Koropak.co.id – Minum teh sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat dunia. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga negara-negara lain. Tanaman Camellia ini memang unik. Aromanya yang khas telah mengumpulkan banyak cerita dan peradaban hingga berabad-abad.
Dinasti Han dalam sejarah Tiongkok, memosisikan tradisi minum teh menjadi sesuatu yang sangat sakral. Minum teh menjadi bagian penting bagi inspirasi sang pempimpin menentukan kebijakan.
Di Inggris juga demikian. Tradisi dalam kerajaan Inggris menjadikan minum teh menjadi sesuatu yang penting. Bahkan, kabarnya Ratu Elizabeth II punya tiga jenis teh favorit.
Tradisi minum teh masih lestari di Jepang hingga sekarang. Kendati dikenal sebagai negara maju dan modern, namun tradisi inimasih menjadi bagian penting dari pergaulan masyarakat di negara Matahari Terbit ini.
Upacara minum teh di Jepang ini dinamakan sado yang berarti jalan teh. Ini menjadi tradisi penting bagi masyarakat Jepang saat menjamu tamu, tak terkecuali tamu-tamu kenegaraan.
Tradisi minum teh di Jepang ini unik. Ada etika dan adab yang harus dipatuhi. Etika itu terkait dengan persiapan Sado, kemudian pelaksanaan Sado, dan terakhir setelah Sado dilaksanakan. Semua tahapan ini menjadi bagian penting dalam tradisi minum teh di Jepang.
Etika dalam persiapan Sado di antaranya melepas semua aksesoris atau pershiasan yang dipakai, membawa sumpit dan kain, memakai pakain yang sopan dan kaos kaki, mencuci tangan, dan terakhir masuk ke ruangan khusus minum teh.
Demikian minum teh di Jepang yang serba tertib dan penuh dengan nilai-nilai filosofi. Budaya yang sangat indah di tengah perkembangan zaman dan derasnya pergaulan globalisasi yang tak terbendung.
Selain di Jepang, tradisi minum teh juga ada di Indonesia. Dengan beragam budayanya, daerah-daerah Nusantara memiliki keunikan dan kekhasan saat menyajikan teh.
Di Jawa Tengah, misalnya, ada Teh Poci. Tradisi minum teh wangi melati di dalam poci dan di tambah dengan gula batu ini menjadi suguhan khusus masyarakat Jawa Tengah, seperti di daerah Slawi, Tegal, Brebes dan Pemalang.
Baca : Tradisi Minum Teh di Surakarta, Dari bangsawan Hingga Rakyat Biasa
Ada yang unik dari tradisi Teh Poci ini. Penikmat teh ini hanya dibolehkan menambahkan gula batu, tetapi tidak boleh mengaduknya. Ternyata itu punya filosofi dalam. Bahwa hidup ini memang pahit pada awalnya, tapi jika ingin bersabar maka kita akan mendapatkan manisnya.
Persis seperti gula yang dimasukkan ke dalam teh. Masukkan saja gula batunya, dan tidak perlu diaduk. Perlahan, gula itu akan mencair dan membuat teh menjadi manis. Hanya perlu menunggu sebentar. Sabar, hidup pasti akan terasa manis.
Di Sunda juga ada tradisi ngeteh. Namanya Nyaneut. Itu akronim dari Nyai Haneut atau Cai Haneut yang berarti air hangat. Tradisi minum teh ini tak sembarangan. Sebelum meminum teh, para penikmatnya ini harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak dua kali, lalu kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 tiga kali. Saat menikmati teh, para penikmatnya telah merasasakan lima pancaindera melalui teh yang tersaji.
Sementara di Betawi ada Nyahi. Menurut kisah masyarakat Betawi, kata “Nyahi” berasal dari budaya Arab, dari kata “Syahi” yang artinya teh. Nyahi dilakukan bersama keluarga, relasi, teman dekat, dan sahabat. Biasa dilakukan saat pagi, sore, dan malam. Di kala berkumpul menikmati waktu.
Ada pula Patehan di Keraton Yogyakarta. Tradisi ini tidak bisa dilakukan oleh siapa saja. Hanya boleh dilakukan oleh lingkungan keraton. Lebih unik dalam tradisi di Yogyakarta ini, karena tradisi ini tidak lakukan sembarangan.
Sebelum melakukan Patehan, akan ada lima pria dan lima perempuan berpakaian adat Jawa. Mereka yang berpakaian khusus khas Keraton Yogyakarta ini meracik teh dengan sedemikian rupa dan kemudian menyajikan untuk raja dan keluarga keraton atau tamu keraton.
Tapi jangan salah, Bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di masa lalu ternyata pernah memiliki perkebunan teh di Ngampel, Boyolali dan budidaya tanaman teh yang dijajal kaum aristokrat itu diberi nama Madusita. Fakta tersebut terekam dalam Serat Biwadha Nata.
Di Surakarta Solo juga ada tradisi ngeteh. Keraton Solo memiliki peranan dalam mengembangkan usaha perkebunan teh dan membentuk budaya ngeteh di tanah Jawa. Hingga saat ini teh juga berhasil menjadi komoditas yang dijual di berbagai tempat, mulai dari angkringan pinggir jalan hingga restoran mewah kelas satu.
Untuk memperkuat kultur ngeteh, pada Oktober 2012 lalu sempat digelar Festival Teh Internasional di Kota Solo. Acara tersebut digelar di sepanjang koridor Ngarsapura yang menghadirkan 1.000-an penjual teh. Kota Solo dipilih sebagai tuan rumah Festival Teh Internasional pertama karena dianggap sebagai etalase teh di Indonesia.
Sampai saat ini, teh berhasil menjadi salah satu ikon kuliner di Kota Solo yang sangat populer. Tiap angkringan di Kota Solo juga memiliki resep dan cara meracik teh yang berbeda-beda. Hingga munculah budaya mencampur atau mengoplos teh yang diklaim hanya ada di Kota Solo.
Baca juga : Teh Poci dan Tradisi Moci di Tegal