Video

Kesenian Badeng dari Garut, Bermula dari Syiar Islam

×

Kesenian Badeng dari Garut, Bermula dari Syiar Islam

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Jauh sebelum republik ini merdeka, napas keislaman sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Satu dari sekian banyak media yang digunakan untuk syiar agama adalah kesenian. Di Garut, misalnya, ada kesenian Badeng.

Umur kesenian yang satu itu bukan dalam hitungan jari. Kesenian Badeng sudah ada sejak tahun 1800-an. Kali pertama dikenalkan oleh Arpaen dan Nursaen yang berasal dari Banten tapi tinggal di Garut, tepatnya Desa Sanding, Kecamatan Malangbong.

Awalnya memang bukan semata untuk kepentingan dakwah. Badeng digunakan masyarakat dalam pertanian, terutama saat menanam padi. Sebagai seni untuk dakwah, Badeng berkembang sekitar abad ke-16 atau ke-17.

Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Saat ditampilkan, di dalamnya terdapat syair lagu yang menggunakan bahasa Arab dan Sunda. Belakangan masuk Bahasa Indonesia. Liriknya memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik.

Adapun alat musik yang digunakan ada angklung sebanyak sembilan buah, dua buah dogdog, dua terbang atau gembyung, dan satu kecrek. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Badeng sering dijadikan sebagai media pembakar semangat masyarakat untuk berjuang. Dulu, dalam pertunjukan Badeng kerap disertai atraksi debus.

 

Baca : Sekilas Sejarah Debus Banten

Sampai sekarang, Badeng masih digunakan sebagai media hiburan warga. Kendati usianya sudah dua abad lebih, kesenian Badeng masih mendapat tempat di hati masyarakat. Kerap ditampilkan dalam pernikahan, khitanan, atau acara-acara keagamaan, seperti maulidan.

Tak heran, pada awal Desember 2021, Kesenian Badeng yang merupakan warisan budaya di Jawa Barat memperoleh Sertifikat Warisan Budaya Takbenda dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selain Badeng, arsitektur Kampung Pulo juga mendapat sertifikat serupa.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut, Budi Gan Gan, menjelaskan, Kesenian Badeng mendapatkan sertifikat WBTb dikarenakan kesenian tersebut masih dilestarikan turun temurun hingga lebih dari 50 tahun.

Sementara arsitektur Kampung Pulo yang terdapat di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Kampung adat ini merupakan kawasan cagar budaya yang letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang.

Kampung ini dikenal tempat penyebaran agama Islam di Garut yang dimotori Eyang Embah Dalem Arief Muhammad. Ia adalah panglima perang dari Kerajaan Mataram. Tak heran, penduduk Kampung Pulo merupakan keturunan asli dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad.

Saat ini, warga adat yang mendiami Kampung Pulo berjumlah 23 orang yang terdiri atas 10 perempuan dan 13 laki-laki. Mereka merupakan generasi ke-8, ke-9, dan ke-10 dari Embah Dalem Arief Muhammad.

Sejak abad ke-17, seperti ditulis indonesia.go.id, kompleks Kampung Pulo terdiri dari dari enam rumah dan satu musala. Rumah-rumah tersebut diperuntukan bagi anak perempuannya. Sementara musala untuk satu-satunya anak laki-laki.

Sampai sekarang bagunannya hanya ada tujuh, dan tidak boleh ditambah bangunan dan kepala keluarga. Itulah simbol putra-putri Embah yang memiliki tujuh anak. Harus tetap tujuh pokok bangunan.

Warga adat Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga sehingga apabila ada warga adat yang menikah, harus membangun keluarga ke luar kampung. Karena di kompleks Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga, misal anaknya menikah. Paling lama dua minggu mereka di sana, lalu harus keluar. Namun apabila ayah atau ibunya sudah meninggal, bisa masuk lagi ke kampung adat untuk mengisi kekosongan.

Kini bukti penyebaran dan pengajaran agama Islam oleh Embah Dalem Arief Muhammad dipamerkan di museum kecil yang ada di dekat makam keramat. Di museum tersebut terdapat naskah Alquran dari abad XVII dari daluang atau kertas tradisional dari batang pohon saeh.

Selain itu, juga terdapat naskah kotbah Idulfitri dari abad yang sama sepanjang 167 sentimeter yang berisi keutamaan puasa dan zakat fitrah.Serta dipamerkan juga beberapa benda antik dan lukisan berukuran besar yang digambarkan sebagai sosok Embah Dalem Arief Muhammad.

 

Baca pula : Kisah Si Legit dan Hitam Manis Dodol Garut

 

 

error: Content is protected !!