Muasal Kemunculan Garong di Indonesia

Koropak.co.id, 10 April 2022 07:40:50
Penulis : Muhamad Eris
Muasal Kemunculan Garong di Indonesia


Koropak.co.id - Pasca Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok-kelompok bersenjata muncul di mana-mana, baik dalam jumlah kecil maupun besar. 

Jika grup-grup besar membentuk milisi yang berafiliasi dengan partai-partai politik, lain halnya dengan kelompok-kelompok kecil yang berdiri sendiri dengan menempati wilayah tertentu. 

Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok kecil itu justru menjadi gerombolan-gerombolan kriminal yang kegiatannya merampok rakyat. Salah satunya yang muncul di jalur Tagogapu-Padalarang. 

Gerombolan kriminal itu biasanya akan beraksi di atas jam 16.00 dengan mencegat kendaraan-kendaraan yang lewat atau para pedagang yang akan berangkat ke Bandung.

Dilansir dari berbagai sumber, Arnasan (94) menyatakan bahwa sejatinya orang-orang yang bergabung dalam kelompok liar tersebut merupakan eks para pekerja paksa di era bala tentara Jepang berkuasa (Romusha) yang baru kembali dari Sumatera, Kalimantan bahkan Burma (Myanmar) dan Thailand.

"Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjaannya hanya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya," kata lelaki yang masa mudanya dihabiskan untuk berdagang keliling itu.

Dikarenakan status mereka adalah bekas Romusha, orang-orang sekitar tempat itu pun kemudian mengidentifikasi mereka sebagai Garong yang merupakan singkatan dari gabungan romusha ngamuk. 

Istilah inilah yang selama revolusi berkecamuk cukup mengganggu masyarakat dan menjadi momok menakutkan. Sebab, mereka bukan saja dicari oleh pihak keamanan Republik, akan tetapi juga turut diincar oleh tentara Belanda.

"Para garong ini sendiri tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda, selama mereka berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun," ujarnya.

Terkait dengan masalah gejala munculnya garong ini juga turut dikonfirmasi penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer. Dalam karyanya berjudul 'Jalan Raya Pos Jalan Daendels' ia menuliskan pengalaman pribadinya semasa menjadi seorang prajurit Tentara Keamanan Rakjat (TKR) berpangkat sersan mayor di Resimen Cikampek.

Pram menceritakan pada suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. 

Bisa jadi yang dimaksud oleh Pram sebagai Doejeh itu adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.

"Akan tetapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya dan anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Sehingga aku pun harus menunggu di luar ditemani prajurit-prajurit yang lain," ungkap Pram.



Baca : Dicap Sebagai Perusahaan Terkaya, Benarkah Kekayaan VOC Tiada Bandingannya?


Kala bercengkerama dengan para prajurit Resimen Cililin inilah, Pram pun mendengar cerita dari salah seorang prajurit lain mengenai banyaknya garong yang merajarela di wilayah Padalarang dan sekitarnya termasuk juga Cililin. 

Menurut sang prajurit, para garong itu terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda.

"Mereka melakukan perampokan di mana saja apabila dianggap tak ada penjagaan yang kuat," tulis Pram.

Para garong ini juga biasanya merampok dengan menggunakan senjata api laras pendek. Senapan atau karabin pun digergaji larasnya menjadi pendek, sehingga membuatnya mudah untuk disembunyikan di balik sarung.

"Ketika aku tanya apa artinya garong, mereka menjawabnya: singkatan dari gabungan romusha ngamuk," ujar tentara yang kemudian banting setir menjadi sastrawan itu.

Sementara itu, istilah garong tersebut juga ternyata memiliki makna yang sama di wilayah Banyumas. Hal ini diungkap oleh seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M. Alie Humaedi, dalam risetnya berjudul 'Gaboengan Romusha Ngamoek: Pertarungan Kekerasan di Kaki Pegunungan Dieng Banjarnegara (1942-1957)'.

Menurut Humaedi, antara tahun 1942-1957, di wilayah-wilayah seperti Kalibening, Karangkobar, Batur, Paweden, Wanayasa, Pekalongan atas dan Wonosobo, kala itu kelompok-kelompok penjahat yang dijuluki khalayak sebagai garong.

Meskipun memiliki kepanjangan yang sama dengan garong yang ada di Jawa Barat, namun para eks romusha yang terlibat ternyata bukanlah berasal dari seberang, melainkan romusha lokal.

"Mereka itu terdiri dari anak-anak muda yang pernah dipekerjakan oleh bala tentara Jepang di wilayah keresidenan masing-masing," kata Humaedi.

Selain itu, bagi masyarakat yang berada di wilayah Keresidenan Banyumas, garong merupakan nama kelompok yang seutuhnya penjahat. Sebab, mereka melakukan perampokan kepada siapapun tanpa pandang bulu, dan bertujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sebagai paradoks dari mereka disebut dengan maling suci.

"Berbeda dengan garong, maling suci ini menjalankan perampokan hanya kepada orang-orang kaya yang dinilai pro Belanda. Mereka juga kerap membagikan hasil rampokannya kepada orang-orang tak berpunya," ujarnya.

Orang-orang maling suci itu juga bukan saja pro rakyat kecil, akan tetapi juga ikut memerangi para garong. Mereka pun seolah menjadi 'kekuatan putih', sedangkan garong adalah 'kekuatan hitam'.

Uniknya lagi, para maling suci dan garong itu sama-sama dimusuhi oleh pihak Belanda dan aparat resmi Indonesia. Namun khusus untuk maling suci, mereka secara diam-diam dilindungi oleh masyarakat. Persisnya seperti komplotan Robin Hood yang dilindungi masyarakat sekitar hutan Sherwood (Inggris) pada ratusan tahun yang lalu.*


Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini