Koropak.co.id – Moyang kita adalah pelaut hebat. Terbukti beradab-abad lalu. Jauh sebelum teknologi merajai sistem perairan dunia. Keberadaan pinisi salah satu buktinya.
Kapal Pinisi. Sebuah kapal yang identik dengan suku Bugis-Makassar. Kapal layar ini banyak digunakan moyang kita saat mengarungi samudera. Itu terjadi sejak tahun 1500-an silam.
Tak cuma untuk pelayaran dengan misi menangkap ikan. Kapal Pinisi terbukti tangguh dalam pelayaran ke berbagai negara di belahan dunia, khususnya di masa perdagangan rempah-rempah.
Demikian dipaparkan laman resmi warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Konon, proses pembuatan kapal Pinisi ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berbagai ritual yang melambangkan makna tertentu tak luput dilakukan para karuhun kita dulu.
Pembuatan pinisi dilakukan pada galangan kapal yang disebut bantilang, yang pada umumnya dibuat oleh masyarakat Bulukumba dengan melibatkan puluhan orang yang terdiri dari punggawa (tukang ahli), sawi (tukang-tukang lain yang membantu punggawa), serta calon-calon sawi.
Pembuatan kapal Pinisi sendiri diawali dengan pencarian dan penebangan pohon yang akan dijadikan sebagai bahan membuat kapal. Namun sebelumnya, para pengrajin ternyata harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu dan biasanya jatuh pada hari ke lima dan ke tujuh bulan berjalan.
Angka lima tersebut diartikan bahwa rejeki sudah di tangan (naparilimai dallena), sementara angka tujuh bermakna selalu mendapatkan rejeki (natujuangngi dallena).
Setelah menentukan hari baik, maka langkah selanjutnya dilakukanlah penebangan pohon untuk bahan baku kapal Pinisi. Untuk pohon yang digunakan adalah pohon welengreng (dewata) yang terkenal kuat dan tahan air.
Selain itu, dalam penebangan pohonnya, para pengrajin akan melakukan ritual potong ayam sebagai tumbal yang dipersembahkan kepada roh penghuni pohon tersebut. Selanjutnya, pohon yang telah ditebang tersebut pun kemudian dikeringkan.
Sementara itu, untuk proses pembuatan kapal Pinisi selanjutnya adalah peletakan lunas yang juga disertai ritual khusus. Lunas sendiri harus menghadap ke Timur Laut ketika dipotong. Dikeahui, balok lunas bagian depan melambangkan laki-laki dan balok lunas bagian belakang melambangkan perempuan.
Sebelum pemotongan, biasanya akan diawali dengan pembacaan mantra, kemudian dipotong sesuai dengan tanda pahatan. Pemotongan ini juga dilakukan oleh orang-orang kuat, sebab kayu yang digergaji itu juga harus dilakukan sekaligus tanpa berhenti.
Apabila balok bagian depan sudah putus, maka hasil potongan tersebut harus segera dibuang ke laut sebagai penolak bala dan simbol bahwa seorang suami harus siap melaut untuk mencari nafkah.
Sementara untuk potongan balok lunas bagian belakang disimpan di dalam rumah, yang diibaratkan sebagai istri sang pelaut yang setia menunggu kedatangan suaminya pulang.
Baca : Lebih Dekat Mengenal Kenduri Blang dari Aceh
Yang tak kalah pentingnya, ujung lunas yang sudah terpotong itu tidak boleh menyentuh tanah. Setelah itu, dilakukan pemasangan papan pengapit lunas yang disertai upacara kalebiseang.
Untuk menguatkan lunas yang terpasang, maka akan dilakukan juga ritual anjerekki. Kemudian, penyusunan papan yang dilakukan dari ukuran lebar yang terkecil sampai ke atas dengan ukuran terlebar. Setelah semua papan tersusun, dilanjutkan dengan pemasangan buritan sebagai tempat kemudi bawah.
Untuk jumlah seluruh papan alas kapal Pinisi sendiri diketahui sebanyak 126 lembar. Setelah badan kapal selesai dikerjakan, maka dilanjutkan dengan memasukkan majun pada sela papan dan tahapan ini pun dikenal dengan nama apanisi.
Agar sambungan antar papan itu melekat dengan kuat, maka dipilihlah bahan perekat dari kulit pohon barruk yang kemudian didempul (allepa). Bahan allepa ini terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa.
Untuk menghaluskan hasil dempulan, dilakukan dengan menggosokkan kulit pepaya. Setelah tahap-tahapan pengerjaan tersebut selesai, maka kapal Pinisi itu pun kemudian akan diapungkan di laut, yang ditandai dengan pemotongan hewan ternak.
Bagi kapal berkapasitas 100 ton ke atas, maka akan dilakukan pemotongan seekor sapi. Sedangkan kapal dengan kapasitas dibawah 100 ton, dipotong seekor kambing.
Setelah diapungkan di laut, kapal Pinisi itu dipasangkan layar dengan dua tiang. Layar tersebut pada umumnya berjumlah tujuh. Pada ritual peluncuran kapal Pinisi, punggawa sebagai kepala tukang, akan duduk di sebelah kiri lunas seraya memanjatkan doa yang berbunyi :
‘Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir’
Artinya : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu.
Peluncuran kapal ini juga dilakukan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Menariknya, berbagai rangkaian pembuatan kapal Pinisi tersebut ternyata mengandung nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari, yakni kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.
Nilai kerjasama dalam pembuatan kapal tercermin pada pembagian tugas para pengrajin dengan tanggung jawabnya masing-masing. Selain itu, dengan adanya kerjasama yang baik antara mereka, maka pembuatan kapal pun bisa terwujud.
Sementara untuk nilai kerja keras tercermin pada pencarian dan penebangan pohon welengreng yang tidak mudah didapatkan. Kemudian juga terletak pada pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum terpotong dengan menggunakan gergaji manual.
Untuk ketelitiannya tercermin pada pemotongan kayu yang harus tepat dan untuk nilai keindahan tampak pada bentuknya yang kuat dan terkesan gagah. Sementara untuk nilai religius tercermin pada pembacaan doa ketika Pinisi akan diluncurkan di laut.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini