Video

Kisah Penindasan di Balik Nikmat Nasi Padang

×

Kisah Penindasan di Balik Nikmat Nasi Padang

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Nasi Padang sudah sangat akrab di telinga kita. Makanan asal Sumatera Barat itu telah mendapat tempat luas di hati masyarakat Indonesia. Hampir semua orang menyukainya. Kalau kamu, lauk apa yang paling suka? Rendang? Ayam pop? Gulai kepala kakap? Atau lebih suka telur dadar seperti saya? Hehehe…

Duh, kok mendadak ngiler begini ya. Jadi terbayang betapa nikmatnya makan nasi padang dengan telur dadar yang disiram bumbu rendang. Apalagi kalau dicampur daging cincang yang kuahnya merah berlemak. Tambuah ciek, Da! Sambalnya banyakin yaaa. Hihihihi…

Tapi tahukah kamu, di balik nikmatnya nasi Padang, terbentang sejarah panjang yang tidak sembarang. Berdasarkan penelusuran, ada dua versi tentang sejarah nasi padang ini. Versi pertama, seperti ditulis greatnesia, restoran Padang sudah ada sejak sebelum Indonesia menyatakan merdeka.

Suryadi Sunuri, dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, menyebutkan, ada surat kabar yang terbit pada tahun 1937 menulis frasa Padangsch-Resrtaurant. Rumah makan yang menyajikan masakan Padang itu milik Ismael Naim.

Sedangkan versi kedua memuat tentang penindasan terhadap warga Minang. Setelah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat berakhir, tepatnya tahun 1961, banyak warga Minang yang merasa diperlakukan diskriminatif oleh Pemerintah.

Mereka disebut orang kalah, dihina, diwajibkan melapor, sehingga seakan jadi tawanan di daerah sendiri. Perlakuan sewenang-wenang itu mendorong banyak warga Minangkabau yang merantau ke luar pulau. Banyak di antara mereka yang berwirausaha dengan  membuka warung nasi Padang.

Profesor Gusti Asnan, sejarawan Minangkabau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, seperti dilansir bbcindonesia.com, menjelaskan, tindakan Pemerintah yang keras dan cenderung menindas mendorong orang Minangkabau di perantauan berusaha mengganti identitas mereka.

 

Baca : Obama, Indonesia dan Nasi Goreng

 

Salah satunya mengganti nama diri dari khas Minangkabau menjadi kejawa-jawaan. Mereka tidak lagi memakai istilah-istilah Minang, seperti “lapau nasi”, “kedai nasi”, “los lambuang”, atau “karan”. Hal itu menjadi satu ikhtiar bertahan hidup di kampung orang.

Bagi warga Minang, bertahan dalam kondisi tidak nyaman bukanlah perkara baru. Mental mereka sudah tertempa sejak lama. Jangan kira restoran Padang dulu dan sekarang sama saja. Saat ini, nasi Padang dijajakan di tempat permanen, bahkan banyak yang bangunannya terlihat mewah. Dulu tidak begitu. Nasi padang dijual di bawah tenda.

Perjalanan panjang telah membuat nasi Padang menjadi salah satu brand paling kuat dalam dunia kuliner. Restoran Padang ada di mana-mana. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Bahkan, salah satu menunya, yaitu rendang, pernah diakui sebagai makanan paling enak di dunia. Keren, kan?

Eh, apakah kamu penasaran kenapa nasi Padang yang dibungkus porsinya lebih banyak dibanding makan di tempat? Nah, jawabannya ada dua versi juga. Versi pertama adalah sebagai bentuk penghargaan penjual kepada pembeli. Dengan dibungkus, penjual tidak perlu mencuci gelas dan piring kotor, termasuk mengelap meja. Sebagai gantinya, nasi diberi dobel.

Sedangkan versi kedua terkait dengan kepedulian pemilik warung nasi kepada pembeli. Ia sengaja memberikan porsi nasi bungkus yang lebih besar agar bisa dinikmati bersama keluarga di rumah.

Atau kamu punya versi lain kenapa nasi Padang yang dibungkus porsinya lebih besar dibanding makan di tempat? Boleh tulis di kolom komentar, ya. Hehehe

 

Baca juga : Ada Sejak Zaman Belanda, Sensasi Gurih Nasi Jamblang Tak Terkalahkan

 

error: Content is protected !!