Koropak.co.id - Indonesia punya banyak budaya yang dibalut dengan beragam pakaian. Di Jawa Barat, misalnya, ada iket yang bukan saja berguna sebagai penghias kepala, tapi juga punya filosofi mendalam.
Di daerah lainpun sama. Di Jawa Timur atau Jawa Tengah ada penutup kepala yang diberi nama blangkon. Sementara di Bali, penutup kepalanya disebut Udeng. Masing-masing memiliki falsafah dan sudah melalui perjalanan budaya yang teramat panjang.
Kali ini kita akan fokus membahas iketnya orang Sunda. Selain digunakan sebagai kelengkapan pakaian pria, iket Sunda memiliki nilai estetis yang tinggi, banyak ragamnya, dan mengandung falsafah mendalam.
Bagi orang Sunda, iket bukan sekadar penghias kepala. Secara filosofis, iket memiliki arti sauyunan dalam satu kesatuan hidup. Ibaratnya lidi, jika dibentuk menjadi satu ikatan sapu, maka lidi tersebut akan mampu membersihkan apapun.
Begitu juga dengan manusia. Jika bergerak sendiri-sendiri, pasti akan menjadi berat ketika menghadapi suatu masalah. Tapi akan berbeda cerita bila dilakukan secara bersama-sama. Diperlukan kebersamaan yang diikat dalam semangat gotong royong. Iket itu juga menandakan agar pemakaiannya tidak ingkah atau lepas dari jati diri Kasundaan.
Sebagai generasi muda, sudah menjadi kewajiban kita untuk terus melestarikan kebudayaan dan jati diri bangsa. Apalagi, iket ini bukan lahir kemarin sore. Iket telah menemani perjalanan urang Sunda sejak dulu.
Berpijak pada perjalanannya, iket Sunda terbagi menjadi lima rupa atau bentuk. Pertama, rupa iket bihari atau masa lampau yang sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat kampung adat.
Baca : Falsafah Iket Sunda dan Jenisnya
Kedua, iket kiwari atau masa kini. Pembuatan iket yang satu ini dimulai sekitar awal tahun 2000. Dimotori oleh para pelaku seni, budayawan, serta komunitas kreatif yang peduli terhadap budaya Sunda.
Bentuk ketiga adalah iket praktis atau iket panganteur. Disebut praktis lantaran iket yang satu ini sudah dijahit, sehingga mudah memakainya. Sedangkan rupa keempat dan kelima adalah iket wanoja dan iket kolaborasi.
Iket wanoja, sesuai namanya, adalah iket yang dipakai oleh perempuan. Dalam Bahasa Sunda, wanoja berarti perempuan. Iket yang satu ini mulai dikenalkan pada 2011 oleh Komunitas Iket Sunda, dan sampai sekarang masih dilakukan pengembangan model.
Adapun iket kolaborasi adalah iket yang dimodifikasi untuk kebutuhan khusus, seperti untuk pertunjukan atau ditambah logo tertentu. Kendati dilakukan berbagai modifikasi, termasuk dalam penggunaan jenis kainnya, filosofi dalam iket Sunda tetap dipertahankan.
Selain merupakan identitas budaya dan menambah estetika penampilan, satu hal yang paling penting dari iket Sunda adalah filosofinya, yaitu mengikat hawa nafsu dalam diri, sehingga bisa menjadi manusia seutuhnya. Iket harus menjadi pengikat hawa nafsu untuk menjadi manusia yang baik.
Iket bukan hanya selembar kain yang dipakai untuk memperindah penampilan pria, tapi merupakan perwujudan dari budaya Sunda yang di dalamnya terkandung filosofi tentang ketuhanan dan nilai-nilai kebenaran.
Baca juga : Kabayan, Totopong dan Blankon Sunda
Admin
Koropak.co.id - Ramadan datang semua riang. Umat muslim di Indonesia menyambut bulan suci itu dengan berbagai cara. Ada yang sekadar kumpul dengan keluarga, ada juga yang menggelar acara massal yang dilangsungkan di satu tempat.
Di setiap daerah memang mempunyai tradisi berbeda-beda, dan itu sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di Kudus, Jawa Tengah, misalnya. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana menggelar Dandangan yang merupakan kebiasaan Sunan Kudus pada 450 tahun silam.
Kala itu, di setiap jelang Ramadan, para santri berkumpul di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang waktu awal saum. Diketahui, Sunan Kudus merupakan ahli ilmu falak yang bisa menghitung hari dan bulan dalam kalender hijriah.
Pengumuman awal datangnya Ramadan dilakukan di pelataran Masjid Menara Kudus dengan memukul dua bedug di dua waktu. Pemukulan bedug pertama untuk mengumpulkan masyarakat, sedangkan yang kedua untuk memutuskan sekaligus membuka awal Ramadan.
Hingga saat ini tradisi tersebut masih dilestarikan, bahkan dimeriahkan dengan kirab yang merepresentasikan budaya di Kudus, seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, rumah adat Kudus dan lain-lain.
Bila di Kudus punya Dandangan, di Kampung Adat Miduana, Cianjur, Jawa Barat, lain lagi. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana punya tradisi Kuramasan. Dari pagi hingga siang, mereka berkumpul di Sungai Cipandak.
Selain mandi, baik berkelompok atau masing-masing dan tanpa harus membuka seluruh pakaian, masyarakat bergotong royong membersihkan sungai dari sampah. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan bersama atau mayor di tepi sungai.
Salah satu makna yang terkandung dalam Kuramasan adalah membersihkan diri dari segala kotor, hingga datangnya Ramadan disambut dengan kebersihan. Dengan begitu, masyarakat siap lahir batin menyambut dan melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci.
Selain Kuramasan, masyarakat Sunda di belahan lainnya, seperti di wilayah Priangan Timur ada kebiasaan dalam menyambut Ramadan yang dikenal dengan istilah Munggahan. Unggah atau naik bermakna naik ke bulan baru yang memiliki derajat lebih tinggi.
Umumnya, dalam menggelar munggahan masyarakat Priangan Timur biasa berkumpul dengan keluarga atau teman untuk makan bersama atau botram. Bukan hanya di rumah, munggahan bisa digelar juga di restoran atau tempat-tempat wisata.
Hampir mirip dengan Kuramasan, masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat, punya Balimau. Dalam menyambut Ramadan, mereka mandi di sungai atau tempat pemandian dengan cara berbeda. Bukan mandi biasa, tapi airnya dicampur limau atau jeruk nipis.
Baca: Ragam Tradisi Sambut Ramadan, Bakar Batu Lulur Wajah
Sama dengan di Sunda, masyarakat Papua juga punya kebiasaan serupa. Umat muslim di sana punya tradisi makan bersama dalam menyambut Ramadan. Kendati serupa, tapi dalam praktinya berbeda. Mereka punya Bakar Batu yang sudah berlangsung sejak lama.
Di Papua, tradisi tersebut biasa dilakukan oleh semua kalangan, tak terkecuali umat muslim. Batu-batu dibakar hingga panas lalu di atasnya disimpan berbagai makanan, seperti daging ayam atau sapi, sayuran, dan umbi-umbian.
Tumpukan makanan itu kemudian ditutup lagi dengan batu panas sampai bahan-bahan tersebut matang dan siap disantap bersama. Selain untuk membuka lahan atau membangun rumah, tradisi Bakar Batu sering dilakukan dalam perayaan kelahiran atau perkawinan.
Masyarakat muslim Papua, seperti di Walesi Jayawijaya dan daerah lainnya, biasa menggelar Bakar Batu dalam menyambut Ramadan. Mereka bergembira dengan datangnya bulan suci.
Di Aceh beda lagi. Dalam menyambut Ramadan, mereka punya tradisi Meugang. Masyarakat ramai-ramai ke pasar untuk berburu atau membeli daging sapi untuk dimasak dan dimakan bersama. Bukan hanya dengan keluarga, tapi juga mengundang tetangga atau para yatim dan fakir miskin.
Diketahui, tradisi tersebut bermula pada abad ke-14 masehi, tepatnya kala penyebaran agama Islam di masa kerajaan Aceh Darussalam. Waktu itu, raja memerintahkan balai fakir atau badan yang menangani fakir miskin dan duafa untuk membagikan daging, beras, dan pakaian. Semua biayanya ditanggung kerajaan.
Hal itu dilakukan raja sebagai rasa syukur atas datangnya bulan suci. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, tradisi tersebut masih dilakukan masyarakat Aceh. Bukan hanya dalam menjelang Ramadan, Meugang juga digelar sebelum Idulfitri dan Iduladha.
Di Gorontalo beda lagi. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di sana, terutama kaum perempuan, biasa melakukan Mohibadaa. Itu merupakan tradisi melulur atau memasker wajah menggunakan rempah-rempah tradisional, seperti tepung beras, kencur, kunyit dan lain-lain.
Kendati bisa dikerjakan kapanpun, kebiasaan itu memiliki manfaat tersendiri bila dilakukan saat akan memasuki Ramadan. Tubuh yang kering lantaran kekurangan cairan akibat saum, jadi terasa tetap segar lantaran luluran.
Masyarakat yang melakukan tradisi Mohibadaa merasakan banyak manfaatnya, semisal wajah jadi lebih segar dan bisa mencegah kerutan pada kulit. Lantaran pada saat saum kulit terasa kering, Mohibadaa jadi pilihan perempuan Gorontalo agar tetap merasa segar.
Baca juga: Ramadan Sama Lebaran Beda; Ada Sejak Indonesia Belum Merdeka
Admin
Koropak.co.id - Ini adalah Masjid Agung Demak yang berada di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Jika dilihat dari luar, sepintas tidak ada yang terlalu istimewa dari masjid yang satu ini. Bangunan dan ornamen luarnya terlihat sederhana, tidak semewah dan semegah masjid yang sempat viral beberapa waktu lalu.
Namun, kemewahan masjid ini tidak terletak dari corak dan bentuk fisiknya. Ada nilai yang maha mahal di balik kesederhanaannya. Selain merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia, Masjid Agung Demak menjadi bukti kebesaran kesultanan Islam pertama di wilayah Jawa.
Dulu, saat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, para wali sanga atau wali songo kerap berkumpul di masjid ini. Karena itulah mengapa hingga kini Kabupaten Demak kerap disebut juga sebagai kota wali.
Adalah Raden Patah yang berjasa dengan keberadaan masjid ini. Tapi bukan hanya masjid, ia juga merupakan peletak pertama dan utama dari berdirinya sebuah daerah yang kini bernama Kabupaten Demak.
Awalnya, Raden Patah diperintahkan gurunya, Sunan Ampel, untuk membuka satu perkampungan baru dan menyebarkan Islam di sana. Ia diberi petunjuk oleh gurunya untuk berangkat ke arah barat, ke satu tempat yang ditumbuhi gelagah atau ilalang yang wangi.
Raden Patah patuh. Dengan sepenuh hati ia melaksanakan titah gurunya. Setelah mendapatkan tempat seperti yang diamanatkan gurunya, Raden Patah segera menebangi dan membersihkan pada rumput ilalang. Lambat laun, tempat tersebut berubah menjadi pusat belajar agama Islam.
Banyak orang bermukim untuk menjadi santrinya. Bukan hanya penduduk sekitar, banyak pula yang berasal dari negeri seberang sengaja datang ke tempat Raden Patah.
Dari sanalah mulai berdiri pesantren. Di kemudian hari, pesantren itu menjelma jadi kerajaan. Perubahan itu tidak terlepas dari status Raden Patah yang disebut-sebut sebagai putra Prabu Brawijaya V atau Prabu Kertabumi, raja terakhir Kerajaan Majapahit.
Baca: Perjanjian Salatiga dan Berakhirnya Kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa
Semula merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, Raden Patah berhasil membangun dan mengembangkan tempat yang dirintisnya hingga berubah menjadi Kesultanan Demak, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Ada pergulatan politik sebelum berdirinya Kerajaan Demak. Kala itu, di pusat Kerajaan Majapahit terjadi pertentangan antara keturunan Dinasti Singosari dengan Kediri. Puncaknya, Majapahit diserang hingga menewaskan Prabu Kertabumi.
Penyerbuan yang menyebabkan ayahnya meninggal dunia itu membuat Raden Patah marah. Ia lantas mengirimkan pasukan perang yang dipimpin Pangeran Kudus, hingga berhasil mengalahkan Majapahit.
Kemenangan itu membuat Demak menjadi penguasa Jawa. Atas dukungan para wali dan penguasa wilayah, Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan Demak pertama dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdul Rahman Penembahan Palembang Sayidin Panatagama.
Kepemimpinan Raden Saleh dengan bimbingan wali sanga berhasil membawa Kesultanan Demak menjadi kerajaan Islam yang diperhitungkan. Pengaruh kekuasaannya meluas hingga ke Kalimantan.
Salah satu bukti kebesaran Kesultanan Demak yang masih bertahan dan berfungsi sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut dipercaya sering dijadikan tempat berkumpulnya para ulama Nusantara.
Ada beberapa versi terkait pembangunan masjid tersebut. Satu sumber menyebutkan dibangun pada 1477 Masehi, sedangkan sumber lain tahun1479 Masehi. Terlepas dari hal itu, untuk mengabadikan masjid tersebut, Pemerintah Kabupaten Demak memasukkan gambar masjid ke dalam lambang daerah. Selain itu, penobatan Raden Saleh sebagai Sultan Demak pada 12 Rabiul Awal 1425 Saka atau 28 Maret Masehi dijadikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Demak.
Baca juga: Ketahui 6 Masjid Tertua di Indonesia, Ada yang Berdiri Sejak 1288
Admin
Koropak.co.id - Jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang pesat seperti sekarang, kehidupan orang-orang zaman dulu tidak terlepas dari alam. Kala tubuh dilanda sakit, solusinya kembali ke alam. Jika pilek, misalnya, atau suara parau, obatnya adalah minum minyak wijen dan jeruk nipis.
Bila sesak napas, obatnya pakai jeruk, mentimun, bawang putih, terasa, dan laja. Saat demam atau panas dingin, gunakan bawang merah, jahe, lempuyang. Semua bahan itu ditumbuk lalu dibalurkan merata ke seluruh tubuh.
Selain menggunakan bahan-bahan alam, ada ikhtiar lain yang juga harus dilakukan, yakni membaca mantra. Nusantara memang memiliki banyak kearifan lokal, tak terkecuali di tanah Sunda. Mantra adalah salah satunya.
Elis Suryani dan rekan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, melakukan penelitian terkait mantra yang dijadikan salah satu media pengobatan tradisional. Dalam khazanah sastra, mantra berarti karya sastra berjenis dan berunsur puisi, seperti rima, irama, diksi, citraan, dan majas yang berisi semacam kata-kata berupa jampi-jampi.
Berdasarkan tujuannya, ada tujuh jenis mantra, yaitu jampe 'jampi', asihan 'pekasih', singular 'pengusir', jangjawokan 'jampi', rajah, ajian, dan pelet 'guna-guna'. Ketujuh jenis itu dikelompokkan ke dalam mantra putih atau white magic yang digunakan untuk kebaikan dan black magic alias mantra hitam dipakai untuk kejahatan.
Secara umum, ada tiga fungsi utama mantra, yaitu sebagai perlindungan, kekuatan, dan pengobatan. Sebagian masyarakat percaya kalau mantra memiliki kekuatan gaib. Mereka yang mengamalkannya punya beragam tujuan.
Suryani memaparkan, naskah mantra pengobatan yang ditelitinya telah dipengaruhi Islam walaupun masih mengandung unsur animisme dan dinamisme. Di dalamnya menyiratkan adanya permohonan kepada Sang Pencipta.
Di masa lampau, mantra digunakan para orang tua untuk mengobati beragam penyakit dan dianggap sebagai doa permohonan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Dulu, keberadaan dokter tidak seperti sekarang, sehingga mantra dianggap sebagai media pengobatan yang diperhitungkan.
Bismillah
Nini uju-uju aki uju-uju
ulah nuju ka nu tungtung sirah
nuju ngala kayu batu
rep sirep ku sang idu putih
nyampe waras nu nyampe di beurang ti peuting
waras ku Pangeranna sahadatâ¦â¦
Baca: Mengenal Budaya Cium Tangan di Indonesia, Negara Asia Lainnya juga Ada
Itu adalah mantra yang digunakan untuk mengobati anak yang sakit demam, panas, atau sakit kepala.
Jika mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang atau tubuh terluka akibat sabetan benda tajam, mantranya beda lagi. Coba simak ini:
Bismillahâ¦.
Kulit tepung kulit
urat tepung urat
lamad tepung lamad
tulang tepung tulang
pet rapet ku kersaning Alloh
Selain membaca mantra, para karuhun juga melakukan ikhtiar ragawi. Untuk mengobati luka yang tersayat golok atau benda tajam lainnya, sambil membacakan mantra, luka tersebut dibersihkan pakai air lalu diolesi semacam getah pohon atau minyak kelapa yang sudah dipanaskan terlebih dahulu.
Jika lukanya dianggap parah serta darah terus-menerus mengalir, maka bagian yang luka dibalut atau dibungkus dengan kain/perban, yang sebelumnya ditutup terlebih dahulu oleh jukut palias 'sejenis rumput' yang sudah dikunyah lalu ditempelkan kepada bagian yang luka.
Setiap hari atau dua hari sekali perban tersebut dibuka untuk diolesi minyak hangat dan getah, atau rumput, agar lukanya segera sembuh.
Suryani dan kawan-kawan menuturkan, motivasi dan kegigihan para pengamal mantra menekuni dan merasakan manfaat mantra adalah adanya keyakinan adanya kekuatan gaib di luar kemampuan manusia.
Mereka menyandarkan diri sepenuhnya kepada kekuasaan Allah Subhanahu wata'ala. Sikap merasa bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa menjadi dorongan yang dominan bagi usaha pemakaian mantra secara mantap.
Dalam kesimpulannya, Suryani menegaskan, bekal ketauhidan masyarakat menjadi hal penting bahwa kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya tidak terlepas dari kekuasaan Allah Subhanahu wata'ala.
Baca juga: Kisah Penari Taledek dan Kegemaran Priyayi Jawa Mengumbar Birahi
Admin
Koropak.co.id - Perang antara pasukan Pangeran Diponegoro dari Jeksa melawan pasukan murtad dari Mangkunegaraan dan kafir Belanda berlangsung lama dan melelahkan. Saling serang di antara kedua belah pihak tak terelakkan, hingga menewaskan banyak orang.
Pasukan Jeksa yang berbaris di sebelah timur Yogyakarta tengah bertarung melawan pasukan murtad di bawah komando Pangeran Mangkunegara. Semula, pasukan murtad berhasil didesak oleh pasukan Jeksa. Namun, sesudah mendapatkan bantuan pasukan kafir Belanda, pasukan murtad menjadi lebih kuat dan unggul.
Mengetahui pasukan Jeksa mulai terdesak, Pangeran Mangkunegara memerintahkan mereka untuk mundur. Namun, pasukan Jeksa lebih memilih hancur dalam perang sabil itu ketimbang meninggalkan medan laga sebagai pecundang.
Perang mulai seimbang sesudah pasukan Jeksa mendapatkan bantuan pasukan dari Muhammad Usman Ali Basah dan Haji Ngisa. Lambat laun, pasukan murtad dan kafir Belanda berhasil didesak hingga banyak serdadunya yang tewas.
Tapi kondisi kembali berbalik. Setelah mendapat tambahan kekuatan, pasukan murtad dan kafir Belanda berhasil melawan pasukan Jeksa hingga menewaskan banyak prajurit. Kekalahan demi kekalahan dialami pasukan Jeksa di tempat lainnya.
Mendapat kenyataan itu, Pangeran Diponegoro yang masih sakit ingin tampil sebagai panglima perang dalam menghadapi pasukan musuh. Namun, niat itu diurungkan sesudah mendapat nasihat dari Kiai Maja dan Pangeran Ngabehi.
Rentetan kekalahan itu membuat Diponegoro sangat berduka. Di satu malam, saat pasukan dari Jeksa tengah tertidur pulas, Pangeran Diponegoro yang tidak bisa memejamkan mata, didatangi seorang perempuan berpakaian serba hijau dan bermahkota emas.
Perempuan yang datang dengan dua pengiringnya itu bertanya kenapa pangeran bersedih. Diponegoro menjawab, dirinya sedang memikirkan pasukannya yang semakin lemah, sementara pasukan musuh semakin kuat dan perkasa.
Kepada perempuan yang dipanggil Ratu Kidul itu pangeran menyampaikan bahwa dalam banyak perang, pasukannya mengalami kekalahan. Ia sedih, terlebih jumlah prajurit yang meninggal sahid sudah tak terhitung.
"Jangan khawatir, Pangeran!" ujar Ratu Kidul tersenyum dengan wajah berbinar serupa purnama yang tak tersaput awan.
Baca: Kisah Kebesaran Kerajaan Majapahit
Ia lantas berjanji akan memberinya bantuan, dan pasukannya sanggup menyingkirkan semua musuh pangeran di tanah Jawa. Itu akan dilakukannya asal Diponegoro mampu memenuhi syarat yang diajukannya. Syarat itu adalah Pangeran Diponegoro harus menikahi Ratu Kidul.
Dengan tegas, Pangeran Diponegoro menolak tawaran bantuan bersyarat dari Ratu Kidul. Ia menegaskan, dirinya hanya mengharapkan bantuan sepenuhnya dari Allah Subhanahu wata'ala. Hanya kepada Allah dirinya berlindung. Bukan kepada Ratu Kidul, bukan pula kepada setan, iblis, atau jin dari dunia kegelapan.
Mendengar jawaban tegas dari Pangeran Diponegoro, Ratu Kidul kecewa dan langsung lenyap dari pandangan. Ia lenyap bersama dua pengirinya seperti gumpalan asap yang tersapu angin. Pergi tanpa meninggalkan jejak dan pesan apapun.
Setelah Ratu Kidul berserta kedua pengiringnya lenyap, Pangeran Diponegoro melaksanakan salat malam dan memohon petunjuk Allah Subhanahu wata'ala.
Cerita pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Ratu Kidul itu dikisahkan Sri Wintala Achmad dalam "Babad Diponegoro".
Diketahui, "Babad Diponegoro" merupakan naskah lawas yang ditulis Raden Mas Ontowiryo atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Babad tersebut dibuat saat Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado pada rentang tahun 1832 s.d.1833.
Pada Juni 2013, UNESCO menetapkan "Babad Diponegoro" sebagai Warisan Ingatan Dunia atau Memory of The World. Ada banyak hal yang dikisahkan dalam naskah tersebut.
Selain menceritakan runtuhnya Majapahit dan Perjanjian Giyanti, dalam autobiografi yang ditulis putra Sri Sultan Hamengkubowono III itu dikisahkan pula tentang riwayat para leluhurnya. Ada juga kisah-kisah berbau mistis, seperti cerita tentang pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Ratu Kidul.
Kini, kopian "Babad Diponegoro" disimpan di dua tempat, yakni di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Rotterdam, Belanda. Disebut kopian lantaran naskah aslinya telah hilang, dan yang sekarang ada merupakan kopi naskah otentik beraksara Arab pegon dan aksara Jawa.
Baca juga: Mengungkap Mitos Pohon Dewandaru, Tumbuhnya dari Tongkat Pengawal Diponegoro
Admin
Koropak.co.id - Eh, enggak terasa ya sebentar lagi Ramadan? Tinggal menghitung hari, kangmas. Kurang dari sebulan lagi umat Islam di seluruh dunia bakal melaksanakan salah satu rukun Islam, yakni saum. Di Indonesia, beberapa organisasi keagamaan sudah mengumumkan kapan tanggal 1 Ramadan 1444 Hijriah, termasuk waktu lebarannya atau 1 Syawal.
Muhammadiyah, misalnya. Organisasi yang didirikan Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 itu sudah mengeluarkan maklumat tentang penetapan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 Hijriah.
Dalam maklumat tersebut ditegaskan bahwa 1 Ramadan tahun ini jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023, dan 1 Syawal pada Jumat Pahing, 21 April 2023. Penentuan tanggal itu berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Paham apa itu hisab hakiki wujudul hilal? Enggak, ya? Sama! Hihihi…. Bagi kita-kita yang isi otaknya di bawah garis kepintaran, pokoknya manut saja apa yang disampaikan pemimpin. Jika ada organisasi lain yang berbeda keputusan, tak perlu saling menjelekkan apalagi menimbulkan perpecahan.
Seperti halnya Persatuan Islam atau Persis yang keputusannya berbeda dengan Muhammadiyah. Kendati awal Ramadannya sama, organisasi yang didirikan di Bandung pada 12 September 1923 ini berbeda waktu dalam penentuan 1 Syawal.
Berpijak pada metodologi hisab imkan ru'yah kriteria astronomi, Dewan Hisab dan Rukyah Pimpinan Pusat Persatuan Islam menyatakan bahwa awal Ramadan 1444 Hijriah ditetapkan pada Kamis, 23 Maret 2923, dan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.
Kendati awal Ramadannya sama, Muhammadiyah dan Persatuan Islam berbeda keputusan soal awal Syawal. Maka, saat warga Muhammadiyah sudah merayakan lebaran, jemaah Persatuan Islam masih melaksanakan saum Ramadan. Nah lho…mau ikut lebarannya siapa, kang mas? Hehehe….
Bagaimana dengan Nahdlatul Ulama? Dalam menentukan awal Ramadan, organisasi keagamaan yang didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 itu mesti melalui rukyatul hilal yang dilakukan di sejumlah titik pengamatan. Adapun Pemerintah menggunakan keduanya, yakni hisab dan rukyatul hilal.
Baca: Memahami Perbedaan Awal Ramadan 1443 Hijriah
Haduh, tambah puyeng enggak tuh? Ada hisab hakiki wujudul hilal, ada hisab imkan ru'yah, ada pula rukyatul hilal. Sudahlah, jangan diambil pusing. Dengar dan taati. Itu saja. Laksanakan apa yang dikatakan pemimpin. Selesai.
Ini mah sekadar informasi saja, ya. Di Indonesia, perbedaan awal Ramadan atau Syawal bukan hanya terjadi kali ini. Tahun lalu juga begitu. Pada Ramadan 2022, Pemerintah dan Nahdlatul Ulama menetapkan awal Ramadan jatuh pada 3 April 2022, sedangkan Muhammadiyah pada 2 April 2022. Kendati begitu, hari idulfitrinya sama, yakni 2 Mei 2022.
Perbedaan seperti itu bukan hal yang baru, karena sudah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Pada tahun 1938, misalnya, diketahui ada dua pihak yang berbeda keputusan dalam menentukan awal Ramadan. Ada yang memulai saum pada Senin, 24 Oktober 1938, sedangkan yang lain memutuskan Selasa, 25 Oktober 1938.
Jauh sebelum itu, seperti ditulis de Graff dalam "Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa", perbedaan dalam menentukan awal Ramadan menjadi perselisihan antara Sunan Kudus dengan Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus memilih meninggalkan Demak. Namun, de Graff menilai ada alasan lain lebih mendalam yang membuat Sunan Kudus bersikap seperti itu.
Di Aceh pun terjadi hal serupa. Pada Abad ke-16, Sultan setempat berselisih paham dengan Tuwan yang merupakan seorang ahli agama. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan hari pertama saum di bulan Ramadan.
Sejarah mencatat, di negeri ini perbedaan dalam menentukan hari pertama di bulan Ramadan telah berlangsung sejak berabad-abad silam. Pengalaman panjang itu sejatinya menjadi pijakan kuat untuk lebih dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan. Begitu, kan, kangmas?
Eh, ngomong-ngomong sudah pada beli baju lebaran belum? Ha---Ha---Ha---ha
Baca juga: Tak Banyak Orang Tahu, Ini Asal Usul Kata Lebaran
Admin
Koropak.co.id - Apa yang terlintas dalam benak saat ada orang yang menyebut pathok? Bakpia? Bakpia pathok? Ya, makanan asal Yogyakarta itu memang sudah tersohor ke seantero negeri. Si mungil manis itu rasanya enak dan bikin ketagihan. Deuhh, jadi pengen ke Yogya nih.
Kalau nanti ke sana, jangan cuma berburu bakpia pathok dan kuliner khas Yogyakarta lainnya, ya? Selain makanan, di sana ada banyak tempat bersejarah yang layak dikunjungi. Salah satunya adalah Masjid Pathok Negara Dongkelan.
Ada sejarah panjang yang menyertai perjalanan masjid tersebut. Orang yang pertama kali membangunnya adalah Kiai Syihabuddin atas perintah Sultan Hamengkubuwono I pada 1775. Itu berarti, usia masjidnya hampir dua setengah abad, tepatnya 248 tahun.
Ada beberapa versi terkait arti dari pathok negara yang dijadikan nama masjid tersebut. Pertama, ia adalah seorang ulama yang membantu tugas penghulu dalam pengadilan agama. Versi lainnya adalah pathok negara merupakan batas ibu kota kesultanan, juga ada yang mengatakan sebagai status sebuah desa.
Terlepas dari perbedaan itu, masjid pathok negara yang terdapat di Kasultanan Yogyakarta sebenarnya berada empat penjuru mata angin. Keempat masjid itu adalah Masjid Jami' An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami' Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami' Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Nah, tayangan ini khusus membahas Masjid Dongkelan atau juga dikenal dengan nama Masjid Nurul Huda. Sejak kali pertama dibangun, hingga saat ini masjid tersebut sudah beberapa kali dipugar, dan terakhir pada 2016 kemarin.
Bangunan utama masjid ini berbentuk persegi panjang yang ditopang dengan empat buah sakaguru di atas umpak batu andesit. Sedangkan mihrabnya berbentuk melengkung dan memiliki satu jendela kayu berdaun dua dengan teralis kayu.
Di sisi kanan dan kiri mihrab terdapat masing-masing sebuah jendela dengan dua daun jendela berteralis kayu. Adapun atap ruang utama masjid berbentuk tumpang satu yang ditutup dengan mustaka berbentuk gada bersulur.
Baca: Masjid Raya Baiturrahman, Saksi Bisu Pembakaran Belanda Hingga Tsunami 2004
Di masjid inipun ada bedug kayu nangka yang dibuat tahun 1901 dan direhab pada 1 Januari 2004. Hingga saat ini bedug tersebut masih difungsikan. Di luar masjid, tepatnya di sebelah barat, ada kompleks makam. Di tempat itulah Kiai Syihabudin, pendiri Masjid Pathok Negara Dongkelan, dimakamkan.
Fakta lain yang melekat dengan keberadaan masjid ini adalah jejak perang Pangeran Diponegoro pada 1825 s.d. 1830. Saat itu Masjid Pathok Negara Dongkelan sempat dijadikan markas pasukan Pangeran Diponegoro.
Lantaran difungsikan sebagai markas dan benteng pertahanan, masjid tersebut jadi sasaran musuh dan akhirnya dibakar oleh Belanda, hingga hanya menyisakan batu penyangga tiang masjid dan mustaka
Usai perang, masjid kembali dibangun dengan sangat sederhana. Atapnya hanya terbuat dari ijuk dengan mustaka atau hiasan di puncak atap masjid dari tanah liat. Pada 1901, di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, masjid dibangun kembali seperti bentuk semula.
Pemugaran itu mengganti mustaka tanah liat asli dengan mustaka yang terbuat dari seng berbentuk gada bersulur. Mustaka tanah liat kini disimpan di rumah Kyai Komari. Setelah itu masjid dipugar kembali pada tahun 1948 untuk menambahkan serambi yang semula hanya berupa selasar.
Semula, semua masjid Pathok Negara memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, tempat upacara/kegiatan keagamaan, sistem pertahanan, sekaligus bagian dari sistem peradilan keagamaan atau Pengadilan Surambi.
Pengadilan tersebut berfungsi untuk memutus hukum perkara pernikahan, perceraian atau pembagian waris. Sementara untuk hukum yang lebih besar, seperti perdata atau pidana, diputus di pengadilan keraton.
Baca juga: Bukan Sembarang Tempat Ibadah, Masjid Istiqlal Kaya akan Sejarah
Admin
Koropak.co.id - Lebih dari dua abad lalu, tepatnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta membara. Keraton diserang bala tentara Inggris. Peristiwa kelabu yang dikenal dengan sebutan Geger Sapehi itu terjadi pada hari Sabtu, sekitar pukul lima pagi.
Pasukan Inggris mengepung benteng keraton. Satu pasukan meledakkan gerbang Trunasura dan merebut tingkap-tingkapnya, sementara pasukan lainnya menyerbu gerbang Nirbaya. Keraton dikepung ribuan pasukan gabungan.
Massa dengan jumlah besar itu berasal dari kerajaan Inggris dengan pasukan Sepoy-nya sebanyak 1.200 orang, pasukan Surakarta, legion Mangkunegaraan sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing.
Pelumpuhan keraton itu menjadi puncak dari serangan Inggris. Sebelumnya, pada 18 s.d. 19 Juni 1812, peperangan terjadi di luar benteng Baluwerti keraton. Kedua pihak saling serang, menembakkan meriam dan artileri lainnya.
Sekitar pukul lima pagi, hari Sabtu tanggal 20 Juni 1812, pasukan Inggris secara diam-diam mendekati regol dan lini belakang pertahanan keraton. Serangan meriam pasukan Inggris diarahkan ke Alun-Alun Utara, tepat ke pintu masuk keraton.
Sedangkan kekuatan utamanya diarahkan ke sisi timur laut benteng. Dalam waktu sekitar tiga jam, benteng keraton runtuh dengan meledaknya meriam dan gudang mesiu. Penyerangan tak terduga itu membuat pertahanan keraton jebol. Sultan Hamengkubuwono II beserta para paneran yang masih tersisa pun ditangkap.
Peristiwa kelam itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada rentetan peristiwa lain yang memicunya. Sejak Inggris mengalahkan Belanda, Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Raffles berambisi menguasai Jawa. Namun Kesultanan Ngayogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwono II berbeda sikap dengan wilayah lain. Ia menolak menyerahkan kedaulatan daerahnya kepada bangsa asing.
Raffles lantas mengutus Residen Yogyakarta, John Crawfurd, dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Hamengkubuwono II. Upaya itu tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan, sehingga terjadilah Geger Sapehi atau Geger Sepoy.
Disebut Geger Sepoy, karena kebanyakan pasukan Inggris berasal dari Brigade Sepoy atau Sapehi/Sapei. Mereka adalah warga India yang direkrut jadi tentara, setelah wilayahnya dijajah Inggris. Dalam waktu yang sangat singkat, mereka menyerbu dan melumpuhkan Kesultanan Yogyakarta.
Baca: Mengenal Simbol Petunjuk Waktu Baik dan Buruk dalam Tradisi Masyarakat Bugis
Bukan hanya menjarah harta dan kekayaan intelektual yang ada di dalamnya, penaklukan itu pun mengubah hampir seluruh tatanan lama Kesultanan Yogyakarta. Di bawah kendali Thomas Stamford Raffles, selama bertahun-tahun kolonial Inggris memengaruhi berbagai kebijakan di Kesultanan Yogyakarta.
Pemerintahan di Yogyakarta dijalankan dengan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kolonial. Setelah menangkap dan mengasingkan Sultan Hamengkubuwono II ke Penang, Malaysia, Raffles menunjuk Adipati Anom Surojo menjadi Sultan Hamengkubuwono III.
Selain itu, ia juga mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dengan gelar Adipati Pakualaman I. Pengangkatan-pengangkatan itu dilakukan semau kolonial dan melabrak ritual jumenengan yang menjadi adat istiadat keraton.
Masyarakat Jawa percaya, jika ada orang yang tidak berhak naik takhta tapi ditunjuk menjadi sultan, maka ia akan mati tanpa sebab yang jelas. Entah ada kaitannya dengan itu atau tidak, setelah dilantik menjadi Sultan Hamengkubuwono III, Anom Surojo meninggal dunia pada 1814. Posisinya diganti Adipati Anom Ibnu Jarot sebagai Sultan Hamengkubuwono IV.
Dalam Babad Sapehi yang ditulis Pangeran Mangkudiningrat, putra Sultan Hamengkubuwono II, diketahui bahwa yang lebih layak menjadi raja adalah dirinya, bukan Anom Surojo. Status kebangsawanan Pangeran Mangkudiningrat dinilai lebih tinggi dibanding Surojo karena ibunya hanya keturunan bupati Magetan.
Terlepas dari polemik itu, Geger Sapehi telah berdampak besar terhadap keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta. Hal lain yang tak kalah menyedihkan adalah dijarahnya hampir seluruh harta dan kekayaan intelektual yang ada di keraton. Semuanya dibawa Raffles ke Inggris dan sekarang sebagiannya ada di British Liblary.
Tercatat ada sekitar 7.000 manuskrip naskah kuno milik keraton hilang setelah penyerangan Brigade Sapehi. Namun, tidak semua naskah itu berhasil sampai Inggris. Ada yang dilelang selama perjalanan, ada pula yang hilang bersama karamnya kapal-kapal pengangkutnya di laut.
Hingga 2019, baru 75 manuskrip yang berhasil dikembalikan ke keraton atas permintaan Sri Sultan Hamengkubuwono X, itupun versi digitalnya. Selain naskah kuno, Inggris juga disebut-sebut menjarah 57 ribu ton emas yang ada di Kesultanan Yogyakarta, meski sejumlah pihak menyangsikan angka tersebut.
Satu hal yang pasti, perang atau Geger Sapehi telah menjadi sejarah kelam dalam perjalanan Kesultanan Yogyakarta. Untuk mengenang peristiwa tersebut, pemerintah setempat membangun prasasti Geger Sepoy di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan Yogyakarta.
Baca juga: Sejarah Aksara Incung, Peninggalan Nenek Moyang Kerinci Kuno
Eris Kuswara
Koropak.co.id - Kisah tentang banjir besar yang terjadi pada zaman Nabi Nuh telah difirmankan dalam kitab suci dan dibahas dalam berbagai literatur. Namun, sampai sekarang masih terjadi perdebatan soal waktu dan detail kejadiannya.
Terlepas dari persoalan tersebut, ada satu naskah bernama Purwaning Jagat yang menarik untuk disimak. Selain mengisahkan raja-raja di Tatar Sunda, dalam naskah tersebut juga diceritakan tentang banjir pada zaman Nabi Nuh.
Salam Widuri menuangkan hasil penelitian naskah tersebut dalam tulisannya yang berjudul "Naskah Purwaning Jagat (Kisah Raja-Raja di Tatar Sunda) Analisis Isi dan Fungsi". Ada banyak hal yang dikupas dalam naskah berbahasa Jawa dan beraksara Pegon itu.
Sebagai warisan leluhur berbentuk tulisan tangan yang di dalamnya terkandung banyak nilai, pengungkapan sebuah naskah penting dilakukan untuk dijadikan pedoman bagi sebuah bangsa dalam menapaki kehidupan saat ini dan nanti.
Mengutip buku Oman Fathurahman berjudul "Filologi Indonesia Teori dan Metode", Salma menuliskan, naskah merupakan cermin sejarah masa lalu, dan sejarah adalah separuh dari kehidupan setiap bangsa.
Selain memperkaya pengetahuan sosial budaya, mengetahui sejarah raja-raja di masa silam bisa menjadi asupan informasi dalam pengenalan jati diri bangsa. Begitupun dengan membaca naskah Purwaning Jagat yang bisa menjadi salah satu sumber untuk mengetahui leluhur orang Sunda.
Dalam naskah Purwaning Jagat, Ratu Galuh disebut sebagai anak Nabi Nuh yang bernama Bagenda Sadar. Ratu Galuh yang dimaksud bukan nama sebuah kerajaan, tapi gelar seorang raja.
Terkait kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh, dalam naskah tersebut diceritakan, ketika terjadi banjir, Raja Galuh mendirikan sebuah gunung yang tingginya mencapai langit, sehingga semua rakyatnya bisa diselamatkan dengan cara naik ke puncak gunung.
Setelah banjir surut, mereka turun dan tiba di suatu tempat bernama Bojonglopang. Namun, mereka malah menyembah gunung tersebut, sehingga membuat malaikat murka dan memanah gunung tersebut. Maka pecahlah gunung itu, dan pecahannya menjadi kabuyutan-kabuyutan.
Baca: Mengenal Bahasa Lokal yang Digunakan Orang-Orang di Kepulauan Seribu
Salma Widuri menjelaskan, dalam peristiwa tersebut sangat terasa nuansa Islamisasinya. Dalam ajaran Islam, menyembah selain Allah merupakan perbuatan syirik yang tidak boleh dilakukan. Agar kemusyrikan itu tidak berlangsung lama, malaikat menghancurkan gunung yang disembah rakyat Sunda yang dianggap telah menyelamatkan nyawa mereka.
Selain kisah tentang banjir di zaman Nabi Nuh, dalam naskah Purwaning Jagat dituturkan pula tentang runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan tersebarnya cucu cicit Prabu Siliwangi ke seluruh daerah bekas kekuasaan Pakuan Pajajaran, khususnya wilayah Priangan.
Kehancuran Pajajaran itu disebabkan adanya kekacauan di dalam negeri yang berlarut-larut. Untuk memastikan penyebab kekacauan itu diperlukan inventarisasi dari berbagai aspek dan metodelogi.
Namun, dalam naskah Purwaning Jagat diceritakan bahwa penyebab bubarnya anak cucu Ratu Sunda dari Pajajaran lantaran Kian Santang. Sepulang dari Makah, Kian Santang menyebarkan agama Islam, sehingga menimbulkan kegoncangan di Pakuan.
Upaya Kian Santang itu ditentang para pembesar kerajaan yang kukuh memegang agama karuhun, dan mengusir Kian Santang untuk keluar dari Pakuan.
Informasi lain yang disampaikan Salma Widuri dari hasil penelitiannya adalah keberadaan naskah Purwaning Jagat yang dianggap sebagai pusaka, sehingga tidak boleh dipegang oleh sembarang orang.
Sebagai barang keramat yang diwariskan turun-temurun dari satu kuncen ke kuncen lain, naskah Purwaning Jagat tidak bisa dibawa semaunya. Pernah ada seseorang yang membawanya pulang, tapi kemudian ia sakit keras dan baru sembuh setelah naskah tersebut dikembalikan kepada kuncen.
Salma menerangkan, hasil dari pengkajian terhadap isi naskah Purwaning Jagat dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut memiliki 39 episode yang saling berkesinambungan. Dari segi isi teks, naskah Purwaning Jagat lahir dari budaya pesantren. Itu terlihat dari aksara pegon dan isi cerita yang mengandung unsur keagamaan.
Baca juga: Mengungkap Pecenongan, Naskah Kuno Betawi dari Abad ke-19
Admin
Koropak.co.id - Ini cerita tentang Ki Seh Bodin, seorang guru di Bagdad yang mempunyai ilmu luhur, dan membuat raja penasaran. Raja ingin berguru kepadanya dan meminta Ki Seh Bodin untuk tinggal di istana. Tapi ternyata, itu menjadi awal petaka baginya.
Ki Seh Bodin dituduh selingkuh dengan permaisuri hingga membuat raja marah. Ia lantas menyuruh empat orang untuk membunuhnya. Namun, lantaran Ki Seh Bodin punya ilmu tinggi, upaya pembunuhan itu gagal.
Raja tidak kehilangan akal. Ia lantas mengirimkan seorang selir yang cantik kepada Ki Seh Bodin, termasuk memberikan rumah lengkap dengan fasilitasnya. Bukan tanpa maksud raja melakukan itu. Semua rencana telah disusun.
Awalnya Ki Seh Bodin menolak pemberian tersebut. Namun, setelah dipaksa, akhirnya ia menerimanya juga, bahkan menikahinya. Setelah Ki Seh Bodin berhubungan intim dan mau mandi junub, ternyata di rumah tidak ada air. Sesuai perintah raja, semua persediaan air dibuang, sehingga Ki Seh Bodin harus mandi di kolam.
Saat akan berangkat ke kolam, Ki Seh Bodin kena jebakan. Empat orang pendekar suruhan raja telah menunggu kemudian membelenggunya dengan tali yang terbuat dari besi. Ki Seh Bodin tak berkutik. Ia berhasil ditangkap dan dipenjara.
Cerita tersebut dimuat dalam Babad Sinelan Nasekah yang merupakan salah satu dari sekian banyak karya sastra Jawa peninggalan para leluhur. Arum Ngesti Palupi, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang meneliti naskah tersebut, meyakini kalau Babad Sinelan Nasekah ditulis pada masa pemerintahan Pangeran Natadiningrat atau Sri Paku Alam II (1829 s.d. 1858) dan bertempat di Pura Pakualaman.
Arum berpendapat, dimasukkannya kisah tentang Ki Seh Bodin ke dalam Babad Sinelan Nasekah itu dimungkinkan untuk membentuk asumsi pembaca bahwa apa yang terjadi di Jawa identik dengan yang terjadi di Bagdad.
Ada banyak kisah dan petuah dalam teks yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa dan kata-kata serapan Melayu, Arab, dan Belanda itu. Satu di antaranya nasihat yang terdapat dalam akhir pupuh XIV Babad Sinelan Nasekah.
Diceritakan, Ratu Ageng menasihati cucunya, yakni Ratu Timur, tentang tiga hal yang bisa menghancurkan sebuah negara. Ketiga hal itu adalah wanita, patih yang berkhianat, dan patih yang berbuat buruk kepada raja.
Dalam teks Babad Sinelan Nasekah dijelaskan, penyebab rusaknya negara yang pertama adalah wanita. Hal tersebut dikisahkan dalam cerita sisipan yang memuat tentang Raden Joharah, seorang permaisuri cantik.
Baca: Mengungkap Pecenongan, Naskah Kuno Betawi dari Abad ke-19
Semua lelaki jatuh hati kepadanya, termasuk patih kerajaan. Namun, lantaran cintanya ditolak permaisuri, sang patih sakit hati dan memfitnahnya. Dari sanalah mulai terjadi permasalahan di kerajaan. Ketenteraman negara terganggu akibat patih memendam dendam kepada permaisuri.
Kisah itu merupakan contoh rusaknya negara karena wanita yang diceritakan dalam Babad Sinelan Nasekah, termasuk kasus yang dialami Ki Seh Bodin.
Selain wanita, faktor lain yang menjadi penyebab utama rusaknya negara adalah patih yang berkhianat. Dalam Babad Sinelan Nasekah, terutama pupuh XIV bait 42, dijelaskan, negara jadi rusak lantaran patih mengecewakan ratunya dan (terhadap) jabatan raja (dia) tidak teguh hatinya.
Dalam cerita sisipan dijelaskan, patih yang seharusnya menjaga dan menghormati ratu malah mencintainya. Hal itu akan merusak negara, karena patih menodai keluhuran budinya sebagai seorang aparat negara.
Bahkan, ia berani membuat laporan bohong tentang yang terjadi di istana. Saat raja pulang dari satu perjalanan, Sang Patih mengarang cerita bohong untuk menjatuhkan nama baik permaisuri, istri raja yang menolak cintanya.
Padahal, semestinya patih harus menjadi orang yang paling depan menjaga negara dan kehormatan raja. Namun, jika seorang patih berbuat perilaku menyimpang, kerusakan negara tidak bisa dihindari.
Ciri ketiga yang akan membuat negara rusak sebagaimana dijelaskan dalam pupuh XIV bait 46 adalah patih yang tidak suci. (Dia) berbuat buruk kepada raja. Patih itu menganggap memiliki hak. Menyegerakan datangnya kerusakan (di) istana.
Nasihat tentang ciri yang ketiga ini diwujudkan dalam cerita ketika sang patih memanfaatkan jabatannya untuk memerintahkan para nyai untuk berbohong kepada raja dan memfitnah permaisuri raja.
Arum Ngesti Palupi memaparkan, kendati ditulis pada masa lampau, amanat dalam Babad Sinelan Nasekah bisa diterapkan sekarang.
Dalam arti luas, patih yang tidak suci itu bisa dimaknai sebagai aparat yang tidak jujur. Ketika negara sudah dikelilingi oleh orang-orang tidak jujur, suka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka negara akan hancur.
Baca juga: Sejarah Aksara Incung, Peninggalan Nenek Moyang Kerinci Kuno
Admin
Koropak.co.id - Tahun ini Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bakal berusia satu abad atau seratus tahun. Sebuah perjalanan yang panjang dan telah melalui berbagai dinamika organisasi hingga menghadapi bermacam permasalahan sosial dan politik.
Sebelum menjelma besar seperti sekarang, kelahiran NU bermula dari ide yang muncul dalam forum diskusi Tashwirul Afkar. Forum yang didirikan di Surabaya oleh Kiai Abdul Wahab pada 1924 itu merupakan wujud kepedulian para kiai terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi umat Islam.
Semua yang hadir dalam forum itu sepakat untuk membentuk sebuah jamiah. Untuk itu, seperti ditulis dalam Jurnal Al-Insyiroh edisi September 2019, Kiai Wahab mendatangi Kiai Hasyim Asy'ari untuk meminta restu.
Ajakan Kiai Wahab tidak langsung diamini Kiai Hasyim. Sebaliknya, ia malah merasa resah setelah pertemuan tersebut. Keresahan itu "diketahui" Kiai Kholil Bangkalan, sehingga ia memanggil seorang santrinya yang bernama As'ad Syamsul Arifin untuk memberikan tongkat kepada Kiai Hasyim. Bukan hanya tongkat, Kiai Kholil pun menitipkan surat Thaha ayat 17 s.d. 23 untuk dibaca oleh Kiai Hasyim.
As'ad lantas berangkat ke Jombang dengan berjalan kaki, sumber lain menyebutkan naik sepeda. Setelah sampai di kediaman Kiai Hasyim, As'ad mengutarakan maksud kedatangannya dan langsung menyerahkan tongkat dari Kiai Kholil.
Pemberian tongkat itu ditangkap sebagai isyarat bahwa Kiai Kholil tidak keberatan apabila Kiai Hasyim, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya untuk mendirikan jamiah. Namun, Kiai Hasyim tidak serta merta langsung membentuk sebuah organisasi.
Ia berpikir harus bermusyawarah dulu dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Apalagi, Kiai Kholil Bangkalan pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan.
Maka ia meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawi. Dalam pertemuan itu, Kiai Nawawi menyampaikan persetujuannya untuk membentuk jamiah tapi dengan syarat. Syaratnya adalah untuk berhati-hati dalam masalah uang. Silakan bentuk jamiah, tapi jangan pakai uang. Kalau butuh uang, anggota harus urunan.
Di lain hari, As'ad Syamsul Arifin kembali mendatangi rumah Kiai Hasyim. Ia datang dengan membawa titipan dari Kiai Kholil berupa tasbih dan diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar.
Baca: Menengok Sejarah Panjang Lahirnya Nahdlatul Ulama di Indonesia
Tasbih pemberian Kiai Kholil itu dimaknai sebagai isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk mendirikan jamiah. Namun, sebelum organisasi itu dibentuk, Kiai Kholil meninggal dunia pada 1925.
Setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama lahir di Surabaya, Jawa Timur, tepatnya di rumah Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Para kiai yang hadir dalam hari bersejarah itu di antaranya KH Hasyim Asy'ari Jombang, KH Asnawi Kudus, KH Bishri Syansuri Jombang, KH Ridwan Semarang, KH Nawawi Pasuruan, KH Nahrawi Malang, dan H. Ndoro Munthaha yang merupakan menantu Kiai Kholil Bangkalan.
Untuk memapah langkah pertama Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang baru dibentuk, KH Hasyim Asy'ari dipercaya sebagai rais akbar didampingi KH Hasan Basri Sagipodin selaku ketua tanfiziyah.
Beberapa fokus gerakan Nahdlatul Ulama di awal perjalanannya adalah memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu dari empat mazhab, memberikan bimbingan jenis-jenis kitab, menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan mazhab, memperbanyak pesantren, serta membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Kendati begitu, lantaran lahir dan besar di tengah kondisi bangsa yang dibelenggu penjajahan, Nahdlatul Ulama pun turut berperan besar dalam mengantarkan Indonesia merengkuh kemerdekaan. NU menjadi organisasi keagamaan yang disegani penjajah.
Selain aktif berdakwah, NU secara tegas menentang segala bentuk penjajahan dan berjuang keras mewujudkan negara yang merdeka. Kehadiran Nahdlatul Ulama menjadi salah satu penggerak dalam menebarkan semangat nasionalisme melalui kegiatan keagamaan dan pendidikan.
Di masa pergerakan nasional, NU mengambil sikap tegas tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Begitupun di saat negara ini sudah memproklamirkan kemerdekaan. Salah satu sikap tegas yang paling monumental adalah "Resolusi Jihad" yang digaungkan KH Hasyim Asy'ari. Seruan jihad itu dilakukan sebagai respons dari upaya NICA yang mencoba menjajah kembali Indonesia.
KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama dan santri yang berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945 menyeru umat muslim, terutama yang berada dalam radius 94 kilometer, untuk membela Tanah Air dan hukumnya fardu 'ain. Resolusi Jihad itu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah.
Ada banyak peristiwa penting di republik ini yang tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama. Sejarah mencatat, kehadiran organisasi yang lahir dari kalangan pondok pesantren ini menjadi salah satu elemen penting dalam mengukuhkan Indonesia sebagai negara besar yang dibingkai dalam kesatuan.
Baca juga: Perjalanan Sejarah Muktamar Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa
Admin
Koropak.co.id - Berpeci merah, menjual kerak telor, gaya bicaranya Jakarta punya, siapapun pasti akan menyangka kalau lelaki yang satu ini adalah orang Betawi. Salah. Dugaan itu salah. Kendati menjual makanan khas Betawi, pria bernama Usep ini orang asgar alias asli Garut.
Ia sudah lebih dari sepuluh tahun melakoni usahanya ini. Dagang dari satu tempat ke tempat lain. Di mana ada keramaian, di sana ada pedagang kerak telor. Begitulah Usep dan rekan-rekannya. Dia tidak sendirian memang. Ada puluhan orang yang menjalani usaha serupa. Semuanya orang Garut.
Kebanyakan orang menyangka kalau penjual kerak telor itu dari Jakarta, karena memang makanan tersebut Betawi punya. Di bagian depan pikulannya dipasang spanduk bertuliskan huruf besar: KERAK TELOR khas BETAWI.
Di mana ada keramaian, di situ ada penjual kerak telor. Seperti itulah mereka. Di tempat asalnya, setiap ada Pekan Raya Jakarta, misalnya, pasti ada pedagang kerak telor. Bukan hanya di ibu kota, mereka biasa "menyerbu" daerah-daerah lain yang menggelar acara tahunan, seperti festival atau pameran. Para penjual kerak telor dari Garut pasti ada di sana.
Usep mengaku sudah menjual kerak telor sejak 2012. Kali ini ia bersama sepuluh rekannya berjualan di area Masjid Al Jabbar, Bandung. Tak lama sejak masjid tersebut diresmikan dan banyak orang datang ke sana, radar usaha Usep bergerak cepat.
Ia segera merapat ke Masjid Al Jabbar, menyewa mobil untuk bawa pikulan, mencoba peruntungan menjual kerak telor. Jika sedang bagus, dalam sehari ia bisa menjual lebih dari 50 kerak telor. Harga satunya antara Rp20.000 sampai Rp25.000, tergantung telur yang dipilih.
Baca: Awalnya Dibuat Tak Sengaja, Begini Sejarah Kerak Telor
Jika harganya Rp20.000 lalu dikali 50 porsi, berarti omzetnya mencapai Rp1 juta. Bila melihat bahan-bahan yang digunakan, seperti telur, ketan, dan kelapa sangrai, untungnya bisa berlipat-lipat dari modal yang dikeluarkan. Apalagi dimasaknya cuma pakai arang, tanpa gas dan minyak goreng.
Tak heran, para pedagang kerak telor tidak pernah absen jika ada keramaian berjadwal, seperti pameran-pameran atau festival. Mereka sengaja berangkat dari Garut, meninggalkan pekerjaan harian untuk meraup untung dari kerak telor. Bila sedang tidak ada pameran, mereka kembali ke rutinitas semula, seperti bertani, menjadi buruh dan lainnya.
Ditilik dari sejarahnya, perjalanan kerak telor tidaklah sependek penggalan. Ada cerita panjang yang menyertainya. Dulu, makanan yang satu ini dibuat tanpa sengaja. Masyarakat Betawi mencoba mengolah beragam makanan berbahan kepala.
Waktu itu di Betawi atau Batavia memang banyak kelapa. Dari percobaan itu, jadilah kerak telor. Bukan hanya warga pribumi, orang Belanda pun suka. Hanya kalangan elite yang bisa menikmati kerak telor.
Namun, seiring perjalanan waktu, terutama setelah dijual untuk masyarakat umum, kerak telor bisa disantap oleh beragam kalangan. Siapapun bisa menikmatinya dengan harga yang relatif terjangkau. Bukan cuma rasanya yang unik, dalam satu porsi kerak telor ini ada fragmen sejarah kuliner dari Betawi yang sudah terkenal ke seantero negeri.
Baca juga: Mi Juhi, Kuliner Khas Betawi yang Keberadaannya Kini Semakin Langka
Admin
Koropak.co.id - Hari sudah siang saat kami tiba di tempat yang berada di Dusun Indrayasa, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini. Seorang penjaga tiket baru keluar dari musala, usai melaksanakan salat Zuhur. Sepi, tak ada pengunjung lain di sini. Hanya kami berdua.
Lantaran teramat sepi, peraduan sepatu dengan batu terdengar sangat jelas. Setiap langkah kaki seakan menambah harmoni alami, mengiringi suara ragam binatang dan gesekan dedaunan yang jatuh dihempas angin.
Tempat ini namanya Astana Gede Kawali, sebuah situs yang menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Galuh. Astana berarti makam, dan gede artinya besar. Selain ada makam berukuran besar, di sini juga tempat disemayamkannya para pembesar atau orang-orang berpengaruh pada zamannya.
Tidak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan ada Batu Pangeunteungan yang merupakan tempat disemayamkannya abu jasad Dewi Citra Resmi atau putri Diah Pitaloka yang belapati pada peristiwa Bubat, sekitar tahun 1357.
Ada juga Batu Panyandungan, tempat disemayamkannya abu jasad Prabu Lingga Buana dan Batu Panyandaan Sang Hyang Lingga Bingba tempatnya abu jasad Prameswari Dewi Laralingsing. Keduanya gugur di palagan Bubat.
Bukan hanya tempat pemakaman abu jasad yang merupakan ritualnya agama Hindu, di sini juga ada makam dua tokoh penyebar agama Islam, yaitu Adipati Singacala dan Pangeran Usman.
Mereka adalah utusan Kesultanan Cirebon yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di bekas Kerajaan Galuh ini. Sumber lain menyebutkan, Adipati Singacala merupakan Raja Kawali pada 1663 s.d. 1718 Masehi dan keturunan Sultan Cirebon.
Ditilik dari beragamnya peninggalan arkeologi, tempat ini merupakan kawasan yang dihuni manusia pada tiga zaman, mulai prasejarah, Hindu, dan Islam. Sebagai pusat ritual, Astana Gede Kawali menjadi muaranya dua agama pada eranya masing-masing.
Pada masanya, Astana Gede diyakini sebagai pusat Kerajaan Galuh. Itu terlihat dari banyaknya peninggalan, seperti enam batu prasasti dengan tulisan Sunda Kuno. Ada pula cetakan telapak tangan dan kaki Prabu Niskala Wastukencana yang merupakan salah seorang raja Galuh.
Baca: Legenda Selat Sunda dan Gunung Krakatau, Konon Tercipta Karena Raja Marah
Selain itu, ada juga Batu Korsi atau Palinggih yang merupakan tempat penobatan para raja Sunda Galuh di Kawali. Raja terakhir yang dinobatkan di batu ini adalah Prabu Siliwangi sewaktu menerima takhta Kerajaan Galuh Pakuan pada tahun 1482.
Ada kesenangan dan ketenangan tersendiri saat berkunjung ke tempat ini. Senang lantaran mendapat pengetahuan baru tentang penggalan dari peradaban Nusantara, dan tenang karena suasana alamnya begitu sunyi. Tempat ini cocok dijadikan tempat menyepi, menghindar dari bisingnya kehidupan kota yang melulu mengagungkan materi.
Tidak banyak orang yang suka merapat ke sini. Di setiap harinya pengunjung yang datang bisa dihitung jari. Bahkan, tak jarang tidak ada pengunjung seorang pun. Padahal, tiket masuknya teramat murah, yakni Rp2.500.
Kendati begitu, kebersihannya selalu terjaga. Ada lima orang juru pelihara yang setiap hari membersihkan tempat seluas lima hektare ini. Salah satunya adalah Yaya Setia, juru pelihara yang ditugaskan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten
Yaya menyebutkan, hingga saat ini masih ada akademisi yang melakukan penelitian di Astana Gede untuk terus mencari tapak-tapak yang belum tersingkap. Penelitian seperti itu sudah dilakukan sejak Belanda berkoloni di Nusantara.
Selain prasasti-prasasti, di tempat ini juga ada satu area bernama Cikawali yang dipercaya sebagai mata air keramat dan tempat mandi keluarga keraton. Sebelumnya, bentuk kolam ini tampak seperti kuali atau tempat penggorengan.
Namun, sejak 2018 bentuknya jadi berubah. Pemerintah daerah melakukan penataan dengan memasang batu-batu di sekeliling kolam dengan tujuan agar tidak terjadi pengikisan tanah. Di momen-momen tertentu, seperti Syawal, banyak orang berziarah ke Cikawali.
Sebagian masyarakat percaya bahwa air Cikawali bisa membersihkan tubuh dari aura negatif. Tak heran, ada beberapa kebiasaan yang pernah dilakukan di sana, seperti melempar koin ke kolam atau membuang celana dalam yang dipakai setelah mandi di sana. Mereka yang melakukan itu meyakini akan terhindar dari sial.
Yaya Setia, juru pelihara Astana Gede Kawali, mengingatkan masyarakat yang datang ke tempat ini untuk tidak melakukan hal-hal di luar nalar yang menjurus pada kemusyrikan. Sebagai tempat yang sarat dengan sejarah perjalanan bangsa, keberadaan Astana Gede Kawali sejatinya menjadi pengingat diri tentang kebesaran Nusantara yang tidak dimiliki entitas lain di dunia.
Baca juga: Wisata Religi Astana Gede Kawali