Koropak.co.id – Sunda dengan tabir masa lalunya yang hingga kini belum tersingkap sempurna, mendorong banyak orang untuk menggali hikmah dari setiap jengkal perjalanannya. Ada banyak pelajaran dari masa lalu tetap relevan untuk dijadikan pijakan dalam menapaki masa depan yang lebih baik.
Satu di antaranya adalah prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518). Coba perhatikan naskah ini: jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu’
Artinya, hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!
Yatnakeun maring ku hanteu’. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa! Ungkapan itu mengingatkan kita untuk selalu bersikap sederhana dan bijak dalam setiap memenuhi hajat hidup. Sekarang bisa jadi sedang punya banyak hal, tapi esok lusa siapa jamin masih dalam keadaan yang sama.
Berbicara tentang Bahasa Sunda, kapan lahirnya belum diketahui secara pasti. Namun, dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, ada petunjuk berbentuk prasasti abad ke-14. Prasasti itu ditemukan di Kawali, Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi ‘Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala desa. Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana’.
Baca : Mengungkap Pecenongan, Naskah Kuno Betawi dari Abad ke-19
Terjemahannya, inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis juga banyak dijumpai dalam bentuk naskah yang ditulis pada daun lontar, enau, kelapa, dan nipah yang berasal dari abad ke-15 hingga ke-18.
Dari banyak naskah, diketahui kalau Bahasa Sunda pada masa itu banyak dipengaruhi Bahasa Sansekerta dari India. Pada akhir abad ke-16, muncul karya Carita Parahiyangan. Di dalam naskah itu, terdapat empat kata yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja).
Seiring menyebarnya agama Islam di Nusantara, kosakata Bahasa Arab semakin banyak digunakan. Kata-kata seperti masjid, salat, magrib, abdi, dan saum telah akrab di bibir orang Sunda.
Pengaruh Bahasa Jawa juga tidak bisa dinafikan. Itu misalnya ditemukan dalam Prasasti Cibadak di Sukabumi. Sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19, pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda semakin menyebar. Itu lantaran masuknya kekuasaan Mataram ke tatar Sunda.
Kabarnya, sejak Padjadjaran runtuh, ada banyak naskah yang berbahasa dan beraksara Jawa, Arab, dan Pegon. Tak heran, Belanda menganggap urang Sunda sebagai orang Jawa gunung yang hidup di daerah barat pulau Jawa. Namun, pada masa selanjutnya, orang Belanda mulai menyadari bahwa Sunda sebagai etnis tersendiri, termasuk bahasanya yang berbeda dengan suku lain.
Baca juga : Sosok Akhudiat, Penulis Naskah Drama Terkenal Era 70-an