Koropak.co.id – Kutang dan beha sudah sangat menyatu dengan lidah orang Indonesia. Kita sangat terbiasa menyebut dua nama itu ketimbang bra atau istilah lainnya. Di balik kutang yang berfungsi sebagai penyangga payudara itu ternyata ada jasa Don Lopez, seorang bangsawan berdarah Spanyol-Perancis.
Informasi tentang hal itu dideskripsikan dalam novel “Pangeran Dipenogoro: Menggagas Ratu Adil” karya Remy Sylado, seperti ditulis tirto.id. Saat itu, Don Lopez yang sedang memantau pembangunan Jalan Raya Pos Anyer – Panurukan melihat para pekerja wanita bertelanjang dada. Bagian bawah ditutup, tapi yang bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga dua gunung kembarnya terlihat jelas.
Melihat hal itu, Don Lopez merasa risih. Ia lantas menyodorkan kain kepada salah seorang perempuan sambil berkata, “Coutant! Coutant!” yang berarti tutup bagian berharga itu. Ucapan coutant yang dilontarkan beberapa kali itu oleh orang kita terdengar kutang.
Syahdan, sampai sekarang kata itu masih dipakai, dan sudah diakui sebagai satu padanan bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kutang diartikan sebagai pakaian dalam wanita untuk menutupi payudara.
Selain kutang, orang kita juga terbiasa memakai istilah BH yang merupakan singkatan dari bahasa Belanda ‘Buste Houder’ yang berarti penyangga payudara. Ada juga sebagian yang menyebut bra, asal kata brassiere dari bahasa Perancis.
Apapun istilahnya, kutang atau BH diperkirakan sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Kaum hawa di masa itu menggunakan kain dari wol atau linen yang diikat ke punggung untuk membungkus payudara mereka.
Baca : Sejarah Kutangmu yang Belum Kau Tahu
Seiring perkembangan zaman, model bra dari masa ke masa mulai berkembang. Bentuk, bahan, dan motifnya jug semakin beragam. Pada tahun 1889, Herminie Cadolle asal Perancis, membuat korset yang dengan menambahkan tali pada bagian atas untuk menopang bahu, dan bagian bawah berfungsi sebagai korset untuk pinggang. Pada 1905, bagian atas dari korset tersebut dijual secara terpisah.
Dari tahun ke tahun, industri kutang terus berkembang. Ada beragam merek yang dijual di pasaran dengan beragam modifikasi. Namun, ada fenomena yang berbeda antara dulu dan sekarang.
Di masa lalu, kaum hawa di beberapa daerah di Nusantara sudah terbiasa tidak memakai kutang. Layaknya lelaki, perempuan juga biasa bertelanjang dada. Bukan sedang memamerkan erotisme, tapi kebiasaan di waktu itu memang begitu. Saking biasanya, para lelaki yang melihatnya pun biasa saja.
Beda halnya dengan sekarang. Jangankan bertelanjang dada, perempuan yang keluar rumah atau memerlihatkan foto yang hanya memakai kutang, penilaiannya sudah lain. Mereka yang berpenampilan seperti itu pasti dicap binal atau perempuan nakal.
Ada perbedaan mendasar antara dulu dan sekarang. Dulu, perempuan yang bertelanjang dada dianggap biasa lantaran banyak sebab. Salah satunya keterbatasan akses mendapatkan kain yang pada waktu itu dianggap barang mewah. Tidak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah.
Pola pikir masyarakat waktu itupun belum berkembang. Informasi tentang ilmu pengetahuan dan yang lainnya tidak sederas sekarang. Tak heran, sistem nilai budaya yang memasyarakat pada masa itu sangat terbatas.
Sementara sekarang, segalanya mudah didapat. Derap industri dan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Orang-orang sudah akrab dengan beragam informasi hingga paham tentang konsep salah benar atau baik buruk.
Baca juga : Istilah Bra dari Masa ke Masa di Indonesia