciknya itu, Belanda berhasil menarik Pangeran Mangkubumi ke sisi VOC.
Sedangkan pihak VOC sendiri berhasil menghasut Raden Mas Said soal adanya potensi pengkhianatan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi atas dirinya. Di sisi lain, Raden Mas Said juga tidak dilibatkan dalam Perjanjian Giyanti.
Pasalnya Raden Mas Said juga menentang perjanjian tersebut karena dinilai dapat memecah belah kerajaan dan rakyat Mataram. Bergabungnya Pangeran Mangkubumi atau yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan VOC, membuat perlawanan Raden Mas Said menjadi tiga lawan satu.
Meskipun begitu, Raden Mas Said mampu memberikan perlawanan yang sengit hingga membuat tiga kubu itu belum dapat mengalahkan Raden Mas Said begitu pun sebaliknya. Namun pada akhirnya, perlawanan Raden Mas Said itu pun berujung pada meminta bagian dari wilayah kekuasaan Mataram yang sebelumnya telah dibagi menjadi dua.
Baca: Sejarah 17 Januari, Perjanjian Renville Ditandatangani
Sadar perang akan berlangsung lama dikarenakan keempat belah pihak sama-sama kuat dan tidak ingin menyerah, maka pihak VOC kemudian menawarkan solusi yang sama-sama saling menguntungkan.
Solusi yang diberikan itu adalah berupa pembagian wilayah kekuasaan menjadi tiga, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Tujuan VOC membagi tiga wilayah kekuasaan itu tidak lain untuk mengamankan kantong finansial sekaligus kekuasaannya di Pulau Jawa.
Selain itu juga, ditandatanganinya Perjanjian Salatiga juga turut menjadi tanda berakhirnya kekuasaan kesultanan Mataram Islam dikarenakan wilayah kerajaannya telah terpecah menjadi tiga dan memiliki penguasanya masing-masing.
Setelah mendapat wilayah otonom, Raden Mas Said pun selanjutnya bergelar Mangkunegara I. Saat itu, Mangkunegara I mendapat wilayah kekuasaan di Mataram sebelah timur yang saat ini mencakup Banjarsari, Karanganyar, Wonogiri, Ngawen, dan Semin.
Kini, lokasi dari penandatanganan Perjanjian Salatiga digunakan sebagai kantor Wali Kota Salatiga. Di satu sisi, perjanjian yang mengakhiri perang panjang perebutan kekuasaan itu, membuat para anggota kerajaan Mataram tunduk pada kesetiaan VOC.
Diketahui, isi dari Perjanjian Salatiga diantaranya, Raden Mas Said diangkat sebagai Pangeran dan memiliki status setingkat raja, Raden Mas Said tidak diperbolehkan masuk dalam struktur Singgasana dan Raden Mas Said tidak diperbolehkan menggunakan dan memakai atribut kerajaan dan menyelenggarakan acara penobatan raja.
Selanjutnya, Raden Mas Said juga tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati, dan Raden Mas Said mendapat wilayah kekuasaan seluas 4.000 karya meliputi Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, dan Pajang.
Berbicara mengenai hasil Perjanjian Salatiga, tentunya perjanjian tersebut memberikan dampak pada situasi perebutan kekuasaan antaranggota keluarga Mataram. Secara keseluruhan, baik itu Perjanjian Salatiga dan Giyanti, keduanya sama-sama memberikan dampak kerugian besar untuk Kerajaan Mataram.
Akan tetapi, dengan hadirnya kedua perjanjian tersebut, maka sirna sudah impian Kerajaan Mataram yang ingin menyatukan seluruh kerajaan di Jawa di bumi Nusantara. Di satu sisi, VOC pun sangat diuntungkan karena mereka semakin memiliki pengaruh yang kuat di seluruh Pulau Jawa.
Meskipun VOC tidak secara langsung bersentuhan dengan ketiga kerajaan tersebut, namun isi dalam Perjanjian Salatiga yang mengharuskan pengambilan keputusan melibatkan VOC, menunjukkan posisi kuat VOC dalam memerintah ketiga kerajaan tersebut.
Intrik politik Jawa ini jugalah yang di kemudian hari menimbulkan gejolak baru dengan kemunculan kerajaan lain bernama Kadipaten Pakualam.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Bali - Gunung Agung merupakan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia yang berada di Bali. Titik tertinggi di pulau Bali ini juga mendominasi daerah sekitarnya, hingga dapat mempengaruhi iklim terutama pola curah hujan yang turun disana.
Gunung Agung juga merupakan sebuah stratovolcano dengan kawah yang besar dan dalam. Tercatat, gunung tersebut terakhir kalinya meletus pada 2017-2019 silam. Akan tetapi pada 1963-an atau tepatnya pada 16 Maret, Gunung Agung mengalami puncak erupsi mematikan hingga merenggut ribuan korban jiwa.
Letusan yang terjadi pada 16 Maret 1963-an itu juga menjadi salah satu letusan gunung Agung terbesar dan paling dahsyat dalam sejarah Indonesia.
Lantas, bagaimana kronologi letusan Gunung Agung Bali yang terjadi pada 16 Maret 1963-an itu?
Berdasarkan sejarahnya, erupsi gunung Agung Bali kala itu bermula pada 19 hingga 26 Februari 1963-an. Saat itu, sejumlah batu kecil menghujani Pura Besakih yang terletak di lereng Gunung Agung. Tak hanya itu saja, awan panas dan aliran lahar pun turut menyertai erupsi yang terjadi kala itu.
Sebelumnya, pada 18 Februari 1963-an, warga sekitar mendengar sebuah ledakan keras dan melihat awan membubung dari kawah Gunung Agung. Berselang beberapa hari kemudian atau tepatnya pada 24 Februari, lahar pun mulai mengalir menuruni lereng utara gunung.
Hingga dalam kurun waktu 20 hari berikutnya, pada akhirnya lahar tersebut sampai menempuh jarak 7 kilometer. Puncaknya terjadi pada 16 hingga 17 Maret 1963, gunung berapi itu meletus dengan hebat, mengirimkan puing-puing sejauh 8 sampai dengan 10 kilometer ke udara dan menghasilkan aliran piroklastik besar-besaran.
Baca: Legenda Selat Sunda dan Gunung Krakatau, Konon Tercipta Karena Raja Marah
Akibatnya, arus ini pun menghancurkan banyak desa di Bali serta menewaskan sekitar 1.100 s.d 1.500 jiwa. Tak berhenti sampai disana saja, lahar dingin yang disebabkan oleh hujan lebat setelah letusan juga menewaskan kembali 200 orang.
Di sisi lain, Gunung Agung di Bali sendiri memiliki sejarah erupsi yang cukup panjang. Bahkan menurut catatan sejarahnya, Gunung Agung telah mengalami erupsi kurang lebih sebanyak 6 kali dalam kurun waktu 200 tahun.
Letusan Gunung Agung pertama kali yang tercatat dalam sejarah terjadi pada 1808-an dengan membawa emisi abu dan batu-batu besar. Kemudian letusan keduanya terjadi pada 1821-an, namun letusan Gunung Agung kali ini tergolong normal dan terjadi dalam skala yang lebih kecil dari letusan sebelumnya.
Selanjutnya pada 1843-an, gunung Agung juga kembali meletus. Setelah itu, 60 tahun yang lalu atau tepatnya pada 16 Maret 1963, Gunung Agung kembali meletus dengan dahsyat. Bahkan letusan yang terjadi pada 1963-an itu tidak hanya mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka dalam jumlah yang banyak.
Akan tetapi letusan kala itu juga berdampak luas hingga ke seluruh Indonesia serta berdampak pada perubahan iklim dalam jangka pendek. Letusan pada 1963-an ini menjadi salah satu letusan gunung berapi pertama yang memiliki dampak iklim yang berumur pendek.
Alasannya dikarenakan sejumlah besar belerang yang disuntikkan ke atmosfer yang lebih tinggi. Diperkirakan penurunan temperatur global yang terjadi saat itu bervariasi yakni antara 0.1 celcius hingga 0.4 celcius.
Selain itu, ribuan orang juga tewas akibat aliran lahar, tanah longsor, lahar dan awan gas mematikan pada letusan yang terjadi pada 1963-an itu.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: