Tari Golek Montro, Tarian Sakral Penyambut Tamu Kerajaan

Koropak.co.id, 26 April 2022 19:14:26
Penulis : Eris Kuswara
Tari Golek Montro, Tarian Sakral Penyambut Tamu Kerajaan


Koropak.co.id - Perkembangan kesenian tari Jawa, khususnya di Surakarta diawali sejak terbaginya kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. 

Diketahui terbaginya kerajaan tersebut tepatnya sebelum terjadinya kebakaran di Kartasura, dalam perjanjian Giyanti 1755 yang ditandatangani Sri Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I). 

Selanjutnya teritorial keraton Surakarta pun dibagi kembali menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. 

Pembagian itu juga merupakan buah perjuangan Pangeran Sambernyawa atau RM. Said selama 16 tahun, setelah ditandatanganinya perjanjian Salatiga antara RM. Said, Sri Sunan Paku Buwono III dan Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bertempat di Yogyakarta. 

Dilansir dari berbagai sumber, sejak saat itu jugalah perkembangan seni tari Mangkunegaran pun dimulai atau lebih tepatnya sejak berdirinya Pura Mangkunegaran pada masa kepemimpinan KGPAA Mangkunegara I. 

Adapun beberapa tarian gaya Mangkunegaran tersebut diantaranya tari Srimpi Anglir Mendung (ciptaan KGPAA Mangkunegara I), tari Srimpi Mondrorini, tari Gambyong Pareanom, tari Handaga Bugis, tari Gatotkaca Gandrung, Langendriyan dan tari Golek Montro.

Berbicara mengenai tarian Golek Montro, tarian ini merupakan tari penyambutan tamu. Biasanya tari ini akan dipentaskan pada awal acara, karena tari Golek Montro dipercayai sebagai tarian sakral yang harus ditempatkan pada awal acara. 



Baca : Tari Soreng dan Kisah Adipati Aryo Penangsang


Selain itu juga dikarenakan di dalam tarian tersebut juga terdapat rangkaian doa dan mantra. Sehingga dengan dipentaskannya pada awal acara, maka diharapkan keseluruhan acara dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan sedikit pun.

Sementara itu, tarian tersebut lahir pada saat Pura Mangkunegaran mencapai puncak kejayaan, yaitu pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII. Golek Montro sendiri merupakan karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro VII (1855-1944). 

Tari Golek Montro menceritakan tentang putri-putri keraton yang sedang berhias atau mempercantik diri untuk menyambut kedatangan para tamu agung kerajaan.

Sebagai iringannya, menggunakan gendhing Montro dan ladrang asmaradana. Sedangkan mengenai jumlah penarinya, tidak ada aturan baku sehingga penarinya bisa menacari secara tunggal atau kelompok.

Berdasarkan pimpinan kelompok Langen Praja Pura Mangkunegaran mengatakan bahwa tarian tersebut merupakan tari penyambutan tamu yang biasanya dipentaskan pada awal acara. karena dipercaya sebagai tarian sakral yang harus ditempatkan pada awal acara. 

Gerakan tarian ini yaitu dalam ritme lambat, lembut, gemulai dan merupakan ciri khas tarian Solo. Para penari juga menarikan tariannya dengan apik dan hentakan tangan di balik selendangnya pun sangat selaras.

Tarian berdurasi tiga puluh menit ini sepenuhnya memiliki gerakan yang gemulai dan dalam ritme lambat. Namun para penari menarikannya dengan wajah yang selalu tersenyum. Sehingga, tidak mengherankan jika penonton yang memadati pura tetap bisa menikmati Golek Montro.*


Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini


Komentar

Ragam Tradisi Sambut Ramadan, Bakar Batu Lulur Wajah

Koropak.co.id, 22 March 2023 17:02:56

Admin


Koropak.co.id - Ramadan datang semua riang. Umat muslim di Indonesia menyambut bulan suci itu dengan berbagai cara. Ada yang sekadar kumpul dengan keluarga, ada juga yang menggelar acara massal yang dilangsungkan di satu tempat.

Di setiap daerah memang mempunyai tradisi berbeda-beda, dan itu sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di Kudus, Jawa Tengah, misalnya. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana menggelar Dandangan yang merupakan kebiasaan Sunan Kudus pada 450 tahun silam.

Kala itu, di setiap jelang Ramadan, para santri berkumpul di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang waktu awal saum. Diketahui, Sunan Kudus merupakan ahli ilmu falak yang bisa menghitung hari dan bulan dalam kalender hijriah.

Pengumuman awal datangnya Ramadan dilakukan di pelataran Masjid Menara Kudus dengan memukul dua bedug di dua waktu. Pemukulan bedug pertama untuk mengumpulkan masyarakat, sedangkan yang kedua untuk memutuskan sekaligus membuka awal Ramadan.

Hingga saat ini tradisi tersebut masih dilestarikan, bahkan dimeriahkan dengan kirab yang merepresentasikan budaya di Kudus, seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, rumah adat Kudus dan lain-lain.

Bila di Kudus punya Dandangan, di Kampung Adat Miduana, Cianjur, Jawa Barat, lain lagi. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana punya tradisi Kuramasan. Dari pagi hingga siang, mereka berkumpul di Sungai Cipandak.

Selain mandi, baik berkelompok atau masing-masing dan tanpa harus membuka seluruh pakaian, masyarakat bergotong royong membersihkan sungai dari sampah. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan bersama atau mayor di tepi sungai.

Salah satu makna yang terkandung dalam Kuramasan adalah membersihkan diri dari segala kotor, hingga datangnya Ramadan disambut dengan kebersihan. Dengan begitu, masyarakat siap lahir batin menyambut dan melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci.

Selain Kuramasan, masyarakat Sunda di belahan lainnya, seperti di wilayah Priangan Timur ada kebiasaan dalam menyambut Ramadan yang dikenal dengan istilah Munggahan. Unggah atau naik bermakna naik ke bulan baru yang memiliki derajat lebih tinggi.

Umumnya, dalam menggelar munggahan masyarakat Priangan Timur biasa berkumpul dengan keluarga atau teman untuk makan bersama atau botram. Bukan hanya di rumah, munggahan bisa digelar juga di restoran atau tempat-tempat wisata.

Hampir mirip dengan Kuramasan, masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat, punya Balimau. Dalam menyambut Ramadan, mereka mandi di sungai atau tempat pemandian dengan cara berbeda. Bukan mandi biasa, tapi airnya dicampur limau atau jeruk nipis.



Baca: Ramadan Sama Lebaran Beda; Ada Sejak Indonesia Belum Merdeka


Sama dengan di Sunda, masyarakat Papua juga punya kebiasaan serupa. Umat muslim di sana punya tradisi makan bersama dalam menyambut Ramadan. Kendati serupa, tapi dalam praktinya berbeda. Mereka punya Bakar Batu yang sudah berlangsung sejak lama.

Di Papua, tradisi tersebut biasa dilakukan oleh semua kalangan, tak terkecuali umat muslim. Batu-batu dibakar hingga panas lalu di atasnya disimpan berbagai makanan, seperti daging ayam atau sapi, sayuran, dan umbi-umbian.

Tumpukan makanan itu kemudian ditutup lagi dengan batu panas sampai bahan-bahan tersebut matang dan siap disantap bersama. Selain untuk membuka lahan atau membangun rumah, tradisi Bakar Batu sering dilakukan dalam perayaan kelahiran atau perkawinan. 

Masyarakat muslim Papua, seperti di Walesi Jayawijaya dan daerah lainnya, biasa menggelar Bakar Batu dalam menyambut Ramadan. Mereka bergembira dengan datangnya bulan suci.

Di Aceh beda lagi. Dalam menyambut Ramadan, mereka punya tradisi Meugang. Masyarakat ramai-ramai ke pasar untuk berburu atau membeli daging sapi untuk dimasak dan dimakan bersama. Bukan hanya dengan keluarga, tapi juga mengundang tetangga atau para yatim dan fakir miskin.

Diketahui, tradisi tersebut bermula pada abad ke-14 masehi, tepatnya kala penyebaran agama Islam di masa kerajaan Aceh Darussalam. Waktu itu, raja memerintahkan balai fakir atau badan yang menangani fakir miskin dan duafa untuk membagikan daging, beras, dan pakaian. Semua biayanya ditanggung kerajaan.

Hal itu dilakukan raja sebagai rasa syukur atas datangnya bulan suci. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, tradisi tersebut masih dilakukan masyarakat Aceh. Bukan hanya dalam menjelang Ramadan, Meugang juga digelar sebelum Idulfitri dan Iduladha.  

Di Gorontalo beda lagi. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di sana, terutama kaum perempuan, biasa melakukan Mohibadaa. Itu merupakan tradisi melulur atau memasker wajah menggunakan rempah-rempah tradisional, seperti tepung beras, kencur, kunyit dan lain-lain.

Kendati bisa dikerjakan kapanpun, kebiasaan itu memiliki manfaat tersendiri bila dilakukan saat akan memasuki Ramadan. Tubuh yang kering lantaran kekurangan cairan akibat saum, jadi terasa tetap segar lantaran luluran. 

Masyarakat yang melakukan tradisi Mohibadaa merasakan banyak manfaatnya, semisal wajah jadi lebih segar dan bisa mencegah kerutan pada kulit. Lantaran pada saat saum kulit terasa kering, Mohibadaa jadi pilihan perempuan Gorontalo agar tetap merasa segar.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Selalu Hadir dalam Parade Sebelum Nyepi, Ini Filosofi dari Ogoh-ogoh

Koropak.co.id, 22 March 2023 15:04:25

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bali - Umat Hindu di Bali setiap tahunnya menyambut Hari Raya Nyepi dengan sebuah parade atau kirab yang meriah. Biasanya, pelaksanaan parade ini sendiri dilakukan satu hari sebelum perayaan Nyepi dilaksanakan.

Dalam parade yang dilakukan umat Hindu di Bali itu ada salah satu hal yang cukup menarik perhatian, yakni adanya sebuah makhluk mitologi bernama ogoh-ogoh. Bahkan karakter dari makhluk mitologi ini kerap digambarkan dengan wajah yang menyeramkan. Meskipun begitu, kehadiran ogoh-ogoh saat festival selalu dinantikan.

Lantas, apa sebenarnya makna dari ogoh-ogoh ini? Mengapa ogoh-ogoh ini juga kerap kali muncul ketika festival menjelang perayaan Nyepi di Bali? 

Diketahui, Ogoh-ogoh merupakan sebuah karya seni berbentuk patung yang selalu ada ketika Hari Pengrupukan, salah satu tahapan pelaksanaan Hari Suci Nyepi. Dimana dalam pelaksanaannya itu dilakukan sehari sebelum Nyepi dengan ritual khusus.

Meskipun begitu, pelaksanaan dari tradisi Ngerupuk ini juga bukanlah tanpa alasan. Dilansir dari laman Pemerintah Kota Denpasar, tujuan dari upacara Ngerupuk adalah untuk mengusir Bhuta Kala atau kejahatan yang dilakukan ketika sore atau sandhyakala setelah dilaksanakannya upacara mecaru di rumah.

Bhuta Kala sendiri merupakan representasi dari Bhu atau alam semesta, dan Kala yang berarti waktu. Hal ini adalah sebuah manifestasi dari hal-hal seperti keburukan maupun kejahatan.

Dalam pelaksanaannya, tradisi pengerupukan dilakukan dengan cara memukul benda tertentu atau kentongan hingga gaduh, menebar nasi tawur, mengobori rumah, hingga menyemburkan rumah dengan mesiu. Segala hal tersebut tentunya dilakukan agar hal-hal buruk tersebut bisa hilang. 



Baca: Pemkab Lamongan Luncurkan Program Rama Shinta, Ada Pawai Ogoh-Ogoh Balun


Sementara itu, khusus di Bali, pelaksanaan Pengerupukan ini juga turut dimeriahkan dengan sebuah pawai ogoh-ogoh secara besar-besaran. Berdasarkan sejarahnya, penamaan ogoh-ogoh sendiri berasal dari kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti digoyang-goyangkan.

Ogoh-ogoh inilah yang dijadikan sebagai penggambaran dari Bhuta Kala. Sehingga dengan demikian, biasanya wujud dari patung ogoh-ogoh tersebut akan berbentuk seram dengan postur tubuhnya yang besar.

Salah satu yang umum dijadikan sebagai penggambaran dari ogoh-ogoh adalah makhluk Raksasa. Selain itu, terdapat juga ogoh-ogoh dengan rupa dari makhluk-makhluk mitologi Hindu lain seperti gajah dan naga.

Dalam perkembangannya, representasi hal buruk dari ogoh-ogoh itu pun tidak hanya sekedar bersumber dari makhluk mitologi saja. Akan tetapi ada juga yang menggunakan rupa dari orang-orang terkenal atau penjahat yang sudah umum dikenal.

Oleh karena itulah, ketika ogoh-ogoh ini sudah selesai dibuat dan diarak pada parade ketika senja hari, patung tersebut pun akan dibakar dengan filosofi bahwa keburukan sudah hilang.

Biasanya, pembuatan ogoh-ogoh ini adalah hasil dari himpunan dana bersama yang berasal dari masyarakat atau dengan bantuan dari pihak tertentu. Untuk semakin menyemarakkan festival ini, terdapat juga kompetisi untuk ogoh-ogoh terbaik sesuai daerah.

Seiring berjalannya waktu, kini festival ogoh-ogoh ketika satu hari sebelum Nyepi pun sudah mulai banyak dilakukan di daerah lain. Contohnya seperti di Banyuwangi dan Solo yang dilaksanakan untuk menyemarakkan suasana layaknya parade di Bali.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Kala Kerinduan Istri Pelaut Tergambar Indah dalam Motif Batik Madura

Koropak.co.id, 21 March 2023 15:04:42

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Timur - Tahukah kamu? Batik Madura dengan batik Tanjung Bumi di Bangkalan ternyata berbeda dengan batik yang ada di kabupaten lain di Pulau Madura, Jawa Timur.

Diketahui, salah satu yang membedakannya ada pada keunikan motif dan juga warna khas pesisir yakni merah, hijau dan biru. Uniknya lagi, semua pembatik di Tanjung Bumi adalah perempuan yang pada umumnya memang istri pelaut. 

Dari kerinduan para istri pelaut itulah yang pada akhirnya tertoreh motif-motif klasik batik. Salah satu motif yang paling populer dari batik ini adalah tase'malajhe atau yang bisa diterjemahkan melaut. Pada motif tase'malajhe, pembatik Tanjung Bumi akan melukis kelok-kelok seumpama ombak kecil di laut tenang.

Mawar Kusuma dan Aryo Wisanggeni G dalam "Selisik Batik Madura: Liputan 'Ombak Rindu' Batik" yang dimuat Kompas menyebutkan bahwa ombak halus pada motif tase'malajhe, sebagai simbol dari harapan istri pelaut agar tidak ada ombak besar yang akan membahayakan.

"Do'a sekaligus kerinduan para istri pelaut pada selembar batik tase'malajhe ini pun berpadu dengan warna kuat dan tegas. Kemudian di antara ombak tase'malajhe, para istri pelaut juga menorehkan hiasan bunga dengan latar motif kuno gringsing," tulisnya.

Selain motif tase'malajhe, Tanjung Bumi sendiri memang kaya dengan sentuhan laut, seperti pacar cina. Bunga pacar cina yang dahulu bisa dijumpai di pantai dan kini sudah punah, namun motifnya masih bisa dijumpai di dalam batik.



Baca: Tanean Lanjhang, Perlambang Ikatan Kekeluargaan yang Kuat Masyarakat Madura


Kemudian ada juga motif lorjuk yang diadaptasi dari binatang laut lorjuk yang serupa dengan kerang. Sedangkan untuk motif lemar, menghadirkan gambar realis kapal. Selain itu, kecintaan pada laut juga tampak dari rumah tradisional Madura yang menghadap ke laut.

Kurt Stenross dalam buku "Madurese Seafarers" menyebutkan pentingnya peran perdagangan kayu dan ternak sebagai produk ekspor utama bagi eksistensi armada perahu tradisional di Pelabuhan Telaga Biru, Tanjung Bumi.

"Masa keemasan perdagangan kayu dan ternak di Telaga Biru tersebut berakhir pada 2002, tepat ketika perdagangan kayu dibatasi karena banyaknya kayu ilegal," sebutnya.

Sementara itu, penggunaan teknik kuno batik juga masih bisa dijumpai di Tanjung Bumi, seperti teknik permainan malam yang menghasilkan garis-garis warna halus sebagai teknik duri. Selain di Tanjung Bumi, terdapat juga teknik kuno duri yang hanya dijumpai di Tuban dan Cirebon yang juga memiliki pelabuhan besar. 

Para pembatik Tanjung Bumi sendiri merupakan nelayan. Sehingga motif yang muncul pun akan bervariasi karena persentuhan lebih banyak dengan dunia luar. Hal ini tentunya berbeda dengan batik pedalaman yang pembatiknya didominasi oleh petani.

Selain itu juga, pembatik Tanjung Bumi ini memiliki kemewahan waktu. Dengan demikian hal itu tak dijadikannya sebagai sambilan, namun sebagai tumpuan utama. Biasanya untuk batik halus akan dikerjakan minimal enam bulan, sehingga para pembatik punya harga tawar yang tinggi.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Bubungan Lima, Hunian Para Raja dan Bangsawan Bengkulu yang Unik

Koropak.co.id, 20 March 2023 12:02:21

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Bengkulu - Provinsi Bengkulu memiliki rumah adat yang tetap dijaga kelestariannya sampai dengan saat ini. Namanya Rumah Bubungan Lima. 

Alasan rumah adat tersebut dinamakan Bubungan Lima dikarenakan rumahnya memang memiliki atap yang terdiri dari 5 limas dan disusun secara bertumpuk-tumpuk, sehingga membentuk atap yang unik.

Berdasarkan sejarahnya, konon pada masanya, rumah Bubungan Lima menjadi hunian bagi para raja dan kaum bangsawan di Bengkulu. Namun seiring berjalannya waktu, kini rumah tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagai hunian, melainkan sebagai tempat dilangsungkannya berbagai upacara adat penduduk setempat.

Bisa dikatakan, Bubungan Lima ini merupakan rumah adat bergaya rumah panggung dan memiliki 15 tiang penopang dengan ketinggiannya yang mencapai 1,8 meter. Rumah Bubungan Lima juga dilengkapi dengan tangga agar mempermudah penghuni untuk masuk ke dalam rumah.

Menariknya lagi, struktur rumah adat Bengkulu yang satu ini dirancang sedemikian rupa agar dapat meredam gempa. Karena mengingat juga bahwa secara geografis, Provinsi Bengkulu sendiri masuk ke dalam jalur gempa. 

Bukan hanya itu saja, alasan rumah adat Bengkulu itu dibangun sangat tinggi yakni untuk melindungi penghuni rumah dari serangan hewan buas atau bencana banjir.

Sementara itu, untuk bahan bangunan dari rumah Bubungan Lima ini didominasi oleh kayu Medang Kemuning yang terkenal memiliki elastisitas tinggi dan dapat bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Selain itu, di setiap tiang penopang rumahnya juga ditumpangkan pada batu datar yang lebar. Alasannya, agar rumah adat lebih bisa menahan gempa sekaligus juga untuk menghindari pelapukan yang dapat terjadi jika kayu langsung bersentuhan dengan tanah.

Rumah Bubungan Lima ini terdiri dari 9 ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing, diantaranya ada Berendo atau tempat menerima tamu yang tidak atau kurang begitu dikenal, sehingga durasi bertamunya pun cukup singkat. Bagian rumah ini juga berfungsi sebagai tempat bagi anak-anak bermain.

Kemudian ada Hall atau ruang yang digunakan untuk menerima tamu yang dikenal baik, seperti kerabat dan keluarga. Fungsi lain dari ruang ini adalah sebagai tempat berkumpulnya keluarga pada malam hari, tempat anak-anak belajar mengaji, serta sebagai tempat acara selamatan dan bermusyawarah.

Selanjutnya ada Bilik Gedang yang merupakan kamar utama, kamar pemilik rumah (suami dan istri) dan anak-anaknya yang masih kecil. Lalu ada Bilik Gadis yang menjadi kamar khusus untuk anak perempuan yang beranjak remaja. Biasanya Bilik Gadis ini akan berdampingan dengan Bilik Gedang untuk mempermudah pengawasan.



Baca: Mengenal Lima Senjata Tradisional dari Bengkulu


Kelima, ada Ruang Tengah atau tempat beristirahat bagi tamu perempuan baik itu ibu-ibu atau anak gadis. Ruangan ini juga memiliki fungsi lain yakni sebagai tempat anak-anak belajar mengaji, serta menjadi tempat tidur anak bujang atau anak laki-laki yang belum menikah.

Keenam ada ruang makan yang menjadi ruang untuk makan keluarga penghuni rumah Bubungan Lima. Akan tetapi pada umumnya, rumah Bubungan Lima yang berukuran kecil tidak memiliki ruang makan. Sehingga keluarga pun menggunakan ruang tengah sebagai alternatifnya.

Ruangan ketujuh dikenal dengan nama Garang atau tempat penyimpanan tempayan air yang digunakan untuk mencuci piring dan mencuci kaki, sebelum masuk ke dalam rumah atau dapur. Kedelapan ada Dapur yang layaknya seperti dapur pada umumnya dan berfungsi sebagai tempat mengolah sajian untuk keluarga.

Terakhir ada Berendo Belakang, serambi atau teras belakang yang berfungsi sebagai tempat bersantai bagi kaum perempuan pada siang atau sore hari.

Selain memiliki 9 ruangan didalamnya, rumah adat Bubungan Lima ini dibagi menjadi tiga bagian inti yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Selain itu juga pada setiap bagiannya, memiliki makna filosofi tersendiri.

Seperti pada bagian atas, memiliki filosofi sebagai perlambang hubungan manusia dengan sang pencipta yang dicirikan dengan ornamen selembayung pada ujung atap rumah. Bagian atas itu juga sebagai lambang penghormatan dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara untuk bagian tengah, menjadi pusat berbagai ruangan. Dimana bagian tengahnya itu menjadi tempat berinteraksi antar penghuni. Sehingga hal ini melambangkan hubungan harmonis antar sesama manusia.

Sedangkan untuk bagian bawah atau kolong rumah, biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen dan juga tempat tinggal hewan ternak. Dimana hal ini melambangkan hubungan baik dan rasa saling menghargai manusia terhadap hewan dan tumbuhan.

Bukan hanya itu saja, pada bagian pintu masuk rumah juga terdapat gambar buraq yang merupakan tunggangan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam pada saat Isra Mi'raj dan menjadi lambang keteguhan masyarakat di Bengkulu dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Di sisi lain, rumah adat Bengkulu ini turut dihiasi ornamen yang didominasi dengan ornamen tumbuhan dengan makna tersendiri. Contohnya seperti ornamen kembang empat, yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan serta ornamen melati yang melambangkan keindahan.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Desa Lamno Aceh, Kampung Bule dengan Masyarakatnya Bermata Biru

Koropak.co.id, 19 March 2023 15:09:00

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Aceh - Tahukah kamu? Kampung Bule yang berada di Desa Lamno, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya, Aceh, dikenal sebagai salah satu desa unik di Indonesia. 

Alasannya dikarenakan masyarakat yang tinggal di desa tersebut memiliki penampilan fisik layaknya orang Eropa, meskipun sebenarnya mereka merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).

Dilansir dari laman iNews, diketahui masyarakat yang tinggal di desa berjarak 86 kilometer dari Banda Aceh itu memiliki perawakan tubuh yang tinggi, berkulit putih dengan bintik merah, bermata biru, berambut pirang ditambah hidung yang mancung.

Mereka juga tersebar di beberapa desa yang dulunya termasuk wilayah Kerajaan Daya, seperti Ujung Muloh, Kuala Daya, Gie Jong, Lambeso, dan Teumarem. Desa-desa tersebut berada di pesisir barat Aceh dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Di sisi lain, Lamno sendiri memang kerap dikaitkan dengan daerah perdagangan. Alasannya karena daerah tersebut sering dikunjungi kapal-kapal dari Eropa. Oleh karena itulah, terjadi proses asimilasi dan banyak orang Eropa yang kemudian memutuskan untuk tinggal di sana bahkan menikah dengan wanita setempat.

Oleh sebab itulah, hingga saat ini, sebagian keturunan dari mereka masih bisa dijumpai di antara penduduk Lamno. Contohnya bisa dilihat dari gadis muslimah berambut pirang dan mempunyai mata kecoklatan.

Lantas, bagaimana asal usul dari mata biru yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lamno itu?

Diketahui, ada dua versi yang menceritakan asal usul bule dari Lamno ini. Versi pertama menyebutkan bahwa keturunan bermata biru tersebut berasal dari penjajahan Portugis yang terjadi pada awal abad ke-16 Masehi di Aceh.



Baca: Kisah Penduduk Bermata Biru Seperti Orang Eropa dari Pulau Siompu


Diceritakan saat itu Bangsa Portugis mencari rempah-rempah di Indonesia dan masuk melalui Aceh. Namun beberapa pria dari tentara Portugis justru memilih untuk menetap dan menikahi gadis Aceh, hingga pada akhirnya menghasilkan keturunan dengan mata biru kecoklatan.

Selain itu, ada juga yang menjelaskan bahwa keturunan Bule Lamno ini berawal ketika kapal perang Portugis terdampar di Aceh. Kala itu, Raja Daya memerintahkan untuk menangkap siapa saja yang masih hidup dari kapal tersebut.

Saat ditangkap, mereka pun diancam apabila ingin ditolong, maka harus masuk ke dalam agama Islam. Namu jika menolak mereka dipersilahkan untuk kembali ke laut. Mulai dari sanalah laki-laki Portugis pun menikah dan menghasilkan banyak keturunan.

Selanjutnya, para keturunan Eropa ini kemudian belajar bertani dan berbahasa. Mereka juga turut diperkenalkan dengan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Tercatat selama ratusan tahun, mereka lantas beranak pinak di desa tersebut.

Namun sayangnya, setelah Aceh dilanda tsunami pada 2004, banyak Bule Lamno yang pada akhirnya memutuskan untuk  berpindah ke berbagai tempat dan rata-rata dari mereka memilih untuk tinggal di kota yang mudah dijangkau secara transportasi.

Bahkan beberapa di antaranya keturunan orang Portugis itu ada yang hilang dan meninggal dunia. Saat ini jumlah yang tercatat tak lebih dari 40 persen warga keturunan Portugis yang tersisa dan masih bertahan di Desa Lamno.

Di satu sisi, orang asing yang datang pasca tsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa tersebut di Aceh Jaya. Terlebih lagi setelah mengetahui Aceh Jaya merupakan daerah terparah yang terkena imbas tsunami.

Meskipun begitu, dikarenakan menyebarnya para perempuan dari Lamno pun mendapat julukan Dara Portugis. Selain itu juga banyak pemuda dari Aceh maupun luar Aceh yang mencari jodoh ke Aceh agar bisa mempersunting para Dara Portugis ini.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Mengintip Budaya dari Garut, Simbol Perlawanan Pada Penjajah

Koropak.co.id, 18 March 2023 15:11:45

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Barat - Kabupaten Garut, Jawa Barat terkenal sebagai daerah dengan lokasi strategis di pesisir Samudera Hindia yang memiliki banyak sekali daya tarik wisata. 

Tak hanya kekayaan alamnya yang melimpah, Kabupaten Garut juga menyimpan kekayaan budaya yang tak kalah banyak dan menariknya untuk di bahas. Salah satunya adalah kesenian Surak Ibra.

Diketahui, Surak Ibra merupakan seni pertunjukan rakyat khas Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menariknya lagi, seni pertunjukan rakyat seperti ini tidak ada di daerah lain di Indonesia. 

Berdasarkan sejarahnya, kesenian yang dikenal juga dengan nama Boboyongan Eson ini sudah ada sejak 1910-an di Kampung Sindang Sari. Konon, kesenian khas Wanaraja ini diciptakan oleh putra Raden Wangsa Muhammad, Raden Djajadiwangsa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Papak.

Dalam perjalanan sejarahnya, Surak Ibra terlahir sebagai bentuk perlawanan masyarakat kepada pemerintah kolonial Belanda atas kesewenang-wenangan yang mereka lakukan saat itu. Surak Ibra juga lahir sebagai ekspresi bentuk kegotong-royongan dan keinginan masyarakat untuk mandiri. 

Hal itulah yang menyebabkan Surak Ibra ini dimainkan oleh sedikitnya 40 orang sampai dengan 100 orang pemain. Adapun alat musik yang biasa dipakai dalam kesenian Surak Ibra diantaranya, obor dari bambu, seperangkat dogdog, angklung, seperangkat gendang pencak, keprak dan kentongan bambu.

Sementara itu, dalam tuturan riwayat tentang Surak Ibra, mencatatkan sekitar 1910-an, ada seorang tokoh masyarakat bernama Eson yang mengembangkan Boboyongan dengan sebutan dari masyarakat sebagai Surak Eson. 



Baca: Jejak Teh Kejek, Teh Legendaris dari Garut


Namun setelah ia meninggal, Surak Eson pun sudah tidak populer lagi, dan kembali ke Boboyongan dengan sebutan masyarakat sebagai Surak Ibra. Di masa lalu, Surak Ibra dipertunjukan dalam pesta-pesta di Garut atau yang biasa dikenal sebagai "pesta Raja". Diceritakan saat itu, para dalem atau Bupati Garut mengadakan hajatan. 

Dalam perkembangannya, Surak Ibra pun sering ditampilkan dalam upacara hari-hari besar, khususnya Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Dalam pelaksanaannya, khusus di Desa Cinunuk, Garut, banyak masyarakat berziarah ke makam Cinunuk untuk meningkatkan rasa solidaritas dan menggalang persatuan antar warga. 

Sejak 30 Mei 1910-an, terbentuklah sebuah organisasi masyarakat bernama Himpunan Dalem Emas (HDE) di Kasepuhan Cinunuk yang turut serta ngamumule, dan melestarikan Surak Ibra. Namun sayangnya pada 1948-an HDE bubar, dengan pertimbangan bahwa Surak Ibra milik negara.

Sehingga, sejak 1948-an, pengelolaan Surak Ibra pun dilanjutkan oleh aparat desa sampai dengan sekarang. Seiring berjalannya waktu, Surak Ibra telah menjadi seni pertunjukan khas Garut dan sering ditampilkan dalam upacara hari-hari besar, khususnya hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau Hari Jadi Garut.

Dalam pementasannya, biasanya para pemain Surak Ibra akan memboyong atau mengangkat dan melempar-lempar, lalu ditangkap kembali seorang tokoh yang dijadikan sebagai simbol pemimpin yang mempersatukan masyarakat atau dalam hal ini tokoh tersebut adalah bupati. 

Selain itu, pemain yang berjumlah 40 s.d 100 orang itu juga akan memperagakan pencak silat dengan diiringi kendang pencaknya. Sayangnya, seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, membuat kesenian khas Garut ini semakin tidak dikenal oleh masyarakat luas.

Meskipun begitu, kesenian Surak Ibra kerap dipertunjukkan khususnya di setiap perayaan Hari Jadi Kabupaten Garut sebagai upaya melestarikan warisan budaya khas Wanaraja, Garut itu.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Meriahnya Acara Arisan dalam Tradisi Sandur Khas Bangkalan

Koropak.co.id, 17 March 2023 12:10:08

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Timur - Apa yang pertama kali muncul dibenak kalian ketika mendengar kata arisan? Apakah yang muncul itu tentang perkumpulan ibu-ibu yang mengundi kumpulan uang dengan diselingi obrolan gosip dan gelak tawa?

Uniknya, arisan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, justru tak sesederhana itu. Disana, ratusan pria melaksanakan arisan dengan pertunjukan meriah dalam tradisi sandur. Diketahui, tradisi sandur sendiri merupakan pentas seni rakyat yang diiringi dengan tarian dan lagu-lagu bahasa Madura. 

Biasanya masyarakat Madura melaksanakan tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur selepas panen. Tak hanya di Bangkalan, tradisi ini juga berkembang daerah lain di Jawa Timur, seperti di Surabaya, Jombang, Tuban, Pamekasan, Probolinggo, dan Jember.

Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kata sandur yang ada pada tradisi itu, berasal dari kata san atau isan yang berarti selesai panen, dan kata dhur atau ngedhur yang berarti sampai habis. 

Namun ada juga yang mengatakan bahwa sandur berasal dari bahasa Belanda, dari kata soon yang berarti anak-anak dan door yang berarti meneruskan.

Sementara itu, dilansir dari laman VICE Indonesia, sandur merupakan arisan sakral bagi komunitas Madura asal Bangkalan yang sudah ada sejak sebelum 1940-an. Apabila seseorang ingin mengikuti sandur, maka ia harus tergabung terlebih dahulu dengan komunitas Bangkalan. 

Untuk anggota dari komunitas ini, terdiri dari ratusan pria yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat kelas biasa, pengusaha, politikus, hingga wali kota. Dulu, peserta sandur identik seram dikarenakan terdiri dari para jawara. 

Akan tetapi kini, keseraman itu lebih tercermin pada busana yang dikenakan para peserta. Senjata tajam, seperti golok, parang, dan celurit pun menjadi aksen di balik pakaian para peserta.

Berbeda dengan arisan ibu-ibu yang diakhiri gelak tawa, biasanya sandur akan berakhir ricuh dikarenakan persoalan utang piutang. Bahkan pada tahun 2000-an, terjadi perkelahian mematikan dalam tradisi sandur. 



Baca: Tanean Lanjhang, Perlambang Ikatan Kekeluargaan yang Kuat Masyarakat Madura


Meskipun begitu, sandur ini tetap dilakukan komunitas Bangkalan demi mempererat solidaritas dan mempertahankan kesenian. Dalam pelaksanaannya, sandur ini akan dimulai semalam suntuk dengan garis besar pelaksanaannya yang tak jauh berbeda dengan arisan biasa. 

Dua orang lenggek, atau penari pria akan berdandan layaknya seperti wanita dengan riasan dan sanggul, serta menari anggun sembari menyanyikan tembang tradisional Madura. Penari pria itu juga akan menyambut peserta untuk maju menyerahkan sejumlah uang ke wadah yang telah disiapkan. 

Uang yang dimasukkan pun akan dicatat oleh petugas dalam buku kas. Lenggek juga akan ditemani oleh satu orang pria berpakaian khas jawara Madura, dengan jaket kulit ditambah sarung dan peci hitam. Mereka pun dengan percaya dirinya akan menari di antara ratusan pria yang duduk bersila di bawah tenda.

Sembari menunggu giliran maju, para peserta lain akan menikmati lagu-lagu Madura sambil memainkan kartu. Dalam tradisi ini, tuan rumah acara yang biasa disebut sebagai Kak Tuan juga akan mendapatkan jatah uang arisan malam itu. Di sisi lain, pengaruh dan kharisma dari Kak Tuan juga akan menentukan jumlah peserta yang datang.

Sandur pun akan dibagi tiga babak utama, yakni dhing-endingan, ndhung-endhung, dan andongan. Di babak pertama atau Dhing-endhingan, akan memutar gendang-gending Madura tanpa syair, sambil menunggu datangnya seluruh peserta selesai salat Isya. 

Memasuki babak kedua, Ndhung-endhung menari dan menyanyi akan dilakukan untuk menyambut para tamu menjelang tengah malam. Tahapan terakhir, akan dilaksanakan andongan yang menjadi babak bagi para peserta untuk bergiliran maju menyerahkan uang sambil menari bersama lenggek.

Komunitas ini biasa melaksanakan kegiatannya selama empat kali seminggu. Pelaksanaan yang sangat meriah pun tak jarang sampai menutup jalan kampung. Menariknya lagi perkumpulan masyarakat asli Bangkalan di perantauan juga tetap melaksanakan tradisi ini.

Sementara itu, hal yang membanggakannya lagi, tradisi sandur ini juga telah diresmikan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari Jawa Timur pada 2018. Dengan ditetapkannya Sandur sebagai WBTb Indonesia, diharapkan tradisi itu akan terus ada secara turun temurun sebagai kebudayaan asli Jawa Timur.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Belis Jadi Simbol Penting dalam Pernikahan Adat Masyarakat NTT

Koropak.co.id, 15 March 2023 12:18:33

Eris Kuswara


Koropak.co.id, NTT - Setiap daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, tentunya memiliki corak kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya, termasuk juga dalam hal budaya perkawinannya. 

Setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki cara yang unik dalam melaksanakan prosesi perkawinan. Contohnya seperti di Provinsi Nusa tenggara Timur (NTT), dalam adat pernikahannya ada sebuah tradisi yang biasa dilaksanakan dan dikenal dengan nama belis.

Diketahui, dalam rangkaian prosesi pernikahan, belis sendiri memegang peranan penting dalam keberlangsungan prosesi pernikahan di NTT. Selain itu, belis juga merupakan simbol penting dalam perkawinan laki-laki dan perempuan di NTT. Bahkan jika tidak terpenuhi, maka belis itu juga bisa menjadi penyebab batalnya sebuah pernikahan.   

Dikarenakan menjadi simbol terikatnya dua insan dalam pernikahan, belis pun bisa berupa barang apa pun. Akan tetapi, di beberapa daerah di NTT, ada ketentuan khusus terkait bentuk belis yang digunakan dalam prosesi pernikahan. 

Selain itu, di berbagai daerah di NTT, belis tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk barang yang beragam. Kadang kala ada beberapa daerah yang membebaskan ketentuannya. Namun pada umumnya, belis itu bisa berupa emas, perak, atau uang. Namun terkadang juga bisa dalam bentuk binatang, seperti memakai kerbau, kuda, atau babi. 

Selain barang dan binatang, ternyata ada juga yang memakai belis berupa makanan. Di daerah Alor dan Flores Timur, memiliki ketentuan khusus dalam mengartikan belis. Untuk belis yang digunakan di Alor adalah moko, barang dalam bentuk semacam nekara, dandang, atau berumbung berukuran kecil. 



Baca: Hongi, Tradisi Cium Hidung di NTT


Sebaliknya, di Flores Timur, masyarakat biasanya menggunakan barang khusus sebagai belis, yaitu gading gajah. Sementara itu, untuk ketentuan besar kecilnya nilai belis, dipengaruhi oleh kedudukan atau status sosialnya seorang perempuan yang akan dinikahi. 

Semakin tinggi status sang perempuan yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula nilai belis yang harus diberikan. Akan tetapi jika sang perempuan memiliki status rendah, maka nilai belis yang diberikan juga rendah. 

Contohnya di Alor, nilai moko bagi seorang perempuan biasanya seukuran lima anak panah dan paling tinggi seukuran tujuh anak panah. Untuk moko seukuran lima anak panah itu setara dengan 1 ton padi, 5 ekor kambing, selembar kain, sebuah gong, dan moko berukuran 1 anak panah. 

Jika menilik dari perjalanan sejarahnya, di mata orang-orang tua NTT, belis merupakan simbol yang sangat penting dan menjadi syarat sahnya atas hak seorang pria terhadap wanitanya. 

Namun seiring berjalannya waktu atau tepatnya di era modern seperti saat ini, terkadang orang tua sudah tidak lagi mengatur ketentuan yang ketat tentang nilai belis. Sebab, tradisi ini terkadang bisa menjadi hal yang memberatkan para peminang yang tidak memiliki ekonomi yang cukup untuk membayar belis.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Mengenal Budaya Cium Tangan di Indonesia, Negara Asia Lainnya juga Ada

Koropak.co.id, 13 March 2023 12:06:45

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jakarta - Setiap negara tentunya memiliki kebiasaan tersendiri ketika bertemu seseorang atau memberi penghormatan kepada orang yang lebih tua. Di Indonesia, orang yang lebih muda biasanya akan mencium tangan ketika bertemu orang tua atau orang yang dihormati.

Menariknya budaya itu tergambar dalam sebuah video yang memperlihatkan member NCT Dream, boy group K-pop populer asal Korea Selatan yang mencium tangan ayah Influencer Indonesia, Fadil Jaidi bernama Pak Muh yang belakangan ini beredar di media sosial hingga menjadi perbincangan publik.

Mungkin bagi sebagian orang, kejadian tersebut terbilang sedikit asing. Bahkan sebagian besar menganggapnya lucu, ketika melihat orang berkebangsaan Korea mencium tangan orang yang lebih tua di Indonesia.

Karena seperti yang pada umumnya diketahui, bahwa biasanya Korea Selatan memiliki tradisi yang cukup dengan hanya membungkukkan badan saja sebagai bentuk salam dan penghormatan kepada orang yang berusia lebih tua atau sosok yang dihormati.

Lantas, apakah budaya mencium tangan ini juga memang sudah menjadi hal lumrah di Korea? Atau sebenarnya ada juga negara yang memiliki kebiasaan sama dengan Indonesia ketika bertemu orang yang lebih tua atau dihormati?

Diketahui, budaya cium tangan merupakan sebuah etiket yang sudah melekat di masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu, apabila bertemu dengan orang yang dihormati, maka seorang anak biasanya akan dididik untuk mencium tangannya. Adapun istilah yang lebih umum yang dikenal dari budaya cium tangan ini adalah salim.

Budaya seperti ini tentunya sangat umum terlihat dari berbagai konteks, entah itu dalam suasana yang santai maupun serius atau formal. Contohnya ketika sedang ada acara kumpul keluarga di rumah, ketika bertemu dengan paman, bibi, kakek, nenek, atau dengan sepupu yang lebih tua, maka budaya salim ini kerap sekali dilakukan.

Sementara itu, dalam kondisi lain contohnya bisa dilihat dalam ranah pendidikan, yakni ketika murid bertemu dengan guru di lingkungan sekolah. Selain itu, cium tangan juga kerap dilakukan terhadap para ulama, ustaz, kyai, atau pemuka agama lainnya.



Baca: Festival Perang Air; Wujud Cinta Kasih Etnis Tionghoa di Selatpanjang


Di sisi lain, ternyata budaya cium tangan ini sebenarnya tidak hanya bisa ditemui di Indonesia saja. Pasalnya di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam, mencium tangan menjadi sebuah ekspresi yang umum dilakukan apabila bertemu dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.

Samuel Charlies Mowoka dalam penelitiannya berjudul "Etiket Kultural Religius: Tradisi Cium Tangan di Kalangan Umat Muslim dan Protestan di Kota Blitar" menyebutkan bahwa budaya cium tangan ini tidak terlepas dari akulturasi budaya lokal dengan agama Islam.

Dalam konteks agama Islam, banyak ulama yang menganggap bahwa mencium tangan itu adalah hal yang sunnah, khususnya kepada orang yang disegani seperti ulama. Sementara dalam Kristen, misalnya di Italia, budaya mencium tangan juga dilakukan kepada paus atau petinggi gereja seperti pendeta. 

Tak hanya itu saja, di beberapa daerah di Eropa juga berlaku demikian, meskipun dewasa ini kebiasaan tersebut terbilang sudah cukup banyak yang meninggalnya. Sedangkan di negara Asia Timur, kebiasaan yang umum dilakukan ketika bertemu dengan orang yang dihormati atau lebih tua adalah dengan membungkuk. 

Dilansir dari Knowing Korea, saat membungkuk, maka sebisa mungkin untuk menghindari kontak mata dan mengucapkan sesuatu, misalnya ucapan salam. Apabila membungkuk dengan orang yang mempunyai kedudukan tinggi atau dihormati, maka ada baiknya dilakukan sampai dengan 90 derajat atau keun-jeol. 

Metode keun-jeol ini juga bisa bervariasi, seperti dari segi gender maupun konteks. Terlepas dari hal itu, dari member NCT Dream yang mencium tangan ayah Fadil Jaidi tersebut, kemunginan hal tersebut merupakan sebuah adaptasi atau penerapan budaya lokal Indonesia yang mereka pelajari dan terapkan. 

Namun sisi positifnya di tengah gempuran gelombang K-pop yang ada, idol yang banyak digandrungi kalangan remaja perempuan di Indonesia ini setidaknya mencoba untuk menerapkan paham "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Festival Perang Air; Wujud Cinta Kasih Etnis Tionghoa di Selatpanjang

Koropak.co.id, 11 March 2023 12:08:00

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Riau - Masyarakat Tionghoa di Kepulauan Meranti, Riau diketahui menjadi etnis dengan jumlah populasi terbanyak setelah etnis Melayu Riau. 

Banyaknya jumlah populasi dari etnis tersebut bermula dari gelombang masuknya para perantau dari Provinsi Fujian di tanah Tiongkok ke Selatpanjang pada pertengahan abad ke 19.

Dilansir dari laman indonesia.go.id, alasan mereka masuk ke Selatpanjang adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik dibandingkan di negara asalnya selepas Perang Candu.

Sejarawan dari Universitas Negeri Riau, Ridwan Melay menjelaskan bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Selatpanjang ini ditandai dengan kehadiran Kelenteng Hoo Ann Kiong, rumah peribadatan etnis Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu.

"Keberadaan perantau dari Suku Hokkien di Tiongkok ke Selatpanjang itu disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat Melayu dan Jawa," jelas Ridwan sebagaimana dilansir dari laman GNFI.

Di sisi lain, masyarakat Tionghoa daratan sendiri memang dikenal pekerja keras dan pandai bergaul. Dikarenakan kesamaan itulah, maka tidak butuh waktu yang lama untuk orang-orang Tionghoa bisa bergaul dengan masyarakat di Selatpanjang.

Sebagai bentuk terima kasih etnis Tionghoa terhadap saudara-saudara mereka yang berasal dari etnis lain, maka setiap Hari Raya Imlek digelar, mereka menggelar sebuah tradisi unik yang dikenal dengan nama Cian Ciu atau Perang Air dan melibatkan seluruh penduduk di Selatpanjang.



Baca: Blangikhan, Tradisi Masyarakat Lampung Sambut Bulan Ramadan


"Nama tradisinya dalam bahasa Hokkien adalah Cian Ciu atau perang air. Kegiatan ini biasanya selalu ditunggu oleh masyarakat dari segala lapisan usia, karena dilakukan dengan penuh suka cita," ucapnya.

Selain itu, biasanya Festival Perang Air ini dilakukan sehari menjelang hari pertama perayaan Imlek hingga enam hari setelahnya. Hal yang menarik dari tradisi perang air ini, tidak dikenal di kawasan lain di Indonesia meski dihuni mayoritas Tionghoa.

Masyarakat etnis Tionghoa sendiri menganggap air sebagai sumber rezeki dan lewat saling menyiramkan, maka mereka telah berbagi rezeki kepada semua orang. Tradisi ini juga dianggap akan mempererat tali persaudaraan dan cinta kasih.

"Dalam tradisi ini, mereka akan saling bersukacita dengan berperang air tanpa memandang status sosial, etnis, agama, dan lainnya. Kendati begitu, ada banyak versi mengenai kapan tradisi ini dimulai dan siapa pencetusnya," paparnya.

Oleh karena itulah, banyak wisatawan datang dari Singapura, Malaysia, Hong Kong, Tiongkok, Taiwan, dan Australia karena ingin merasakan keseruan perang unik masyarakat Selatpanjang yang dimulai setelah kegiatan peribadatan di kelenteng dalam rangka Hari Raya Imlek.

Tercatat sejak 2016, Festival Perang Air ini juga telah menjadi agenda tetap atraksi seni dan budaya otoritas setempat. Bahkan pada 2018, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), mendaulat Cian Cui sebagai Festival Pariwisata Terpopuler di Indonesia.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini:


Blangikhan, Tradisi Masyarakat Lampung Sambut Bulan Ramadan

Koropak.co.id, 10 March 2023 07:06:04

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Lampung - Masyarakat Adat Lampung memiliki tradisi unik menjelang bulan suci Ramadan. Namanya tradisi Belangiran. Tradisi yang disebut juga blangikhan oleh masyarakat Adat Lampung ini merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Lampung sejak zaman nenek moyang.

Menariknya lagi, sejak 2011, ritual yang sudah dilaksanakan sejak zaman dahulu ini sudah masuk dalam agenda tahunan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. 

Bukan tanpa alasan, hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Lampung. 

Pekan ini, atau tepatnya pada Kamis 9 Maret 2023, masyarakat Lampung pun bisa menghadiri ritual Blangikhan yang digelar Pemprov Lampung di Bumi Kedaton Resort Bandar Lampung. Pasalnya ritual suci ini terbuka untuk umum.

Berbicara mengenai sejarahnya, Blangikhan berasal dari kata langir yang berarti mandi. Namun mandi yang dimaksud dalam tradisi ini tentunya bukanlah mandi-mandi biasa yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat.

Akan tetapi, ada perlengkapan yang digunakan saat belangiran diadakan. Berbagai perlengkapan yang harus digunakan saat ritual suci itu diantaranya, air langir, bunga atau kembang tujuh rupa, daun pandan dan setanggi.



Baca: Tak Seseram Namanya, Tari Kiamat dari Lampung Punya Makna Baik


Diketahui, air langir sendiri merupakan air yang diambil dari tujuh sungai atau mata air yang  berbeda. Kemudian setelah itu dicampur dengan menggunakan bunga atau kembang tujuh rupa, daun pandan dan sedikit setanggi.

Air itu pun selanjutnya dikumpulkan dalam satu lokasi dan diletakkan di dalam konde atau kendi pada siang hari oleh para mekhanai. Biasanya, air tersebut diambil dua hari sebelum prosesi belangiran dilaksanakan.

Lalu, air yang sudah diambil itu akan dipisahkan satu sama lain dan juga disesuaikan dengan beberapa kepala keluarga yang akan mengikuti prosesi Blangikhan. Masing-masing satu keluarga biasanya akan mendapat satu gayung air langir.

Ritual Blangikhan tentunya bukan hanya sekedar tradisi semata, pasalnya terkandung makna didalamnya yakni sebagai simbol untuk mensucikan hati, serta sebagai bekal untuk memasuki bulan puasa. 

Sehingga masyarakat pun nantinya akan dapat menjalankan ibadah dengan lancar dan khusyuk tiada aral dan rintangan. 

Ritual dan tradisi seperti ini tidak dimaknai macam-macam, karena hanya merupakan bentuk ucapan syukur menyambut kedatangan bulan Ramadan, sekaligus juga dalam rangka melestarikan budaya khas Lampung agar tidak punah termakan zaman.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

https://www.youtube.com/c/KoropakCulture

Penulis: E. Kuswara

Kenduri Durian, Pestanya Penikmat Si Raja Buah di Jombang

Koropak.co.id, 09 March 2023 07:07:30

Eris Kuswara


Koropak.co.id, Jawa Timur - Kenduri Durian menjadi momen yang dinantikan para penggemar buah durian di Jombang. Pasalnya dalam kegiatan tersebut, mereka dapat menikmati durian gratis sepuasnya.

Diketahui, Kenduri Durian baru saja selesai dilaksanakan di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Ahad 5 Maret 2023 lalu. 

Dalam acara itu, masyarakat ramai berkumpul di lapangan dan area sekitarnya untuk merayakan Kenduri Durian. Di sisi lain, Kenduri Durian di Wonosalam juga dilaksanakan layaknya pesta rakyat. 

Selain itu, ada sejumlah gunungan yang berisi hasil bumi setempat yang terdiri dari sayur-sayuran, hingga yang terpenting dan tak boleh terlupakan adalah buah durian. Dalam pelaksanaannya, gunungan-gunungan tersebut diarak ke lapangan.

Kemudian setelah itu, masyarakat pun bisa mengambil isinya. Tentu saja para pecinta durian pun tak ingin melewatkan kesempatan ini. Sehingga banyak yang diantaranya menggambil durian gratis untuk dinikmati bersama-sama.

Bagi masyarakat setempat, Kenduri Durian ini tidak hanya sekedar pesta rakyat saja, melainkan juga sebagai wujud ekspresi atau ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Terutama rezeki berupa melimpahnya produksi durian di Wonosalam.

Biasanya dalam tradisi Kenduri Durian tersebut, akan ada sembilan gunungan durian yang diarak, di mana satu gunungan utamanya dibuat dengan satu gunungan paling besar dengan jumlah totalnya ada lebih dari 2 ribu buah durian dibagikan secara gratis.



Baca: Upacara Mekotek, Tradisi Penolak Bala Warisan Nenek Moyang Desa Munggu


Wonosalam sendiri memang dikenal sebagai daerah penghasil durian di Jombang. Pasalnya disana, jumlah total pohon durian yang ditanam mencapai lebih dari 147 ribu. Di mana lebih dari 81 ribu di antaranya sudah berbuah. 

Meriahnya Kenduri Durian di Wonosalam juga jelas menggambarkan bahwa durian merupakan buah yang sangat digemari masyarakat. Sementara itu, berbicara soal konsumsi buah masyarakat Indonesia, ternyata angkanya tak begitu tinggi. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 sebagaimana dilansir dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi buah masyarakat Indonesia itu sebesar 81,14 gram per kapita per hari.

Perlu diketahui juga bahwa angka tersebut berada di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), dan konsumsi buah masyarakat Indonesia itu hanya sebesar 54,09 persen dari batas minimal yang ditetapkan.

Menariknya lagi, apabila data tersebut dirinci kembali, maka akan semakin tampak jika durian merupakan salah satu buah favorit orang Indonesia. Namun durian ini tidak termasuk ke dalam urutan empat daftar buah yang paling banyak dikonsumsi, padahal banyak orang yang menggemarinya.

Lain halnya dengan urusan produksi. Ternyata Indonesia merupakan penghasil durian yang produktif. Tercatat, durian berada di urutan kelima untuk buah yang paling banyak diproduksi Indonesia dengan angka 1,35 juta ton atau 5,2 persen.


Silakan tonton berbagai video menarik di sini: