Seni Budaya

Tradisi Yasinan dan Akulturasi Budaya

×

Tradisi Yasinan dan Akulturasi Budaya

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Agama Islam diterima masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa melalui produk budaya, contohnya seperti kesenian wayang.

Tanpa melalui peperangan, akulturasi budaya dengan ajaran agama Islam yang dibawa para ulama dari Wali Songo itu pun menjadikan sejumlah tradisi secara perlahan dimodifikasi agar bisa tetap berjalan tanpa melanggar syariat Islam.

Salah satu yang menarik adalah tradisi Yasinan dan pembacaan tahlil yang hingga kini masih diamalkan sebagian umat Islam ketika malam Jumat. Diketahui, tradisi tersebut merupakan hasil modifikasi dari tradisi mendoakan arwah para leluhur.

Rapalan mantra yang sebelumnya menjadi syarat pun digantikan menjadi lantunan bacaan ayat suci Al-Quran dan Surah Yasin yang menjadi pilihannya.

Dilansir dari berbagai sumber, terdapat sebuah syair legendaris dari Abu Nawas tentang merayu Tuhan yang diubah menjadi bahasa Jawa dan di sejumlah wilayah dilantunkan dari sohibul hajat.

Syair ini sendiri dilantunkan sembari menunggu sekaligus mempermudah jamaah untuk mengetahui rumah mana yang menggelar acara Yasinan dan tahlil.

“Duh Pengeran kula sanes ahli suwarga. Nanging kula mboten kiyat wonten neraka. Mugi Tuhan paring taubat dumateng kula. Estu Tuhan kang ngapura agunge dosa. Dosa kula kados wedhi ing segara. Mugi gusti kersa nampi taubat kula. Saben dinten dosa kula tambah umur suda. Kados pundi anggenipun kula nyangga. Duh Gusti kawula sowan dhateng Paduka Sarana ngakeni dosa kelawan ndunga,” bunyi syair legendaris dari Abu Nawas tersebut.

Pada akhirnya, Yasinan pun kini menjadi produk kebudayaan bernuansa Islam yang berkembang di masyarakat Islam Jawa. Di masa-masa awal agama Islam, mulai merangkul masyarakat Jawa di era Kerajaan Demak dan Yasinan sendiri dipakai untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal dunia.

Tradisi ini dilakukan untuk menggantikan kebiasaan masyarakat di era tersebut yang masih terikat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme serta ajaran Hindu dan Buddha. Biasanya juga tradisi mengirimkan rapalan mantra kental dengan penganut Kejawen.

 

 

Baca : Seni Qasidah dan Syair Agama Islam

Sementara itu, dalam kepercayaan masyarakat sebelum masuknya agama Islam, arwah seseorang masih berada di sekitar rumah hingga tujuh hari, sebelum pada akhirnya pergi. Arwah itu pun akan kembali di hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1.000.

Oleh karena itulah, masyarakat yang percaya dengan hal itu biasanya akan menyediakan ancak yang berisi makanan dan minuman serta kembang atau kemenyan di ruang tamu untuk arwah keluarganya.

Namun pada saat ajaran Islam mulai diterima masyarakat, tradisi tersebut tidak lantas langsung begitu saja hilang. Rapalan doa dalam tradisi pun digantikan menjadi bacaan Surah Yasin dengan harapan doa yang dipanjatkannya sampai kepada arwah keluarga yang sudah meninggal.

Selain itu, untuk tradisi memberikan sesaji untuk arwah keluarga juga turut digantikan dengan tahlilan di hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh harian, seratus harian hingga seribu harian.

Akulturasi ini tentunya menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat terbuka terhadap tradisi-tradisi baru, atau perubahan atau modifikasi tradisi lama. Hingga pada akhirnya tanpa disadari muncul identitas baru dalam tatanan masyarakat Jawa.

Identitas tersebut pun kemudian dirawat hingga menjadi kearifan lokal serta menjadi tanda kultural bagi masyarakat Islam-Jawa.*

 

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

 

error: Content is protected !!