Adu Keseimbangan dan Ketangkasan Melalui Permainan Perepet Jengkol

Koropak.co.id, 08 April 2022 18:15:02
Penulis : Eris Kuswara
Adu Keseimbangan dan Ketangkasan Melalui Permainan Perepet Jengkol


Koropak.co.id - Perepet Jengkol merupakan permainan tradisional yang berasal dari Jawa Barat dan hingga saat ini juga, masih belum diketahui mengapa nama permainan ini disebut demikian. 

Diketahui, permainan tradisional yang satu ini sering dimainkan oleh anak-anak. Pada Zaman dahulu, permainan ini berkembang dan populer di kalangan suku Sunda. 

Selain dimainkan oleh anak-anak di Jawa Barat, permainan tradisional ini juga turut dimainkan di Jawa Tengah. Disana, permainan tradisional ini disebut dengan "dhingklik oglak aglik".

Dilansir dari berbagai sumber, meskipun nama permainannya perepet jengkol, namun permainan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan jengkol. Sementara itu, anak-anak biasanya memainkan permainan perepet jengkol ini di halaman pada saat malam terang bulan. 

Permainan ini tergolong sangat mudah untuk dimainkan. Dalam memainkan permainan perepet jengkol, pemain harus bisa mengatur keseimbangan dan kerja sama tim. 

Biasanya, permainan ini dimainkan secara berkelompok baik oleh tiga sampai dengan empat orang. Untuk cara bermainnya, pertama-tama para pemain akan berdiri membentuk lingkaran namun posisinya saling membelakangi. 



Baca : Kudo-Kudo, Permainan Tradisional dari Sumatera Barat


Kemudian semua pemain pun akan saling berpegangan tangan untuk saling mengikat. Sementara itu, salah satu kaki dari setiap pemain akan diangkat ke belakang dan dikaitkan satu sama lain.

Jika posisinya sudah benar, tangan setiap pemain akan dilepaskan sehingga hanya bagian kaki saja yang terikat. Setelah itu, pemain pun bisa melompat-lompat dengan satu kaki dan terus berputar sambil bernyanyi dan bertepuk tangan.

Anak-anak yang bermain perepet jengkol ini biasanya akan menyanyikan lirik yang berbunyi, " Perepet jengkol Jajahean, Kadempet kohkol Jejeretan".

Selama berputar, gerakan juga akan semakin cepat dan nyanyiannya pun akan terus diulang menjadi lebih cepat dan  satu per satu pemain nantinya akan kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Permainan ini dimainkan hanya untuk bersenang-senang saja, sehingga tidak ada pihak yang dinyatakan menang ataupun kalah. 

Selain dapat melatih keseimbangan para pemainnya, permainan perepet jengkol ini juga dapat melatih ketangkasan, keakraban, dan kerja sama dalam tim.*


Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini



Komentar

Merajut Tali Silaturahmi Sembari Makan Bersama dalam Tradisi Megibung

Koropak.co.id, 31 March 2023 07:11:03

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bali - Masyarakat Bali memiliki sejumlah tradisi dan budaya unik dalam merajut tali silaturahmi. Salah satu budaya unik yang dimiliki itu adalah Megibung Karangasem atau tradisi makan bersama yang dilakukan oleh masyarakat Karangasem Bali.

Dilansir dari laman Indonesia.go.id, dalam pelaksanaannya, masyarakat Karangasem Bali akan berkumpul, dan duduk bersama sambil berbagi makanan. Biasanya megibung ini dilakukan setelah melaksanakan upacara adat, dan masyarakat Karangasem Bali pun akan duduk bersila bersama membentuk sebuah pola lingkaran.

Kemudian ditengah-tengah lingkaran akan terdapat nasi beserta lauk-pauk yang sudah dihidangkan di dalam nampan atau wadah dengan beralaskan daun pisang. Tak hanya kenyang yang didapatkan, namun sembari makan masyarakat pun bisa saling bertukar pikiran dan juga bersenda gurau.

Berbicara mengenai sejarahnya, masyarakat Karangasem Bali meyakini bahwa tradisi Megibung Karangasem berawal pada 1614 Caka atau tepatnya 1692 Masehi. Diceritakan kala itu, ada salah seorang Raja Karangasem bernama I Gusti Anglurah Ketut Karangasem dan merupakan Raja ke VII Karangasem.

Raja yang membawa kejayaan bagi Karangasem hingga akhir masa kekuasaannya pada abad ke-18 ini diketahui berhasil dalam menaklukkan Kerajaan-Kerajaan di Sasak (Lombok), dan di kala itu juga munculah tradisi megibung.

Ketika para prajuritnya sedang beristirahat makan, kala itu sang Raja membuat aturan baru untuk makan secara bersama-sama atau yang saat ini dikenal dengan nama megibung. 

Pada megibung juga terdapat beberapa istilah, seperti sele yang berarti orang yang bergabung dan duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung sebagai bagian dari satu kelompok. Kemudian ada pula istilah gibungan yang merupakan segopok nasi dengan alas gelaran.



Baca: Obrog-Obrog, Tradisi Unik Bangunkan Sahur dari Majalengka


Kemudian ada istilah karangan yaitu lauk pauk seperti lawar, kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah, dan sate. Jenis lauk pauk ini bervariasi sesuai dengan kemampuan. Uniknya, lauk pauk itu juga memiliki urutannya sebelum di taruh ke dalam sebuah gibungan. 

Salah seorang sele ada yang bertugas untuk menyiapkan lauk pauk, di mulai dari kekomohan dan urab yang terlebih dahulu ditaruh, kemudian berlanjut ke lawar, daging, dan terakhir adalah balah.

Satu sela ini juga hanya dinikmati oleh satu kelompok. Konon dahulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Namun seiring berjalannya waktu, kini satu sela bisa dinikmati antara 4 s.d 7 orang.

Tradisi megibung yang menjadi tradisi turun temurun juga tak berlaku status sosial ataupun kasta. Semuanya memiliki kedudukan yang sama, membaur dan makan bersama dalam tradisi.

Menariknya, tradisi megibung ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Beberapa komunitas Muslim yang ada di Karangasem Bali seperti Kecicang, Saen Jawa dan Tohpati biasa menggelar acara megibung.

Namun jika masyarakat Hindu menggunakan daging babi, lain halnya dengan masyarakat Muslim yang berlauk makanan berlabel halal. Tradisi megibung dalam komunitas Muslim biasanya digelar berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, lebaran, maulid nabi dan berbagai acara lainnya yang bernafaskan Islam.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Obrog-Obrog, Tradisi Unik Bangunkan Sahur dari Majalengka

Koropak.co.id, 29 March 2023 15:06:59

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Barat - Setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki tradisi masing-masing saat bulan Ramadan, salah satunya tradisi dalam membangunkan sahur. Seperti halnya di Jawa Barat, setiap daerahnya memiliki tradisi tersendiri dalam membangunkan sahur.

Jika di Bandung ada Sasauran. Lain halnya di Majalengka. Di daerah berjuluk Kota Angin memiliki tradisi unik untuk membangunkan sahur. Namanya Obrog-obrog.

Tradisi Obrog-obrog ini dilakukan oleh sekelompok pemuda yang piawai dalam memainkan alat musik. Biasanya dalam satu desa, grup Obrog-obrog ini dibagi per kampung. Keterampilan bermusik pemuda di setiap kampung itu juga biasa dijadikan sebagai "Alarm" warga setempat yang hendak melaksanakan sahur.

Dalam pelaksanaannya, sekelompok pemuda itu akan berkeliling kampung yang dimulai sekitar pukul 01.00 WIB s.d  03.30 WIB. Saat berkeliling kampung, mereka akan mempersembahkan lagu-lagu dangdut.

Tak hanya di Majalengka, tradisi ini juga bisa ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Berdasarkan sejarahnya, dulu grup Obrog-obrog hanya menggunakan berbagai alat musik tradisional. 



Baca: Cara Unik Pasukan Sasauran Bangunkan Sahur Warga Bandung


Namun seiring berkembangnya zaman, kini alat musik yang digunakan grup Obrog-obrog ini telah bertransformasi dengan menggunakan berbagai alat musik modern.

Selain alat musik, tak ketinggalan mesin diesel dan speaker juga menjadi bagian alat pendukung bagi mereka agar suara musik dari grup Obrog-obrog bisa terdengar lantang dan diharapkan bisa membangunkan sahur, khususnya bagi umat muslim yang akan menjalankan ibadah puasa.

Meskipun tradisi ini belum diketahui sejak kapan berlangsung, namun yang pasti tradisi Obrog-obrog ini disebutkan sudah berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Di sisi lain, tradisi Obrog-obrog ini juga tidak hanya sekedar mengandung nilai budaya dan ibadah, akan tetapi juga menjadi ruang bagi para pemuda untuk menyalurkan hobinya dalam bermain musik.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Tari Gending Sriwijaya, Tarian Kolosal Refresentasi Nenek Moyang Nusantara

Koropak.co.id, 28 March 2023 15:13:00

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Sumatra Selatan - Sembilan perempuan mengenakan pakaian adat, lengkap dengan berbagai aksesoris berupa paksangkong, dodot, tanggai, dan seledang mantri keluar dari panggung. Seorang penari yang berada di tengah dan paling depan tampak membawa sebuah kotak yang biasa disebut dengan tepak.

Suara gending pun mengiringi gerak gemulai para penari yang akan membawakan sebuah tarian kolosal dari Sumatra Selatan yang dikenal dengan nama Tari Gending Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya ini merupakan tarian kolosal peninggalan kerajaan Sriwijaya yang dulunya hanya dipentaskan oleh kalangan internal kerajaan sebagai tari penyambutan bagi tamu kerajaan. 

Sementara itu, berdasarkan sejarahnya, konon Kerajaan Sriwijaya dulunya mempunyai tarian yang ditunjukkan sebagai persembahan untuk dewa, sekaligus juga sebagai tarian penyambutan dan tarian yang bersifat sakral bernama Tari Tanggai.

Namun sayangnya, tarian ini mengalami modifikasi dikarenakan peraturan yang melarang wanita untuk menari di masa penjajahan Belanda. Oleh sebab itulah, tarian Tanggai berubah dan hanya ditampilkan oleh penari laki-laki. 

Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, tari Tanggai tidak diperbolehkan untuk dimainkan sama sekali. Akibatnya, masyarakat Palembang pun tidak mempunyai tarian tradisional untuk menyambut tamu. 

Melihat permasalahan ini, pemerintah Jepang pun meminta masyarakat Palembang untuk membuat sebuah tarian dan lagu pengiring yang menjadi tarian penyambutan. Pada 1943, Tari Gending Sriwijaya pun akhirnya dibuat oleh Tina Haji Gong dan Sukainah A. Rozak. 

Kala itu, bentuk dari tariannya sendiri adalah kombinasi dari berbagai unsur tarian adat yang sudah ada di Palembang. Tak hanya itu saja, unsur Buddhisme dan Batanghari Sembilan alias sembilan sungai di Sumatra Selatan juga diaplikasikan dalam tarian Gending Sriwijaya.

Sehingga kita pun dapat melihat penggunaan unsur Batanghari Sembilan pada penari yang jumlahnya 9 orang itu. Selain dibantu Nungcik A.R. yang bertugas membuat syair, Dahlan Muhibat pun membuat lagu untuk musik tarian Gending Sriwijaya.



Baca: Tari Pontanu, Tarian Khas Suku Kaili Terinspirasi dari Budaya Menenun


Pada 1944-an, pembuatan seluruh rangkaian tarian pun selesai dan pada akhirnya untuk pertama kalinya ditampilkan di halaman Masjid Agung Palembang dalam acara penyambutan pejabat ke Palembang.

Seiring berjalannya waktu, kini tari Gending Sriwijaya kerap dipentaskan oleh masyarakat Palembang dalam berbagai hajat, seperti pernikahan, pertemuan-pertemuan instansi pemerintahan, hingga dalam berbagai perhelatan budaya.

Diketahui, secara umum tari Gending Sriwijaya ini ditarikan oleh 9 orang penari yang semuanya adalah perempuan. Sembilan penari wanita tersebut merupakan representasi dari sembilan sungai yang ada di Sumatra Selatan. 

Dalam pertunjukkannya, para penari Gending Sriwijaya akan dikawal oleh dua orang laki-laki lengkap dengan payung dan tombak di tangannya. Seorang penari gending, akan membawa tepak berisi sekapur sirih yang nantinya akan diberikan kepada tamu yang dianggap spesial sebagai bentuk penghormatan.

Kemudian untuk musik yang mengiringi tari Gending Sriwijaya, merupakan musik yang keluar dari perpaduan alat musik gamelan. Musik gending tersebut juga dilengkapi dengan vokal yang pada umumnya menggambarkan kegembiraan dan ucapan rasa syukur atas kesejahteraan. 

Meski begitu, belakangan tari Gending Sriwijaya ini tidak melulu diiringi oleh musik gending secara langsung, melainkan hanya menggunakan rekaman dari musik yang sudah ada. Untuk gerakan dari tari Gending Sriwijaya ini didominasi oleh gerak membungkuk dan berlutut, dan sesekali melempar senyum sambil melentikan jari-jari kuku. 

Gerak itu merupakan bentuk penghormatan kepada para tamu yang datang. Kemudian untuk gerakan inti dalam tari Gending Sriwijaya adalah gerak penari utama yang membawakan tepak berisi sekapur sirih untuk diberikan kepada tamu kehormatan. 

Dahulu, pembawa tepak berisi sekapur sirih itu hanya diperbolehkan bagi mereka remaja yang merupakan putri dari keturunan Raja. Di sisi lain, tari Gending Sriwijaya merupakan representasi dari nenek moyang nusantara. Tarian kolosal ini juga menggambarkan kegembiraan para gadis.

Tak hanya itu saja, tari Gending Sriwijaya juga menggambarkan Kerajaan Sriwijaya sebagai tuan rumah yang ramah, tulus dan terbuka dalam menyambut tamu sebagai esensi dari sikap saling menghormati antar sesama manusia, dan bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Tari Pontanu, Tarian Khas Suku Kaili Terinspirasi dari Budaya Menenun

Koropak.co.id, 27 March 2023 12:01:40

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Sulawesi Tengah - Suku Kaili yang menghuni Provinsi Sulawesi Tengah terkenal dengan budaya menenun kain sarung hingga mampu menghasilkan kain dengan motif dan sulaman yang indah. 

Diketahui, kain hasil tenunan tersebut dikenal dengan nama sarung Donggala atau Buya Sabe. Menariknya lagi, budaya menenun dari Suku Kaili itu turut diabadikan dalam bentuk tarian tradisional yang dikenal dengan nama Tari Pontanu.

Tarian yang berasal dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah ini biasanya ditarikan oleh para penari wanita. Kemudian untuk gerakan dalam Tari Pontanu juga menggambarkan aktivitas para wanita yang sedang menenun sarung Donggala.

Tarian Pontanu juga sering ditampilkan dalam berbagai acara penting seperti penyambutan tamu, festival budaya, hingga promosi wisata. Tari Pontanu dikategorikan sebagai tarian berkelompok karena ditarikan oleh empat atau lebih penari wanita.

Berbicara mengenai sejarahnya, Tari Pontanu merupakan tarian yang terinspirasi dari aktivitas para penenun sarung tradisional di daerah Donggala, Sulawesi Tengah yang sejak dulu sudah terkenal dengan produksi kain sarungnya yang khas dan memiliki berbagai motif dan warna yang indah.

Dalam bahasa Kaili, sarung Donggala biasa disebut dengan Buya Sabe. Kain sarung khas Donggala ini dulunya masih diproduksi dengan cara tradisional, yaitu dengan cara ditenun yang proses tenunnya itu dilakukan oleh kaum perempuan.

Mulai dari sinilah Tari Pontanu pun dibuat dan diciptakan sebagai bentuk apresiasi terhadap para penenun sarung Donggala, sekaligus juga untuk memperkenalkan kain sarung khas Donggala kepada masyarakat luas.



Baca: Pemprov Sulteng Ajukan Kain Tenun Donggala Jadi WBTb UNESCO


Tari Pontanu berasal dari kata "pontanu" yang dalam bahasa setempat berarti "menenun". Sehingga tarian ini juga bisa diartikan sebagai tarian penenun. Sementara itu, untuk gerakan dari Tari Pontanu sendiri, berupa gerakan menenun ditambah dengan gerakan lain sebagai penambah estetikanya.

Andi Imrah Dewi, dan kawan-kawan dalam "Inovasi Pembelajaran Seni Sekolah Dasar Berbasis Kearifan Lokal di Era Revolusi Industri 4.0 (2019)" menuliskan bahwa gerakan inti dari Tari Pontanu dilakukan dengan cara melingkar sambil menggulung benang. 

Gerakan tersebut pun melambangkan roda kehidupan. Tari Pontanu juga bermakna nilai luhur, kepribadian yang sabar, tekun, disiplin, tanggung jawab, gotong royong, dan juga konsisten. 

Tak hanya itu saja, Tari Pontanu memberikan makna bagaimana seorang perempuan memiliki suatu kekuatan sebagai sumber kehidupan dan juga kesuburan. 

Dilansir dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, biasanya penari Tari Pontanu ini akan menggunakan busana adat Baju Nggembe berupa baju longgar tanpa lengan dengan bawahannya sarung tenun khas Donggala. 

Tak ketinggalan, para penari Tari Pontanu juga menggunakan aksesoris berupa anting, tusuk konde, gelang, dan juga properti berupa sarung. Dalam pertunjukannya, Tari Pontanu akan diiringi oleh alunan musik tradisional Sulawesi Tengah seperti ngongi dan ganda.

Ngongi merupakan jenis alat musik seperti gong. Sedangkan ganda merupakan jenis alat musik seperti gendang. Untuk irama yang dimainkan juga biasanya akan disesuaikan dengan gerakan para penari, sehingga membuat tariannya akan terlihat selaras.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Eksistensi Lanting, Rumah Adat Banjar yang Mulai Terhanyut Oleh Zaman

Koropak.co.id, 26 March 2023 12:01:43

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Kalimantan Selatan - Berbicara mengenai Provinsi Kalimantan Selatan tentunya tidak melulu tentang perusahaan tambang serta kisah hantu kuyang dan juga kota gaib Saranjana-nya. 

Pasalnya ada banyak hal lainnya yang dimiliki Provinsi berjuluk Bumi Lambung Mangkurat itu. Salah satunya, Rumah Lanting atau rumah yang berdiri di atas rakit. Diketahui, Rumah Lanting merupakan bagian dari rumah adat suku Banjar dari Kalimantan Selatan. 

Sudah sejak dahulu, Suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan ini menjadikan sungai sebagai bagian dari kehidupannya. Salah satu bentuk hubungan unik antara Suku Banjar dengan sungai adalah terciptanya Rumah Lanting, sebuah hunian tempat tinggal yang dibangun di atas rakit dan mengapung di atas sungai.

Meski saat ini keberadaannya masih dapat ditemukan, namun Rumah Lanting ini seakan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk dihanyutkan oleh zaman, tergerus oleh keadaan dan juga modernitas. 

Di Banjarmasin, kota yang mendapat gelar sebagai kota seribu sungai, keberadaan Rumah Lanting ini tinggal tersisa beberapa dan teronggok begitu saja yang seolah hanya untuk sekadar mengisi pojok-pojok sunyi tepian sungai Martapura.

Padahal, dulunya Rumah Lanting itu merupakan hasil kreasi dan adaptasi orang Banjar terhadap lingkungan, terhadap sungai-sungai besar yang melingkupinya.

Selain dibangun di atas rakit yang mengapung di atas sungai, Rumah Lanting juga dikenal sebagai produk budaya orang Banjar yang memiliki ciri khas tersendiri serta menjadi pembeda dan penanda dirinya. Salah satu ciri khas dari rumah adat ini adalah atapnya yang berbentuk seperti pelana. 

Bumbungan atap yang berbentuk seperti pelana ini dipercaya mampu menyerap panas lebih baik. Bagi orang Banjar, sungai juga merupakan jalan raya, tempat untuk beraktifitas, dan bersosialisasi. Oleh karena itulah, Rumah Lanting pun beradaptasi dengan menghadirkan dua buah pintu. 

Pintu pertama dari rumah ini mengarah ke daratan, dan pintu yang kedua mengarah ke hamparan sungai. Hal ini disebabkan karena penggunaan jukung sebagai sarana transportasi sehari-hari. Selain itu, Rumah Lanting juga memiliki dua buah jendela di kedua buah sisinya yang berfungsi untuk sirkulasi udara.



Baca: Bubungan Lima, Hunian Para Raja dan Bangsawan Bengkulu yang Unik


Laiknya rumah pada umumnya, Rumah Lanting juga memiliki ruangan untuk kamar tidur dan ruang tamu. Namun, dikarenakan keterbatasan ukuran dan efisiensi penggunaan ruang, Rumah Lanting ini pun biasanya hanya memiliki satu ruang tamu yang apabila malam tiba akan berganti menjadi kamar tidur.

Rumah Lanting terbuat dari kayu dengan bagian dasarnya yang terbuat dari kayu gelondongan atau drum plastik yang disusun berjajar sebagai fondasi agar rumah di atasnya bisa mengapung dengan baik. Meskipun mengapung di tepian sungai, Rumah Lanting dan juga penghuninya masih tetap terhubung dengan daratan. 

Sementara itu, sebagai upaya agar Lanting tersebut tetap memiliki akses terhadap daratan, maka dibangunlah titian atau jembatan kecil yang terbuat dari kayu yang menyentuh tepian daratan dengan panjangnya yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Selanjutnya, agar rumah tidak hanyut terbawa arus sungai, maka Rumah Lanting harus ditambatkan dan diikat dengan erat kepada pohon atau tiang kayu di tepian sungai. Biasanya, untuk panjang dan pendeknya tali yang mengikat juga tergantung dengan pasang surut sungai.

Ketika air sungai sedang pasang, maka tali yang digunakan akan lebih pendek. Hal itu dilakukan agar Lanting lebih dekat dengan daratan. Sedangkan pada saat air sungai sedang surut, maka tali yang digunakan akan lebih panjang agar rumah bisa diulurkan menjauh ke bagian sungai yang masih dalam agar tetap bisa mengapung.

Seiring berjalannya waktu, semakin langkanya keberadaan Rumah Lanting saat ini tak dapat dipisahkan pada kenyataan bahwa budaya sungai yang awalnya menjadi karakter orang Banjar pada akhirnya mulai luntur. 

Terpisahnya orang Banjar dengan sungai, maka segala aktivitas dan laku hidup yang awalnya saling mengaitkan itu akhirnya secara perlahan ditinggalkan. Selain itu, terhanyut oleh modernitas dan berpalingnya orang Banjar kepada daratan juga mengakibatkan keberadaan Rumah Lanting pun menjadi semakin langka.

Ditambah lagi mahalnya biaya untuk membangun rumah yang bisa mengapung di atas sungai juga ternyata menjadi salah satu alasan mengapa pada akhirnya Lanting ini ditinggalkan. 

Di sisi lain, rumah yang hanya diamankan dengan tali yang hanya diikat pada pohon atau pancangan kayu juga kini rentan terhadap pencurian. Adapun masalah lainnya adalah ketika musim kemarau tiba dan sungai mengering, Lanting akan menjadi lebih mudah rusak.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Cara Unik Pasukan Sasauran Bangunkan Sahur Warga Bandung

Koropak.co.id, 25 March 2023 15:09:41

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Barat - Saat memasuki bulan suci Ramadan, membangunkan orang sahur diketahui sudah menjadi tradisi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Tentunya banyak cara yang dilakukan untuk membangunkan orang agar segera melakukan makan sahur.

Salah satunya di Kota Bandung, Jawa Barat. Tepatnya di Kampung Sekeloa, Kelurahan Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, ada sebuah tradisi membangunkan sahur yang sudah ada sejak lama. Namanya Sasauran.

Sesuai dengan namanya, tradisi ini dilakukan oleh sekelompok warga yang bertujuan untuk membangunkan orang yang sedang tertidur agar segera melakukan makan sahur.

Biasanya, tradisi sasauran dilakukan sekelompok warga dengan membunyikan beragam alat musik tradisional. Mulai dari gendang, suling, gong, hingga kenong. Berbagai alat musik tradisional itu pun dibunyikan dengan lantang agar orang yang sedang tertidur bisa mendengarnya lalu terbangun.

Dalam pelaksanaannya, sekelompok warga yang mayoritas adalah pemuda setempat itu akan berkumpul mulai pukul 01.00 WIB. Akan tetapi sebelum berangkat, mereka akan terlebih dahulu mengumpulkan pasukan sasauran dan menyiapkan alat-alat musik yang akan dibawa.

Baru setelah itu, sekitar pukul 02.30 WIB, pasukan sasauran mulai melancarkan aksinya dengan berkeliling kampung sembari membunyikan berbagai alat musik tradisional yang mereka bawa. Tak lupa, pasukan sasauran itu juga akan menyanyikan lagu khas sahur secara bersama-sama.



Baca: Nostalgia! Ragam Permainan Tradisional untuk Menunggu Waktu Berbuka


"Sahur sahur, sahur sahur, sahur sahur, ayo kita sahur. Ibu-ibu bapak-bapak yuk kita bangun sahur, besok kan kita akan berpuasa. Berpuasa kita akan dapat pahala, tidak puasa akan dapatkan dosa," jelas pasukan sasauran sebagaimana dilansir dari detik.

Dengan terus menyanyikan lagu khas sahur tersebut, pasukan sasauran akan terus menyusuri setiap gang di kampungnya. Namun sesekali mereka juga akan berhenti di tempat lapang untuk sekedar beristirahat sejenak.

Meskipun terkesan bising dan mengganggu waktu tidur, namun tradisi sasauran ini disambut baik oleh warga sekitar. Bahkan tidak sedikit juga warga yang sampai keluar rumah untuk menyaksikan pasukan sasauran ini beraksi.

Tak hanya diikuti pemuda, ada juga beberapa anak-anak hingga orang dewasa yang antusias hingga pada akhirnya ikut serta berkeliling kampung untuk membangunkan sahur.

Keseruan tradisi sasauran pun semakin terasa pada saat sejumlah ibu-ibu secara sukarela memberikan makanan hingga minuman kepada pasukan sasauran. Seakan terbawa irama musik, ibu-ibu itu juga ikut berjoget menyambut lewatnya pasukan sasauran.

Setelah semua gang kampung dilewati, pasukan sasauran akan kembali ke tempat awal mereka berkumpul. Kemudian sekitar pukul 03.15 WIB, tradisi sasauran akhirnya selesai dan para pasukan sasauran satu per satu pulang ke rumah masing-masing untuk melaksanakan sahur.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Mbed-Mbedan, Tarik Tambang Unik Ala Masyarakat Desa Adat Semate

Koropak.co.id, 24 March 2023 15:14:01

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bali - Pulau Dewata Bali memang seolah tak bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya yang dimilikinya. Bahkan tradisi dan budaya yang menjadi warisan leluhur itu juga masih tetap terjaga dan dilestarikan sampai dengan sekarang.

Tentunya setiap tradisi dan budaya yang dilaksanakan di Bali itu juga memiliki makna dan tujuan tertentu. Selain itu, tradisi yang dilaksanakan juga berhubungan dengan ritual yang acapkali digelar dalam rentetan upacara adat ataupun hari suci Agama Hindu, seperti hari raya Nyepi dan Ngembak Geni.

Salah satunya seperti tradisi Mbed-mbedan yang digelar Warga Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, tepat sehari setelah Nyepi, atau saat hari Ngembak Geni.

Diketahui, upacara adat yang digelar mirip seperti permainan tarik tambang ini adalah sebagai penghormatan untuk mengenang berdirinya desa adat dan Pura Kahyangan Putih Semate.

Dalam pelaksanaannya, seluruh warga, mulai kaum perempuan dan laki-laki dari berbagai kalangan usia akan saling berbaur mengikuti ritual ini. Namun sebelum Mbed-mbedan dimulai, sekitar pukul 09.00 WITA, seluruh warga akan berdoa bersama di pelataran Pura Desa dan Puseh setempat.

Kemudian setelah itu, para pemangku akan menghaturkan sesaji berupa banten daksina suci di arena permainan. Sementara untuk kaum laki-laki lainnya, sibuk dalam menyiapkan tambang dan akar tumbuhan yang disebut dengan bun kalot.

Sedangkan di pihak lain, untuk menambah gelegar suasana, belasan anak muda pun menabuh gamelan baleganjur. Tak ketinggalan, para ibu-ibu juga menghaturkan banten sesaji di pura, termasuk tipat-bantal yang bisa disantap di akhir upacara.

Berbicara mengenai sejarah tradisi mbed-mbedan, hal ini tidak terlepas dari keberadaan Desa Adat Semate. Tradisi yang satu ini sudah ada sejak tahun saka 1396 atau 1474 masehi.

Di dalam Raja Purana itu dikisahkan ada seorang Rsi bernama Rsi Mpu Bantas yang melakukan perjalan suci ke sebuah hutan angker yang banyak ditumbuhi oleh kayu putih.



Baca: Selalu Hadir dalam Parade Sebelum Nyepi, Ini Filosofi dari Ogoh-ogoh


Di hutan itu, sang Rsi bertemu dengan para keturunan Mpu Gnijaya dan bertanya mengapa mereka berada di hutan yang ditumbuhi kayu putih. Para keturunan Mpu Gnijaya pun menjawab, alasan mereka berada di hutan itu dikarenakan tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan rajanya.

Karena Rsi Mpu Bantas mengetahui jika hutan tersebut angker, maka sang Rsi menyarankan keturunan Mpu Gnijaya untuk membuat tempat pemujaan agar selamat. Setelah tempat pemujaan jadi, mereka pun berkumpul untuk menentukan nama dari pura tersebut. 

Namun sayangnya, penentuan nama dari pura itu tidak berjalan lancar hingga menyebabkan terjadinya tarik ulur antar warga. Pada akhirnya, Rsi Mpu Bantas sendirilah yang memberikan pura itu dengan nama Pura Putih Semate.

Di sisi lain, kejadian tarik ulur inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal dari tradisi mbed-mbedan. Dalam Bahasa Indonesia, Mbed-mbedan diartikan sebagai saling tarik. Tradisi ini juga digelar untuk menghormati Rsi Mpu Bantas.

Tradisi mbed-mbedan hampir sama seperti perlombaan tarik tambang. Namun tradisi ini tidak menggunakan tali tambang, melainkan menggunakan bun kalot, sejenis tanaman yang menjalar dan tumbuh di setra Desa Adat Semate.

Tradisi mbed-mbedan biasanya diikuti oleh segala kalangan, mulai dari anak-anak, para remaja, orang dewasa, hingga orang tua. Akan tetapi sebelum melakukan mbed-mbedan, terlebih dahulu dilakukan persembahyangan di Pura Puseh atau Desa. 

Para warga akan membawa saran upacara yaitu tipat bantal untuk dipersembahkan kepada Ida Betara. Sementara itu, mbed-mbedan sendiri biasanya akan berlangsung di Jalan Raya Kapal. Menariknya, saat mbed-mbedan berlangsung, akan ada petugas yang menggelitiki tubuh peserta. 

Mbed-mbedan ini akan selesai apabila ada kelompok yang berhasil menarik tali yang dipegang lawan hingga terjungkal, sehingga kelompok tersebut pun dinyatakan menang. 

Selain digelar untuk menghormati Rsi Mpu Bantas, tradisi mbed-mbedan juga dilaksanakan dengan tujuan untuk merekatkan tali persaudaraan. Sehingga nanti terciptalah kerukunan dan menghilangkan permusuhan.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Nostalgia! Ragam Permainan Tradisional untuk Menunggu Waktu Berbuka

Koropak.co.id, 24 March 2023 07:09:01

Eris Kuswara


Koropak.co.id - Bagi kalian yang lahir di era 1980 s.d 2000-an, pastinya punya kenangan tersendiri saat menjalani bulan Ramadan. Terutama pada saat menjelang datangnya iftor alias ngabuburit, anak-anak punya hiburan tersendiri kala menunggu waktunya berbuka. Berbagai hiburan itu mungkin tak pernah ditemui lagi saat ini.

Saat itu, hampir di setiap halaman rumah, sekolah bahkan area bermain terbuka, kita dengan mudahnya menemukan sejumlah anak-anak tengah bermain permainan tradisional. Entah itu bermain ludo, bola bekel, hingga monopoli.

Namun sayangnya permainan tradisional anak-anak itu kini tinggal kenangan. Semuanya berubah seiring dengan kemunculan gadget dan telpon pintar atau smartphone. Kini, tak jarang persahabatan pun tidak dilakukan dengan bertatap muka atau berinteraksi secara langsung seperti dulu dan cukup sebatas di media sosial saja.

Termasuk juga dengan permainan yang dulunya menjadi media untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung dengan teman sebaya, kini tergantikan begitu saja oleh gadget. Pasalnya, saat ini berbagai permainan tersebut cukup sekali install di gadget yang kita punya.

Meski waktu terus berjalan dan zaman berganti, untuk mengenang momen-momen indah saat masih kecil dulu, kita bisa bernostalgia kembali dengan berbagai permainan tradisional anak-anak yang populer di era 1980 sampai 2000-an.

Pertama, Ludo. Permainan papan yang satu ini biasanya dimainkan oleh empat orang. Sesuai dengan jumlah pemainnya, untuk papan dan bidak yang digunakan juga terdiri dari empat warna sebagai penanda bidak dan wilayah masing-masing pemain.

Ludo sendiri memang sangat cocok dimainkan untuk menunggu waktunya berbuka puasa. Pasalnya, selain durasi permainannya yang cenderung lama, keseruan permainannya juga pastinya mampu menghilangkan kebosanan hingga tiba waktu berbuka.

Selanjutnya ada bola bekel. Permainan tradisional anak-anak ini biasanya identik dimainkan oleh anak-anak perempuan, namun tak sedikit juga ada anak laki-laki yang memainkannya. Permainan tersebut dilakukan secara bergantian sesuai dengan urutan. 

Ketiga ada monopoli. Bisa dikatakan permainan ini tidak sepenuhnya merupakan permainan tradisional, karena ada sedikit unsur modernitas dalam permainan papan yang satu ini. Monopoli juga dikenal sebagai salah satu permainan paling terkenal di dunia. Bahkan banyak anak-anak dari berbagai negara juga memainkannya.



Baca: Serba-Serbi Permainan Tradisional dari Biji


Di Indonesia, permainan yang mengandalkan kejelian dalam melihat peluang ini, cukup populer dimainkan saat bulan Ramadan. Monopoli dipilih menjadi sarana bagi anak-anak untuk menghilangkan kebosanan saat bulan Ramadan, dikarenakan bisa dimainkan oleh banyak orang dengan durasi permainannya yang relatif lama.

Tujuan dari permainan ini adalah untuk menguasai semua petak di atas papan dengan cara membeli, menyewa, dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan.

Selain itu, ada satu lagi permainan papan yang kerap dimainkan anak-anak Indonesia saat sedang ngabuburit atau menunggu waktu buka puasa. Permainan itu dinamakan ular tangga. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak-anak berjumlah dua orang atau lebih. Papan permainan ular tangga dibagi dalam kotak-kotak kecil. 

Dalam kotak-kotak kecil itu, ada nomor, gambar tangga untuk naik ke kotak yang lebih tinggi, dan gambar ular sebagai bentuk hukuman agar bidaknya turun ke kotak yang lebih rendah. 

Permainan selanjutnya adalah congklak. Congklak merupakan permainan tradisional yang dimainkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Permainan ini dimainkan oleh dua orang pemain dengan cara mengumpulkan biji congklak di areanya masing-masing. 

Kemudian ada juga permainan gasing tradisional yang terbuat dari kayu. Dalam permainanannya, gasing yang berputar atau bertahan paling lama nantinya yang akan dianggap sebagai pemenang. Lalu, ada karambol yang merupakan permainan meja yang dimainkan layaknya bermain biliar. 

Akan tetapi dimainkan dengan cara berbeda, yakni dengan menggunakan jari. Permainan ini tentunya begitu seru dan mengasyikkan karena dapat mengasah keterampilan. Tak ketinggalan ada permainan layang-layang yang sering dimainkan oleh anak-anak di tanah lapang. 

Saat bermain permainan ini, anak-anak akan saling berebut layangan putus dengan mengejarnya. Bermain layang-layang pun menjadi rutinitas ngabuburit tersendiri yang biasa dilakukan di sore hari.

Terakhir, permainan kelereng. Ada berbagai macam kombinasi permainan kelereng yang bisa dimainkan anak-anak, dan di setiap daerah juga punya perbedaan istilahnya sendiri. Meskipun begitu, siapapun yang paling pandai membidik kelereng lawan, maka dialah yang akan jadi pemenangnya.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Ragam Tradisi Sambut Ramadan, Bakar Batu Lulur Wajah

Koropak.co.id, 22 March 2023 17:02:56

Admin


Koropak.co.id - Ramadan datang semua riang. Umat muslim di Indonesia menyambut bulan suci itu dengan berbagai cara. Ada yang sekadar kumpul dengan keluarga, ada juga yang menggelar acara massal yang dilangsungkan di satu tempat.

Di setiap daerah memang mempunyai tradisi berbeda-beda, dan itu sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di Kudus, Jawa Tengah, misalnya. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana menggelar Dandangan yang merupakan kebiasaan Sunan Kudus pada 450 tahun silam.

Kala itu, di setiap jelang Ramadan, para santri berkumpul di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang waktu awal saum. Diketahui, Sunan Kudus merupakan ahli ilmu falak yang bisa menghitung hari dan bulan dalam kalender hijriah.

Pengumuman awal datangnya Ramadan dilakukan di pelataran Masjid Menara Kudus dengan memukul dua bedug di dua waktu. Pemukulan bedug pertama untuk mengumpulkan masyarakat, sedangkan yang kedua untuk memutuskan sekaligus membuka awal Ramadan.

Hingga saat ini tradisi tersebut masih dilestarikan, bahkan dimeriahkan dengan kirab yang merepresentasikan budaya di Kudus, seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, rumah adat Kudus dan lain-lain.

Bila di Kudus punya Dandangan, di Kampung Adat Miduana, Cianjur, Jawa Barat, lain lagi. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana punya tradisi Kuramasan. Dari pagi hingga siang, mereka berkumpul di Sungai Cipandak.

Selain mandi, baik berkelompok atau masing-masing dan tanpa harus membuka seluruh pakaian, masyarakat bergotong royong membersihkan sungai dari sampah. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan bersama atau mayor di tepi sungai.

Salah satu makna yang terkandung dalam Kuramasan adalah membersihkan diri dari segala kotor, hingga datangnya Ramadan disambut dengan kebersihan. Dengan begitu, masyarakat siap lahir batin menyambut dan melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci.

Selain Kuramasan, masyarakat Sunda di belahan lainnya, seperti di wilayah Priangan Timur ada kebiasaan dalam menyambut Ramadan yang dikenal dengan istilah Munggahan. Unggah atau naik bermakna naik ke bulan baru yang memiliki derajat lebih tinggi.

Umumnya, dalam menggelar munggahan masyarakat Priangan Timur biasa berkumpul dengan keluarga atau teman untuk makan bersama atau botram. Bukan hanya di rumah, munggahan bisa digelar juga di restoran atau tempat-tempat wisata.

Hampir mirip dengan Kuramasan, masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat, punya Balimau. Dalam menyambut Ramadan, mereka mandi di sungai atau tempat pemandian dengan cara berbeda. Bukan mandi biasa, tapi airnya dicampur limau atau jeruk nipis.



Baca: Ramadan Sama Lebaran Beda; Ada Sejak Indonesia Belum Merdeka


Sama dengan di Sunda, masyarakat Papua juga punya kebiasaan serupa. Umat muslim di sana punya tradisi makan bersama dalam menyambut Ramadan. Kendati serupa, tapi dalam praktinya berbeda. Mereka punya Bakar Batu yang sudah berlangsung sejak lama.

Di Papua, tradisi tersebut biasa dilakukan oleh semua kalangan, tak terkecuali umat muslim. Batu-batu dibakar hingga panas lalu di atasnya disimpan berbagai makanan, seperti daging ayam atau sapi, sayuran, dan umbi-umbian.

Tumpukan makanan itu kemudian ditutup lagi dengan batu panas sampai bahan-bahan tersebut matang dan siap disantap bersama. Selain untuk membuka lahan atau membangun rumah, tradisi Bakar Batu sering dilakukan dalam perayaan kelahiran atau perkawinan. 

Masyarakat muslim Papua, seperti di Walesi Jayawijaya dan daerah lainnya, biasa menggelar Bakar Batu dalam menyambut Ramadan. Mereka bergembira dengan datangnya bulan suci.

Di Aceh beda lagi. Dalam menyambut Ramadan, mereka punya tradisi Meugang. Masyarakat ramai-ramai ke pasar untuk berburu atau membeli daging sapi untuk dimasak dan dimakan bersama. Bukan hanya dengan keluarga, tapi juga mengundang tetangga atau para yatim dan fakir miskin.

Diketahui, tradisi tersebut bermula pada abad ke-14 masehi, tepatnya kala penyebaran agama Islam di masa kerajaan Aceh Darussalam. Waktu itu, raja memerintahkan balai fakir atau badan yang menangani fakir miskin dan duafa untuk membagikan daging, beras, dan pakaian. Semua biayanya ditanggung kerajaan.

Hal itu dilakukan raja sebagai rasa syukur atas datangnya bulan suci. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, tradisi tersebut masih dilakukan masyarakat Aceh. Bukan hanya dalam menjelang Ramadan, Meugang juga digelar sebelum Idulfitri dan Iduladha.  

Di Gorontalo beda lagi. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di sana, terutama kaum perempuan, biasa melakukan Mohibadaa. Itu merupakan tradisi melulur atau memasker wajah menggunakan rempah-rempah tradisional, seperti tepung beras, kencur, kunyit dan lain-lain.

Kendati bisa dikerjakan kapanpun, kebiasaan itu memiliki manfaat tersendiri bila dilakukan saat akan memasuki Ramadan. Tubuh yang kering lantaran kekurangan cairan akibat saum, jadi terasa tetap segar lantaran luluran. 

Masyarakat yang melakukan tradisi Mohibadaa merasakan banyak manfaatnya, semisal wajah jadi lebih segar dan bisa mencegah kerutan pada kulit. Lantaran pada saat saum kulit terasa kering, Mohibadaa jadi pilihan perempuan Gorontalo agar tetap merasa segar.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Selalu Hadir dalam Parade Sebelum Nyepi, Ini Filosofi dari Ogoh-ogoh

Koropak.co.id, 22 March 2023 15:04:25

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bali - Umat Hindu di Bali setiap tahunnya menyambut Hari Raya Nyepi dengan sebuah parade atau kirab yang meriah. Biasanya, pelaksanaan parade ini sendiri dilakukan satu hari sebelum perayaan Nyepi dilaksanakan.

Dalam parade yang dilakukan umat Hindu di Bali itu ada salah satu hal yang cukup menarik perhatian, yakni adanya sebuah makhluk mitologi bernama ogoh-ogoh. Bahkan karakter dari makhluk mitologi ini kerap digambarkan dengan wajah yang menyeramkan. Meskipun begitu, kehadiran ogoh-ogoh saat festival selalu dinantikan.

Lantas, apa sebenarnya makna dari ogoh-ogoh ini? Mengapa ogoh-ogoh ini juga kerap kali muncul ketika festival menjelang perayaan Nyepi di Bali? 

Diketahui, Ogoh-ogoh merupakan sebuah karya seni berbentuk patung yang selalu ada ketika Hari Pengrupukan, salah satu tahapan pelaksanaan Hari Suci Nyepi. Dimana dalam pelaksanaannya itu dilakukan sehari sebelum Nyepi dengan ritual khusus.

Meskipun begitu, pelaksanaan dari tradisi Ngerupuk ini juga bukanlah tanpa alasan. Dilansir dari laman Pemerintah Kota Denpasar, tujuan dari upacara Ngerupuk adalah untuk mengusir Bhuta Kala atau kejahatan yang dilakukan ketika sore atau sandhyakala setelah dilaksanakannya upacara mecaru di rumah.

Bhuta Kala sendiri merupakan representasi dari Bhu atau alam semesta, dan Kala yang berarti waktu. Hal ini adalah sebuah manifestasi dari hal-hal seperti keburukan maupun kejahatan.

Dalam pelaksanaannya, tradisi pengerupukan dilakukan dengan cara memukul benda tertentu atau kentongan hingga gaduh, menebar nasi tawur, mengobori rumah, hingga menyemburkan rumah dengan mesiu. Segala hal tersebut tentunya dilakukan agar hal-hal buruk tersebut bisa hilang. 



Baca: Pemkab Lamongan Luncurkan Program Rama Shinta, Ada Pawai Ogoh-Ogoh Balun


Sementara itu, khusus di Bali, pelaksanaan Pengerupukan ini juga turut dimeriahkan dengan sebuah pawai ogoh-ogoh secara besar-besaran. Berdasarkan sejarahnya, penamaan ogoh-ogoh sendiri berasal dari kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti digoyang-goyangkan.

Ogoh-ogoh inilah yang dijadikan sebagai penggambaran dari Bhuta Kala. Sehingga dengan demikian, biasanya wujud dari patung ogoh-ogoh tersebut akan berbentuk seram dengan postur tubuhnya yang besar.

Salah satu yang umum dijadikan sebagai penggambaran dari ogoh-ogoh adalah makhluk Raksasa. Selain itu, terdapat juga ogoh-ogoh dengan rupa dari makhluk-makhluk mitologi Hindu lain seperti gajah dan naga.

Dalam perkembangannya, representasi hal buruk dari ogoh-ogoh itu pun tidak hanya sekedar bersumber dari makhluk mitologi saja. Akan tetapi ada juga yang menggunakan rupa dari orang-orang terkenal atau penjahat yang sudah umum dikenal.

Oleh karena itulah, ketika ogoh-ogoh ini sudah selesai dibuat dan diarak pada parade ketika senja hari, patung tersebut pun akan dibakar dengan filosofi bahwa keburukan sudah hilang.

Biasanya, pembuatan ogoh-ogoh ini adalah hasil dari himpunan dana bersama yang berasal dari masyarakat atau dengan bantuan dari pihak tertentu. Untuk semakin menyemarakkan festival ini, terdapat juga kompetisi untuk ogoh-ogoh terbaik sesuai daerah.

Seiring berjalannya waktu, kini festival ogoh-ogoh ketika satu hari sebelum Nyepi pun sudah mulai banyak dilakukan di daerah lain. Contohnya seperti di Banyuwangi dan Solo yang dilaksanakan untuk menyemarakkan suasana layaknya parade di Bali.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Kala Kerinduan Istri Pelaut Tergambar Indah dalam Motif Batik Madura

Koropak.co.id, 21 March 2023 15:04:42

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Timur - Tahukah kamu? Batik Madura dengan batik Tanjung Bumi di Bangkalan ternyata berbeda dengan batik yang ada di kabupaten lain di Pulau Madura, Jawa Timur.

Diketahui, salah satu yang membedakannya ada pada keunikan motif dan juga warna khas pesisir yakni merah, hijau dan biru. Uniknya lagi, semua pembatik di Tanjung Bumi adalah perempuan yang pada umumnya memang istri pelaut. 

Dari kerinduan para istri pelaut itulah yang pada akhirnya tertoreh motif-motif klasik batik. Salah satu motif yang paling populer dari batik ini adalah tase'malajhe atau yang bisa diterjemahkan melaut. Pada motif tase'malajhe, pembatik Tanjung Bumi akan melukis kelok-kelok seumpama ombak kecil di laut tenang.

Mawar Kusuma dan Aryo Wisanggeni G dalam "Selisik Batik Madura: Liputan 'Ombak Rindu' Batik" yang dimuat Kompas menyebutkan bahwa ombak halus pada motif tase'malajhe, sebagai simbol dari harapan istri pelaut agar tidak ada ombak besar yang akan membahayakan.

"Do'a sekaligus kerinduan para istri pelaut pada selembar batik tase'malajhe ini pun berpadu dengan warna kuat dan tegas. Kemudian di antara ombak tase'malajhe, para istri pelaut juga menorehkan hiasan bunga dengan latar motif kuno gringsing," tulisnya.

Selain motif tase'malajhe, Tanjung Bumi sendiri memang kaya dengan sentuhan laut, seperti pacar cina. Bunga pacar cina yang dahulu bisa dijumpai di pantai dan kini sudah punah, namun motifnya masih bisa dijumpai di dalam batik.



Baca: Tanean Lanjhang, Perlambang Ikatan Kekeluargaan yang Kuat Masyarakat Madura


Kemudian ada juga motif lorjuk yang diadaptasi dari binatang laut lorjuk yang serupa dengan kerang. Sedangkan untuk motif lemar, menghadirkan gambar realis kapal. Selain itu, kecintaan pada laut juga tampak dari rumah tradisional Madura yang menghadap ke laut.

Kurt Stenross dalam buku "Madurese Seafarers" menyebutkan pentingnya peran perdagangan kayu dan ternak sebagai produk ekspor utama bagi eksistensi armada perahu tradisional di Pelabuhan Telaga Biru, Tanjung Bumi.

"Masa keemasan perdagangan kayu dan ternak di Telaga Biru tersebut berakhir pada 2002, tepat ketika perdagangan kayu dibatasi karena banyaknya kayu ilegal," sebutnya.

Sementara itu, penggunaan teknik kuno batik juga masih bisa dijumpai di Tanjung Bumi, seperti teknik permainan malam yang menghasilkan garis-garis warna halus sebagai teknik duri. Selain di Tanjung Bumi, terdapat juga teknik kuno duri yang hanya dijumpai di Tuban dan Cirebon yang juga memiliki pelabuhan besar. 

Para pembatik Tanjung Bumi sendiri merupakan nelayan. Sehingga motif yang muncul pun akan bervariasi karena persentuhan lebih banyak dengan dunia luar. Hal ini tentunya berbeda dengan batik pedalaman yang pembatiknya didominasi oleh petani.

Selain itu juga, pembatik Tanjung Bumi ini memiliki kemewahan waktu. Dengan demikian hal itu tak dijadikannya sebagai sambilan, namun sebagai tumpuan utama. Biasanya untuk batik halus akan dikerjakan minimal enam bulan, sehingga para pembatik punya harga tawar yang tinggi.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Bubungan Lima, Hunian Para Raja dan Bangsawan Bengkulu yang Unik

Koropak.co.id, 20 March 2023 12:02:21

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bengkulu - Provinsi Bengkulu memiliki rumah adat yang tetap dijaga kelestariannya sampai dengan saat ini. Namanya Rumah Bubungan Lima. 

Alasan rumah adat tersebut dinamakan Bubungan Lima dikarenakan rumahnya memang memiliki atap yang terdiri dari 5 limas dan disusun secara bertumpuk-tumpuk, sehingga membentuk atap yang unik.

Berdasarkan sejarahnya, konon pada masanya, rumah Bubungan Lima menjadi hunian bagi para raja dan kaum bangsawan di Bengkulu. Namun seiring berjalannya waktu, kini rumah tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagai hunian, melainkan sebagai tempat dilangsungkannya berbagai upacara adat penduduk setempat.

Bisa dikatakan, Bubungan Lima ini merupakan rumah adat bergaya rumah panggung dan memiliki 15 tiang penopang dengan ketinggiannya yang mencapai 1,8 meter. Rumah Bubungan Lima juga dilengkapi dengan tangga agar mempermudah penghuni untuk masuk ke dalam rumah.

Menariknya lagi, struktur rumah adat Bengkulu yang satu ini dirancang sedemikian rupa agar dapat meredam gempa. Karena mengingat juga bahwa secara geografis, Provinsi Bengkulu sendiri masuk ke dalam jalur gempa. 

Bukan hanya itu saja, alasan rumah adat Bengkulu itu dibangun sangat tinggi yakni untuk melindungi penghuni rumah dari serangan hewan buas atau bencana banjir.

Sementara itu, untuk bahan bangunan dari rumah Bubungan Lima ini didominasi oleh kayu Medang Kemuning yang terkenal memiliki elastisitas tinggi dan dapat bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Selain itu, di setiap tiang penopang rumahnya juga ditumpangkan pada batu datar yang lebar. Alasannya, agar rumah adat lebih bisa menahan gempa sekaligus juga untuk menghindari pelapukan yang dapat terjadi jika kayu langsung bersentuhan dengan tanah.

Rumah Bubungan Lima ini terdiri dari 9 ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing, diantaranya ada Berendo atau tempat menerima tamu yang tidak atau kurang begitu dikenal, sehingga durasi bertamunya pun cukup singkat. Bagian rumah ini juga berfungsi sebagai tempat bagi anak-anak bermain.

Kemudian ada Hall atau ruang yang digunakan untuk menerima tamu yang dikenal baik, seperti kerabat dan keluarga. Fungsi lain dari ruang ini adalah sebagai tempat berkumpulnya keluarga pada malam hari, tempat anak-anak belajar mengaji, serta sebagai tempat acara selamatan dan bermusyawarah.

Selanjutnya ada Bilik Gedang yang merupakan kamar utama, kamar pemilik rumah (suami dan istri) dan anak-anaknya yang masih kecil. Lalu ada Bilik Gadis yang menjadi kamar khusus untuk anak perempuan yang beranjak remaja. Biasanya Bilik Gadis ini akan berdampingan dengan Bilik Gedang untuk mempermudah pengawasan.



Baca: Mengenal Lima Senjata Tradisional dari Bengkulu


Kelima, ada Ruang Tengah atau tempat beristirahat bagi tamu perempuan baik itu ibu-ibu atau anak gadis. Ruangan ini juga memiliki fungsi lain yakni sebagai tempat anak-anak belajar mengaji, serta menjadi tempat tidur anak bujang atau anak laki-laki yang belum menikah.

Keenam ada ruang makan yang menjadi ruang untuk makan keluarga penghuni rumah Bubungan Lima. Akan tetapi pada umumnya, rumah Bubungan Lima yang berukuran kecil tidak memiliki ruang makan. Sehingga keluarga pun menggunakan ruang tengah sebagai alternatifnya.

Ruangan ketujuh dikenal dengan nama Garang atau tempat penyimpanan tempayan air yang digunakan untuk mencuci piring dan mencuci kaki, sebelum masuk ke dalam rumah atau dapur. Kedelapan ada Dapur yang layaknya seperti dapur pada umumnya dan berfungsi sebagai tempat mengolah sajian untuk keluarga.

Terakhir ada Berendo Belakang, serambi atau teras belakang yang berfungsi sebagai tempat bersantai bagi kaum perempuan pada siang atau sore hari.

Selain memiliki 9 ruangan didalamnya, rumah adat Bubungan Lima ini dibagi menjadi tiga bagian inti yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Selain itu juga pada setiap bagiannya, memiliki makna filosofi tersendiri.

Seperti pada bagian atas, memiliki filosofi sebagai perlambang hubungan manusia dengan sang pencipta yang dicirikan dengan ornamen selembayung pada ujung atap rumah. Bagian atas itu juga sebagai lambang penghormatan dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara untuk bagian tengah, menjadi pusat berbagai ruangan. Dimana bagian tengahnya itu menjadi tempat berinteraksi antar penghuni. Sehingga hal ini melambangkan hubungan harmonis antar sesama manusia.

Sedangkan untuk bagian bawah atau kolong rumah, biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen dan juga tempat tinggal hewan ternak. Dimana hal ini melambangkan hubungan baik dan rasa saling menghargai manusia terhadap hewan dan tumbuhan.

Bukan hanya itu saja, pada bagian pintu masuk rumah juga terdapat gambar buraq yang merupakan tunggangan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam pada saat Isra Mi'raj dan menjadi lambang keteguhan masyarakat di Bengkulu dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Di sisi lain, rumah adat Bengkulu ini turut dihiasi ornamen yang didominasi dengan ornamen tumbuhan dengan makna tersendiri. Contohnya seperti ornamen kembang empat, yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan serta ornamen melati yang melambangkan keindahan.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini: