Koropak.co.id - Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. atau yang dikenal dengan Kuntowijoyo (yang juga dieja Kuntowidjojo) merupakan seorang budayawan, sastrawan, sekaligus sejarawan Indonesia.
Kunto, begitu nama panggilannya, lahir di Sanden, Bantul, 18 September 1943. Dia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan H. Abdul Wahid dan Hj. Warasti. Ayahnya, seorang Muhammadiyah yang gemar mendalang.
Tak pelak, Kunto tumbuh dengan religi dan seni yang begitu kental. Dia pun tergolong seorang anak priyayi.
Kendati lahir di Yogyakarta, Kunto justru tumbuh dan besar di Klaten serta Solo. Dia mengenyam pendidikan SD (1956) dan SMP (1959) di Klaten. Wikipedia menyebut Kunto menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Ngawonggo.
Dia melanjutkan pendidikan SMA (1962) di Surakarta, kemudian kembali ke tempat kelahirannya untuk menempuh strata satu di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (1969).
Di tahun yang sama dengan kelulusannya dari UGM, tepatnya tanggal 8 November 1969, Kunto menikah dengan Drs. Susilaningsih M.A. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai dua orang putra, yakni Ir. Punang Amaripuja S.E., M.Sc. dan Alun Paradipta.
Sementara pendidikan S2-S3 ditempuhnya di Amerika Serikat, yang mana Kunto memboyong gelar M.A. dari University of Connecticut (1974) dan untuk doktoralnya mengambil Ilmu Sejarah di Universitas Columbia (1980).
Ketertarikannya dengan dunia menulis sudah dimulai sejak SMA. Kunto menulis ceerita pendek, drama, roman, serta esai. Sedangkan sajak mulai ditekuninya ketika menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Baca : Lebih Dekat dengan Sosok Goenawan Mohamad
Ketekunannya melahirkan dua buah antologi berjudul Isyarat (1976) dan Suluk Awang Uwung (1976), cerpennya pun dimuat dalam majalah Horison serta Harian Kompas. Tiga cerpennya yang berjudul Pistol Perdamaian, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, menjadi pilihan cerpen terbaik harian Kompas (1995-1997).
Esainya pun kerap dimuat dalam surat kabar. Kunto juga menulis tiga buah naskah drama, lima buah karya berbentuk novel, serta sebelas buku bertema agama, politik, budaya, sosial, dan sejarah.
Tidak hanya dalam kesusastraan, Kunto berkarir dalam bidang pendidikan. Sejumlah profesi dan jabatan yang ditekuninya ialah Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970), Dosen Fakultas Sastra UGM (1970-2005), Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-1969), Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971), Pendiri Pondok Pesantren Budi Mulia (1980), serta Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta (1980).
Atas seluruh karya dan dedikasinya, Kunto meraih sejumlah penghargaan. Hadiah Pertama dari Majalah Sastra diraihnya tahun 1968.
Kunto juga mendapat Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pusat Pembinaan Bahasa (1994) untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Hadiah Harapan dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) atas naskah drama-nya yang berjudul Rumput-rumput Danau Bento (1968).
Dia juga menyabet hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas naskah drama-nya yang berjudul Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972) dan Topeng Kayu(1973), juga hadiah dari Panitia Buku Internasional untuk novel dengan judul Pasar (1972).
Selain itu, Kunto meraih Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemda DIY (1986), Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995), Asean Award on Culture (1997), serta Mizan Award (1998).
Kemudian pada tahun 1999, Kunto mendapat tiga penghargaan sekaligus, yakni Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menteri Riset dan Teknologi, SEA Write dari Pemerintah Thailand, dan Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sayangnya, sejak 6 Januari 1992, Kunto terserang virus meningo enchepalitis dan menjalani hari-hari dalam keadaan sakit. Kunto tetap berusaha membuat karya hingga dia menghembuskan napas terakhirnya pada 22 Februari 2005 akibat komplikasi sesak napas, diare, serta ginjal.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Serla Fadila
Koropak.co.id - Dalam bayang-bayang pulau Jawa yang terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya, ada sebuah kelompok suci yang berbicara bahasa Islam dengan nada harmoni dan rasa kearifan.
Mereka adalah Walisongo, sembilan penyebar agama Islam di pulau ini, yang telah meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam sejarah.
Pulau Jawa, dengan kekayaan budaya dan keyakinan yang beragam, tidaklah mudah untuk diajak memeluk Islam. Namun, para wali ini memiliki strategi khusus untuk memenangkan hati masyarakat.
1. Wayang Sebagai Cermin Islam
Dalam lingkaran pewayangan yang akrab di Jawa, para wali menemukan media ideal untuk menyebarkan Islam. Mereka tidak menghancurkan tradisi, tetapi mengubahnya.
Kisah-kisah wayang berubah, menggantikan dewa Hindu dan kisah epik Mahabharata dengan pesan-pesan Islam. Layang Kalimosodo mengajarkan kalimat syahadat, dan Punakawan membawa pesan-pesan kebaikan Islam.
2. Seni Gamelan dan Tembang
Gamelan dan lagu tembang adalah denyut nadi Jawa. Walisongo memberikan sentuhan Islam ke dalam irama ini. Tembang Tombo Ati dan lir ilir, ciptaan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, membawa pesan-pesan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah.
Baca: Perjalanan Sejarah Jamiat Kheir, Pelopor Pendidikan Umat Islam di Hindia Belanda
3. Perayaan dan Adat yang Islami
Para wali memahami bahwa masyarakat Jawa gemar merayakan. Mereka menyelenggarakan perayaan Sekaten dan Grebeg Maulud, di mana gamelan mengundang orang-orang untuk mendengarkan dakwah. Tradisi adat diubah menjadi ritual Islami, mengarahkan doa dan sedekah kepada Allah.
4. Pendidikan di Pesantren
Pesantren menjadi pangkalan pendidikan Islam. Para santri diajari dan kemudian menjadi da'i, menyebarkan Islam di daerah asal mereka.
5. Teladan Akhlak Mulia
Para wali tidak hanya mengajar dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Mereka membantu masyarakat, mengajarkan bahwa semua manusia sama dalam Islam. Mereka memberi contoh sikap lembut dan membantu masyarakat dalam berbagai hal, dari pengobatan hingga irigasi sawah.
Di tengah kaya raya budaya Jawa, para Walisongo memainkan serenata Islam yang penuh kebijaksanaan dan harmoni, membawa cahaya Islam ke dalam hati masyarakat dengan lembut dan tulus. Sebuah perjalanan spiritual yang penuh inspirasi dan kearifan.
Baca juga: Sekaten di Surakarta: Memperingati Maulid Nabi dengan Kearifan Budaya
Serla Fadila
Koropak.co.id - Ken Arok, yang juga dikenal sebagai Ken Angrok, adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang hidup pada abad ke-13.
Kitab Pararaton menjadi sumber utama untuk memahami kisah hidupnya. Dari awalnya seorang berandal yang gemar berjudi dan merampok, Ken Arok menjalani perjalanan yang mengejutkan dalam sejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri.
Ken Arok muncul dalam sejarah setelah membunuh pemimpin Tumapel, Tunggul Ametung, agar bisa menikahi Ken Dedes.
Setelah peristiwa ini, ia menjadi penguasa Tumapel dan mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Singasari. Gelarnya adalah Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi, dan masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1222 hingga 1247 Masehi.
Ada beberapa interpretasi tentang asal usul Ken Arok. Salah satu versi menyebut bahwa ia adalah anak Gajah Para, seorang pejabat daerah di Kerajaan Kediri, dan Ken Ndok.
Baca: Kisah Cinta Legendaris Ken Arok dan Ken Dedes Awali Sejarah Kerajaan Singasari
Namun, versi lain mengklaim bahwa ia adalah putra Dewa Brahma, dengan Tunggul Ametung sebagai inkarnasi Dewa Brahma. Ini menjadi dasar bagi legitimasi Ken Arok sebagai penguasa yang istimewa.
Pada puncak kekuasaannya, Ken Arok menggulingkan Raja Kertajaya dari takhta Kerajaan Kediri melalui perang. Namun, masa pemerintahannya berakhir tragis ketika ia dibunuh oleh Anusapati, anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes, dengan keris Mpu Gandring pada tahun 1247.
Setelah kematiannya, Singasari berada dalam kepemimpinan yang singkat oleh Anusapati, yang juga tewas dalam pertarungan, dan kemudian Tohjaya, putra Ken Arok dan Ken Umang, mengambil alih takhta.
Kehidupan Ken Arok mencerminkan perjalanan dari kehidupan berandal hingga menjadi pemimpin yang memainkan peran penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa di abad ke-13.
Baca juga: Sultan Agung, Sang Penguasa Mataram dan Peranannya dalam Penyerbuan ke Batavia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Melati Suryodarmo adalah seorang seniman seni pertunjukan yang lahir di Surakarta, Indonesia, pada tanggal 12 Juli 1969. Perjalanan artistik membawanya jauh melampaui batas-batas geografis, menginspirasi dan memikat penonton di seluruh dunia.
Pendidikan memainkan peran penting dalam perkembangan seni Melati. Ia meraih gelar sarjana dalam ilmu sosial dan politik dari Universitas Padjajaran di Bandung, Indonesia.
Namun, hasratnya yang mendalam terhadap seni membawanya ke Jerman, di mana ia menyelesaikan gelar master dengan konsentrasi pada seni pertunjukan dan Raum Konzept di Hochschule für Bildende Künste Braunschweig.
Dilansir dari koalisiseni.or.id, salah satu ciri khas karya Melati adalah kemampuannya untuk bercerita tanpa menggunakan kata-kata.
Dalam pertunjukan-pertunjukan spektakulernya, ia mengandalkan gerakan tubuh, ekspresi wajah, bantuan audio visual, dan objek sederhana seperti bola hitam, arang, mentega, dan cat. Dalam dua dekade perjalanan seninya, Melati telah menciptakan sejumlah besar karya yang mengguncang hati penonton di seluruh dunia.
Beberapa karya terkenalnya termasuk "The Butter Dance" (2000), "The Promise" (2002), "I Love You" (2007), "The Black Ball" (2004), "Kleidungsaffe" (2006), "The Lover Across The Sea" (2013), "I’m a Ghost in My Own House" (2012), dan "Transactions of Hollow" (2017).
Baca: Perjalanan Seni dan Karya Spektakuler dalam Publikasi Terbaru dari Museum MACAN dan Ikon Gallery
Di balik setiap karya ini terdapat riset mendalam dan pemahaman yang kuat akan isu-isu sosial, politik, dan ketidakadilan.
Sejak delapan tahun terakhir, Melati juga telah aktif di Studio Plesungan yang ia dirikan di Surakarta, Indonesia. Di studio ini, ia telah mengembangkan berbagai kegiatan seni, termasuk Performance Art Laboratory Project (PALA) dan Dance Laboratory Project (D_LAP).
Karya-karya Melati telah merambah panggung internasional dan mendapatkan pengakuan yang luas. Ia telah tampil di berbagai festival seni di Eropa, seperti Venice Biennale, IMMA Dublin, Museum Van Gogh Amsterdam, dan Haus der Kulturen der Welt Berlin. Di Indonesia, ia telah membagikan karyanya dalam berbagai acara seni, dari pertunjukan hingga pameran.
Melati Suryodarmo adalah bukti hidup bahwa seni adalah bahasa universal yang dapat mengatasi batasan budaya dan geografis.
Karyanya yang mendalam dan penuh makna telah menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, dan ia terus menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam seni pertunjukan kontemporer. Pameran "Why Let The Chicken Run?" yang diadakan di Museum MACAN adalah bukti perayaan dua dekade perjalanan seninya yang mengagumkan.
Baca juga: Museum MACAN: Eksplorasi Seni Kontemporer dalam Keindahan Jakarta
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di balik gemerlap kebudayaan Bali, tersimpan kisah inspiratif seorang perempuan tangguh yang dikenal dengan nama Gedong Bagoes Oka.
Lahir di Karangasem, Bali pada tanggal 3 Oktober 1921, Ibu Gedong, demikian ia akrab disapa, adalah inkarnasi dari kegigihan dan dedikasi seorang perempuan dalam membawa perubahan.
Dilansir dari narasisejarah.id, meskipun tumbuh dan besar dalam kehidupan Hindu, keyakinan dan filsafat Mahatma Gandhi mendalam dalam sanubarinya mengajarkan tentang kedamaian, keadilan, dan arti kehidupan yang sejati.
Sejarah mencatat banyak tokoh laki-laki yang memberikan kontribusi bagi negeri ini. Namun, seringkali kita lupa bahwa perempuan juga memiliki peran yang sama besarnya. Dalam konteks Indonesia, saat nama-nama seperti KH. Abdurrahman Wahid mendominasi catatan sejarah, Ibu Gedong hadir sebagai oase di tengah gurun patriarki.
Dengan pendidikan yang didapat berkat dukungan dari keluarga khususnya sang ayah yang berpikiran progresif, Ibu Gedong memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencerahkan pikiran perempuan Bali yang kala itu masih terbelenggu budaya feodal dan patriarki.
Konsep pluralisme yang dipahami dan dihidupi oleh Ibu Gedong menjadi landasan dalam setiap tindakannya. Menerapkan prinsip "God is Truth" dari ajaran Gandhi, beliau mengajarkan bahwa kebenaran adalah esensi dari semua kepercayaan dan agama.
Baca: Menelisik Sejarah Diperingatinya Hari Kartini
Dalam dunia pendidikan, Ibu Gedong berupaya keras untuk memastikan bahwa pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan pikiran, tetapi juga untuk membangun karakter dan budi pekerti. Dengan demikian, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi karakter.
Namun, mungkin yang paling menggugah adalah upayanya dalam pemberdayaan perempuan. Dengan mendirikan berbagai yayasan, Ibu Gedong berupaya mengangkat martabat perempuan, memastikan bahwa mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan memiliki posisi yang setara dalam masyarakat.
Prestasi dan dedikasi Ibu Gedong diakui, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dari menjadi anggota parlemen hingga terlibat dalam berbagai organisasi perdamaian dunia, jejak beliau menjadi bukti bahwa perempuan memiliki potensi yang sama besar dengan laki-laki.
Warisannya, Yayasan Ashram Gandhi, tetap berdiri teguh hingga hari ini, menjadi saksi bisu atas dedikasi seorang perempuan dalam meneguhkan prinsip-prinsip perdamaian, toleransi, dan keadilan.
Sayangnya, pada 14 November 2002, dunia harus kehilangan sosok inspiratif ini di Jakarta. Namun, semangat dan dedikasi Ibu Gedong Bagoes Oka tetap hidup, mengajarkan kita tentang arti kehidupan yang sejati dan bagaimana seorang perempuan mampu membawa perubahan bagi dunia.
Baca juga: Sejarah Resonansi Hari Perdamaian Dunia: Sebuah Simfoni Komitmen Global
Serla Fadila
Koropak.co.id - Pada abad ke-7 Masehi, sebuah kerajaan di tanah Jawa dikenal dengan kepemimpinan yang luar biasa. Kerajaan itu adalah Kalingga, dipimpin oleh seorang wanita berparas cantik bernama Ratu Shima.
Meskipun bersajak lembut, Ratu Shima dikenal memiliki hati yang adil dan bijaksana, membuat namanya dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.
Terlahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada tahun 611 Masehi, Ratu Shima adalah istri dari Raja Kartikeyasinga. Namun, setelah kemangkatan suaminya, Ratu Shima naik takhta menjadi pemimpin Kerajaan Kalingga.
Di bawah kepemimpinannya, Kalingga menikmati masa damai dan kemakmuran. Ia memperkenalkan hukum ketat yang menerapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri, sebuah kebijakan yang mengukuhkan komitmennya terhadap keadilan.
Baca: Kerajaan Kalingga, Di Balik Batu dan Bisikan Legenda
Dedikasi Ratu Shima terhadap keadilan tidak hanya berhenti pada rakyat biasa. Dalam sebuah insiden, putranya sendiri dituduh menyentuh kantung uang yang ditinggalkan oleh seorang raja dari kerajaan lain Sebagai tes integritas rakyat Kalingga. Meskipun hanya sebatas sentuhan, Ratu Shima tidak berkeberatan menjatuhkan hukuman berat kepada putranya.
Sebagai pemimpin, Ratu Shima tidak hanya dikenal karena keadilannya. Ia juga dikenal karena kebijaksanaannya dan kemampuannya dalam memajukan kerajaan. Di bawah kepemimpinannya, Kalingga berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting, menjalin hubungan dengan para pedagang Arab dan Gujarat melalui pesisir Pantai Utara Jawa.
Legenda Ratu Shima terus berkembang, menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Keberhasilannya dalam memimpin Kerajaan Kalingga membuatnya dikenang sebagai salah satu pemimpin wanita terbaik dalam sejarah Nusantara.
Sebuah kisah tentang seorang wanita yang memimpin dengan keadilan, keberanian, dan kasih sayang, mendorong perubahan dan meninggalkan jejak yang tak terlupakan.
Baca juga: Malahayati: Laksamana Perempuan yang Berlayar di Lautan Sejarah
Serla Fadila
Koropak.co.id - Lahir pada tahun 990 Masehi, Airlangga merupakan keturunan bangsawan. Putra dari Pangeran Udayana, raja Kerajaan Bedahulu di Bali, dan Ratih Mahendradatta, putri Kerajaan Medang, darah bangsawan mengalir deras dalam nadinya.
Dilansir dari narasisejarah.id, dari prasasti Pucangan yang kini disimpan di museum Kalkutta, India, Airlangga adalah pewaris tahta dengan warisan budaya yang mendalam, yang dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.
Airlangga tumbuh dengan dua adik, Marakata dan Anak Wungsu, yang keduanya meneruskan takhta Kerajaan Bedahulu. Selain itu, dia juga memiliki garis keturunan dari Empu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Kehidupannya mengalami perubahan drastis ketika pada usia 16 tahun, dia dinikahkan dengan Dewi Galuh, putri Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Namun, pernikahan mewah tersebut mendadak terhenti ketika pasukan dari Kerajaan Sriwijaya menyerang tanpa peringatan dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai pralaya, atau pemusnahan.
Saat serangan terjadi, Airlangga berhasil lolos dari maut dengan bantuan Mpu Narottama dan sekelompok kecil pengikut setia. Dalam pelariannya, dia mencari perlindungan di Gunung Wanagiri, tempat ia menghabiskan waktunya dengan merenung dan meditasi, berharap mendapatkan petunjuk dari Dewa Wisnu untuk mengembalikan kejayaan Kerajaan Medang.
Baca: Menguak Mitos Sendang Made, Tempat Sakral Petilasan Raja Airlangga
Kesempatan itu datang ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan dari Kerajaan Chola dari India. Melihat momentum ini, Airlangga dengan pasukan yang kurang dari 2.000 prajurit, berhasil merebut kembali Kerajaan Medang dari 5.000 tentara Sriwijaya yang mendudukinya.
Setelah merebut kembali kerajaan, Airlangga memindahkan ibu kota ke Wwatan Mas, dekat Gunung Penanggungan. Tak lama kemudian, ia memindahkan lagi pusat kerajaannya ke Kahuripan. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Kahuripan mengalami kebangkitan, yang ditandai dengan pembangunan bendungan, candi, dan perkembangan sastra.
Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama. Dua putra Airlangga, Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya, berkonflik untuk menguasai takhta. Melihat konflik yang terjadi, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan menjadi dua bagian, dengan Kahuripan di bawah kekuasaan Mapanji dan Dhaha di bawah kekuasaan Sri Samarawijaya.
Mengundurkan diri dari politik, Airlangga memutuskan untuk memulai kehidupan baru sebagai pertapa, mencari kedamaian rohani hingga akhir hayatnya. Namun, warisannya sebagai seorang pemimpin visioner dan pembaharu terus hidup dalam sejarah tanah Jawa Timur.
Baca juga: Kerajaan Kahuripan, Mahakarya Raja Airlangga di Tanah Jawa
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di kawasan Makassar, Sulawesi Selatan, lahir seorang putra raja yang kelak menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dialah Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan dari Timur" karena keberaniannya melawan Belanda.
Lahir pada 12 Januari 1631 di kota Makassar, Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, atau Sultan Hasanuddin, adalah putra dari Kesultanan Islam Gowa-Tallo.
Kesultanan yang telah memeluk Islam sejak 1605 ini menjadi bagian dari latar belakang kehidupannya, membentuk karakter dan pandangan dunianya.
Sebagai Sultan Gowa ke-16, Hasanuddin memimpin dari tahun 1653 hingga 1669, mengambil alih kekuasaan setelah kematian ayahnya pada tahun 1655. Prestasinya dalam memimpin dan melindungi kerajaannya dari ancaman asing membuatnya mendapat julukan dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin memang tak hanya dikenal karena kemaharajaannya tetapi juga ketegasannya. Ketika kongsi dagang Hindia Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mencoba memonopoli perdagangan rempah-rempah, sesuatu yang sangat penting bagi ekonomi Kesultanan Gowa-Tallo.
Baca: Lembayung Sejarah Kejayaan dan Warisan Kerajaan Gowa Tallo
Hasanuddin mengumpulkan kekuatan dan menyiapkan armada, ia bahkan membentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan tetangga untuk memperkuat garis depannya.
Namun, tidak semua raja sejalan dengan visi Hasanuddin. Arung Palakka, berasal dari Kerajaan Bone, melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan VOC untuk menghancurkan Kesultanan Gowa. Ini mengawali Perang Makassar (1666-1669), pertempuran besar antara Kesultanan Gowa dengan VOC dan sekutunya.
Meskipun dengan sumber daya dan strategi militer yang impresif, tekanan dari VOC terus meningkat, membuat Sultan Hasanuddin harus mengambil keputusan sulit. Pada 18 November 1667, ia menandatangani Perjanjian Bongaya, sebuah kesepakatan yang merugikan Gowa. Namun, ini tidak mematahkan semangatnya untuk terus berjuang melawan penjajah.
Sayangnya, perjuangan tersebut harus berakhir tragis. Pada 12 Juni 1670, Sultan Hasanuddin meninggal dunia akibat penyakit ari-ari, namun meninggalkan warisan dan cerita heroik yang terus dikenang oleh generasi berikutnya.
Sultan Hasanuddin akhirnya diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada tanggal 6 November 1973.
Baca juga: Sultan Agung, Sang Penguasa Mataram dan Peranannya dalam Penyerbuan ke Batavia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Nama I Gusti Ngurah Made Agung, raja berdarah biru dari Denpasar, menandai jejaknya pada era penuh gejolak ketika Bali berhadapan dengan dominasi kolonial Belanda.
Lahir di Denpasar pada tanggal 5 April 1876, I Gusti Ngurah Made Agung adalah putra mahkota dari I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, Raja Badung V.
Menginjak usia kepemudaan, ia telah dinobatkan sebagai Raja Badung VII pada tahun 1902, menggantikan ayahnya dan memimpin rakyatnya melawan intervensi Belanda.
Dilansir dari situs resmi Kemendikbud, pada awal abad ke-20, seiring dengan tumbuhnya ambisi kolonial Belanda, Perang Puputan Badung meletus sebagai simbol perlawanan rakyat Bali.
Baca: Kisah Heroik Puputan Badung, Kebangkitan Bali Melawan Kolonialisme
Pemerintah Hindia Belanda, dengan percaya diri, menganggap bahwa menguasai Kerajaan Badung berarti menguasai seluruh Bali. Namun, satu sosok berdiri teguh melawan anggapan tersebut adalah Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung. Baginya, integritas, kedaulatan, dan kehormatan kerajaannya adalah hal yang sakral dan tak bisa ditawar.
Tragisnya, dalam pertempuran heroik tersebut, ia gugur pada 22 September 1906. Meskipun kehilangan fisik, namun semangat perjuangannya tetap hidup dan berkobar.
Sebagai penghormatan, sebuah patung didirikan di perempatan Jalan Veteran Denpasar-Jalan Pattimura, Denpasar. Tidak hanya itu, pada 4 November 2015, atas kontribusinya yang besar bagi bangsa, Presiden Joko Widodo memberinya gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No 116/TK/2015.
Kehidupan I Gusti Ngurah Made Agung bukan hanya tentang kisah seorang raja yang berjuang melawan kolonialis, namun juga tentang bagaimana seorang pemimpin, yang menginspirasi bangsanya untuk berdiri teguh demi integritas dan kehormatan.
Baca juga: Sepenggal Kisah Pakubuwono IV, Raja Surakarta Guru Para Pujangga
Serla Fadila
Koropak.co.id - Keumalahayati, seorang perempuan kelahiran Aceh pada 1 Januari 1550, tidak sekadar menjadi bagian dari riwayat Nusantara, tetapi berdiri sebagai ikon perlawanan dan keberanian yang mencengangkan.
Dilansir dari indonesia.go.id, berlatar belakang keluarga berdarah biru, Malahayati tumbuh dalam sorotan istana dan gema peperangan. Dengan nasib yang menempatkannya sebagai pemimpin pasukan pertama yang seluruh anggotanya adalah perempuan, Malahayati mengubah sejarah.
Kisah awalnya berasal dari keluarga aristokrat, di mana sang ayah adalah Laksamana Mahmud Syah, Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh, dan sebagai cicit dari Sultan Salahuddin Syah.
Dididik di Mahad Baitul Maqdis, salah satu akademi militer terkemuka, Malahayati mewarisi ilmu dan keterampilan perang yang akan menjadi aset berharga dalam peperangannya melawan kolonialisme.
Namun, hidup tidak selalu berpihak kepadanya. Ketika perlawanan pertama terhadap Portugis di Selat Malaka pada 1586 mengakibatkan kematian suaminya, keberanian Malahayati dinyalakan dengan api dendam.
Ia merespons dengan berdiri sebagai laksamana, menjadi perempuan pertama di dunia yang memegang posisi tersebut, dan dengan cekatan membentuk pasukan perempuan Inong Balee.
Pasukan ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi juga representasi dari kehilangan dan sakit hati yang dirasakan oleh para janda yang kehilangan pasangannya dalam pertempuran.
Baca: Nenek Moyangku Orang Pelaut: Elegi Kemaritiman Indonesia Masa Lampau
Keberanian dan kecerdasan Malahayati memimpin pasukannya untuk melawan para penjajah, membuat namanya dikenang sebagai lambang perlawanan Aceh.
Keberaniannya dalam menghadapi musuh diakui oleh banyak pihak, termasuk Ratu Elizabeth I dari Inggris yang mengirim utusan khususnya, James Lancaster, untuk berunding dengan Malahayati.
Dalam sebuah pertempuran yang menegangkan dengan Cornelis de Houtman, Malahayati berhasil meraih kemenangan dengan membunuhnya, menegaskan posisinya sebagai salah satu pemimpin militer paling hebat di masanya.
Namun, seperti semua legenda, hidup Malahayati pun harus berakhir. Wafat pada tahun 1615, ia meninggalkan warisan yang tak terlupakan.
Diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, kisahnya menjadi inspirasi bagi generasi baru di Indonesia. Pelabuhan Malahayati di Aceh Besar menjadi saksi bisu dari kejayaannya, dan upaya untuk menghidupkan kembali kisahnya melalui teater mengingatkan kita semua tentang keberanian dan dedikasi Malahayati.
Dalam narasi sejarah Indonesia, Malahayati akan selalu berdiri sebagai laksamana perempuan pertama, pionir yang menginspirasi banyak perempuan lainnya untuk berdiri tegar di tengah badai.
Baca juga: Raden Dewi Sartika, Sosok Pahlawan Pendidikan dan Emansipasi Wanita Indonesia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Chaerul Saleh, seorang patriot yang dianugerahi gelar Datuk Paduko Rajo, terlahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 13 September 1916 dari pasangan Achmad Saleh dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.
Dibalik kisah heroiknya, terdapat kisah pribadi yang menunjukkan kekuatannya. Di usia dua tahun, keluarganya bercerai, memaksanya untuk mengarungi hidup di antara kota Medan dan Lintau.
Dilansir dari koransulindo.com, masa remajanya di Medan membawa kisah cinta dengan Yohana Siti Menara Saidah, yang kemudian menjadi istrinya. Demi cintanya, ia pindah ke Batavia untuk menuntut ilmu.
Menyelesaikan pendidikannya di Recht School di Batavia, Chaerul mengembangkan semangat perjuangannya dan menduduki posisi penting dalam Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia.
Perjuangan melawan penjajah Jepang menempa keteguhan Chaerul dalam menentang segala bentuk penindasan. Chairul memainkan peran penting menjelang proklamasi kemerdekaan dan ketika mempertahankan integritas Naskah Proklamasi.
Baca: Agus Noor, Sastrawan Serbabisa yang Banyak Menulis Sindiran Sosial-Politik
Sebagai pengikut Tan Malaka, seorang revolusioner yang gigih, Chaerul memahami arti sebenarnya dari perjuangan. Baik Tan Malaka maupun Chaerul menilai kemerdekaan sebagai perjuangan yang tidak pernah berakhir, bahkan setelah proklamasi. Meskipun harus mendekam dalam penjara, semangat perjuangan mereka tidak pernah pudar.
Di bawah naungan Partai Murba, Chaerul mencapai puncak kariernya dalam politik Indonesia. Meski sempat tersandung dalam Peristiwa Banten Selatan, Chaerul menuntaskan studinya di Jerman dan terus berkiprah di kancah politik nasional. Konsep Wawasan Nusantara yang diperjuangkannya memberikan Indonesia kedaulatan penuh atas lautan di antara pulau-pulaunya.
Sepanjang karir politiknya, Chaerul Saleh merupakan tokoh yang anti-PKI. Ia kerap melawan berbagai gerakan dan agitasi PKI. Tragisnya, ketika rezim Orde Baru melakukan “pembersihan” pasca Peristiwa Gestapu, Chaerul malah ikut ditangkap.
Mungkin, karena ia dianggap sebagai tokoh Soekarnois garis keras. Chaerul dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, hingga meninggal dunia di penjara, 8 Februari 1967, di usia 50 tahun. Sebagaimana banyak tahanan politik lainnya di masa itu, ia tak pernah diajukan ke meja hijau.
Semasa hidupnya, Chaerul memiliki jiwa patriotisme yang mengalir deras didalam darahnya. Maka tak heran ketika mendengar berita kematiannya yang mendadak di dalam penjara, banyak kalangan nasionalis yang sedih dan marah.
Baca juga: Nirwan Dewanto, Aktivis yang Jadi Penulis Produktif
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di suatu sudut Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tepatnya di Dolok Sanggal, pada 16 Desember 1912, dunia menyambut kelahiran seorang calon legenda arsitektur Indonesia, Friedrich Silaban.
Tanah Batak yang melahirkan banyak talenta kembali mengukuhkan namanya dalam sejarah, kali ini melalui sosok anak kelahirannya yang gemar dengan konstruksi dan bangunan sejak duduk di bangku remaja.
Dilansir dari harapanrakyat.com, meski tumbuh dalam lingkungan tradisional, kecintaan Silaban pada arsitektur membawanya menapaki kota besar, Bandung. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia mengasah pengetahuannya hingga akhirnya bersinar dan melanjutkan pendidikan di jantung Eropa, Academie van Bouwkunst Amsterdam, Belanda.
Beranjak pulang ke tanah air, pria yang kerap mengepulkan asap rokok dari pipanya ini menjadi tokoh sentral dalam pembangunan Indonesia era Sukarno.
Tangan-tangannya menciptakan ikon-ikon bangsa, mulai dari Monumen Nasional (Monas) hingga Masjid Istiqlal. Seperti seorang penyair yang menuangkan gagasan dalam bentuk kata, Silaban mengukir gagasan Sukarno dalam bentuk bangunan.
Baca: Hari Istiqlal, Perjalanan Mesjid Terbesar di Asia Tengah
Namun, tak selamanya jalan yang ditempuhnya mulus. Di era Orde Baru, ketika tembok Masjid Istiqlal hendak diganti dengan marmer, Silaban menunjukkan integritasnya dengan berani menentang keputusan tersebut.
Keberanian Silaban menentang Orde Baru menjadi legenda tersendiri, bagaimana seorang arsitek dengan segudang prestasi memilih integritas daripada kompromi. Hal tersebut mencerminkan bagaimana Silaban bukan hanya seorang arsitek, namun juga seorang patriot dan pejuang keadilan.
Silaban adalah manifestasi dari harmonisasi antara seni dan sains, tradisi dan modernitas. Seorang Batak asli yang mengukir namanya dalam sejarah arsitektur Indonesia, dan mewakili visi Sukarno tentang kebesaran dan kemandirian bangsa Indonesia. Lewat karya-karyanya, Indonesia bukan hanya dikenal, namun juga dihormati.
Dilansir dari en.wikipedia.org, Hingga akhirnya, tahun 1983 membawa berita duka, kesehatan Silaban memburuk. Meski telah banyak yang ia lalui, namun saat itu jelas bahwa tubuhnya mulai menyerah.
Lalu ada 14 Mei 1984, dunia kehilangan salah satu arsitek terbaiknya. Di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, sang legenda arsitektur Indonesia menghembuskan napas terakhir, meninggalkan jejak dan inspirasi bagi generasi berikutnya.
Baca juga: Bukan Sembarang Tempat Ibadah, Masjid Istiqlal Kaya akan Sejarah
Serla Fadila
Koropak.co.id - Eko Agus Prawoto, atau yang lebih akrab disapa Eko Prawoto, adalah lambang dedikasi dan kreativitas di dunia arsitektur Indonesia.
Lahir di tengah semangat perjuangan Flores pada 4 Oktober 1926, Eko memulai perjalanan akademiknya dengan meraih gelar Sarjana Arsitektur dari Universitas Gadjah Mada pada 1982.
Tetapi, jenjang akademik bukan satu-satunya yang menjadikan namanya begitu dihormati. Pengalaman sebagai dosen di Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana sejak 1985, memberikan dia wadah untuk berbagi ilmu dan inspirasi.
Lebih dari itu, pencapaian Eko tak berhenti hanya sebagai seorang akademisi. Ketika banyak arsitek memilih pendekatan modern, Eko justru konsisten mempertahankan filosofi lokalitas dalam setiap karyanya. Ia memadukan teknologi modern dengan material tradisional, menciptakan karya arsitektur yang harmonis dengan lingkungannya.
Dilansir dari kostatv.id, lewat Eko Prawoto Architecture Workshop yang didirikannya pada 2000, Eko berhasil memberikan sentuhan magisnya pada berbagai proyek, dari rumah pribadi hingga fasilitas publik.
Karyanya yang memadukan elemen lokal seperti kayu, bambu, dan batu alam dengan teknik desain kontemporer menjadi bukti nyata komitmennya pada keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.
Baca: Hari Arsitektur Indonesia dan Peran Serta Arsitek dalam Pembangunan Nasional
Tak hanya terkenal di Indonesia, namanya juga melambung di kancah internasional. Berbagai pameran di penjuru dunia, seperti Venice Biennale dan Singapore Biennale, menjadi saksi bisu kegeniusan Eko dalam merancang.
Media internasional seperti Taipei Times bahkan memberikan sorotan khusus pada proyek sosialnya yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal.
Namun, yang paling menonjol dari Eko bukanlah karya-karyanya, melainkan keputusannya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat desa.
Bagi Eko, hidup di desa bukanlah tentang menjauh dari kehidupan perkotaan, tetapi lebih pada pencarian arti hidup yang sesungguhnya adalah harmoni dengan alam dan kebersamaan dengan masyarakat.
Kabar duka kepergiannya pada 13 September 2023 meninggalkan duka yang mendalam bagi dunia arsitektur Indonesia. Meskipun sosoknya tiada, warisan karyanya dan prinsip hidupnya akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi-generasi arsitek muda Indonesia.
Eko Prawoto, arsitek yang menjadi jembatan antara tradisi dan masa depan, telah menorehkan sejarah yang tak akan pernah pudar.
Baca: Jejak Langkah Frans Seda: Sang Pahlawan dari Flores ke Puncak Negeri