Actadiurna

Menelusuri Kemegahan Klenteng Boen San Bio Tangerang

×

Menelusuri Kemegahan Klenteng Boen San Bio Tangerang

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Klenteng Boen San Bio atau yang disebut juga dengan Vihara Nimmala, tampak mencolok dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya.

Klenteng tersebut didominasi dengan warna merah serta sedikit warna biru dan kuning yang tampak di bagian tembok dan gentengnya.

Sementara di bagian atap gerbangnya, terdapat sebuah patung burung phoenix (fenghuang atau hong) dan naga. Kemudian di pojok kirinya terlihat rumah minyak yang menyediakan berbotol-botol minyak untuk bersembahyang.

Selanjutnya di halaman depannya terdapat sepasang patung Singa penjaga (cioksay). Untuk yang betina bermain dengan anaknya, sementara yang jantan tengah memegang bola.

Setelah memasuki koridor, terdapat sebuah hiolo dari marmer sebagai tempat meletakkan batang hio yang telah dibakar.

Ruang-ruang peribadatan pun ada di setiap sudut kelenteng yang lengkap dengan meja altar dan patung-patung dewa. Komposisi itulah yang membuat kelenteng berlokasi di Kota Tangerang, Banten ini kelihatan megah.

Dilansir dari berbagai sumber, ternyata dulunya kelenteng ini masih sangat sederhana dengan dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian untuk atapnya juga berbahan daun rumbia dengan tiang penopang dari kayu.

Kelenteng ini dibangun oleh pedagang asal Tiongkok bernama Lim Tau Koen pada tahun 1689 atau lima tahun setelah Kelenteng Boen Tek Bio berdiri.

Berdasarkan sejarahnya, Kelenteng Boen San Bio ini tidak lepas dari keberadaan orang-orang Tionghoa di Tangerang. Diketahui, mereka datang secara bergelombang jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Banten dan disana mereka menikah campur dengan orang-orang setempat. Disana, mereka juga mempunyai sebutan unik yaitu Cina Benteng.

Sinolog atau ahli sejarah Tiongkok dari Universitas Indonesia (UI), Eddy Prabowo mengatakan, sebutan Cina Benteng muncul pada masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) atau Kompeni menaklukan Batavia pada 1619.

Tidak puas dengan Batavia, Kompeni juga kala itu merebut daerah sekitar Sungai Cisadane yang sebelumnya milik Kerajaan Padjadjaran. Di sana, kompeni mendirikan benteng di sekitar Sungai Cisadane untuk melindungi wilayahnya dari serangan musuh.

Keberadaan benteng tersebut ternyata menyusahkan gerak orang Tionghoa yang pada akhirnya mereka memilih tinggal di luar benteng, seperti di daerah Sewan dan Kampung Melayu. Mulai dari sinilah muncul istilah Cina Benteng. Seiring dengan kedatangan orang Tionghoa di Tangerang, masuk pulalah ajaran Kong Hu Cu.

Mereka pun kala itu membangun tempat ibadah yang disebut Bio sebagai tempat berlindung dan pengharapan kemajuan perdagangannya agar menghasilkan berkah dan keuntungan.

Di Indonesia sendiri, Bio lebih dikenal dengan nama Kelenteng. Bio yang dibangun juga mula-mula bentuknya sederhana sekali.

 

 

Baca : Mengenal Ong Hok Ham, Tionghoa Peranakan Jawa

Di tempat baru inilah mereka membangun permukiman dalam bentuk petak sembilan dengan Bio sebagai pusatnya. Menurut tata letak hongs hui, kawasan pasar, permukiman, dan Bio itu setidak-tidaknya dilalui aliran sungai dan terlindung oleh perbukitan.

Pada awalnya, Kelenteng Boen Tek Bio dibangun sekitar abad ke-16 dengan gaya arsitektur Tiongkok klasik yang dipengaruhi filosofi ajaran agama Kong Hu Cu.

Menyusul itu kemudian dibangun Kelenteng Boen Hay Bio, Boen San Bio, dan Tjo Soe Kong atau dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan Kelenteng Tanjung Kait.

Namun, sebagai akibat interaksi mendalam dengan orang-orang tempatan, orang-orang Cina Benteng menganut kepercayaan campuran. Sesama Cina Benteng pun ternyata bisa berbeda kepercayaan.

Jemaat Kelenteng Boen San Bio memuja Dewa Bumi atau Kimsin Kongco Hok Tek Tjeng Sin yang sosoknya berupa lelaki tua berambut panjang dengan jenggot putih dan wajah tersenyum ramah.

Berbeda halnya dengan jemaat Kelenteng Boen Tek Bio dan Boen Hay Bio yang memuja Dewi Kwan Im dan Kong Co Kwang Kon. Hal unik lainnya, di dalam kelenteng itu juga terdapat petilasan Raden Surya Kencana yang berada di bagian belakang klenteng, berdekatan dengan Ruang Dhammasaka yang merupakan tempat ibadah umat Budha.

Kemudian di sisi kiri pintu masuk Ruang Dhammasaka terdapat patung Dewi Kwan Im setinggi 3 centimeter. Kelenteng Boen San Bio juga turut membolehkan orang-orang Islam menziarahi petilasan Raden Surya Kencana.

Bahkan pengurus juga turut menyediakan al-Quran untuk para peziarah. Raden Surya Kencana sendiri sering dianggap sebagai salah satu penyebar agama Islam di Tangerang.

Bagi warga setempat, adanya cerita tentang sosok Raden Surya Kencana ini ternyata justru memperkokoh hubungan. Tokoh inilah yang mempertemukan kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda antara orang-orang Islam dari luar Tangerang dan orang-orang Cina Benteng.

Oleh karena itulah, Kelenteng Boen San Bio memiliki peranan penting dalam menumbuhkan kerukunan antar umat beragama. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, Kelenteng yang berlokasi di Jalan K.S. Tubun Nomor 43 Desa Pasar Baru, Kota Tangerang, Banten ini menjadi destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Jika kalian ingin mendapatkan suasana yang meriah, maka datanglah menjelang perayaan Imlek. Lilin-lilin merah setinggi 1 meter akan menyala tanpa henti selama sebulan.

Ribuan lampion itu juga bergelantungan di langit-langit; menerangi area kelenteng sekaligus harapan umat manusia agar di tahun mendatang beroleh keberuntungan dan kebahagiaan. Benar-benar indah dan mempesona.*

 

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

 

error: Content is protected !!