Koropak.co.id – KARTONO. Begitulah judul yang dibuat dalam sebuah tulisan pendek yang diunggah di salah media sosial. Saya lupa lagi nama akunnya. Tapi judulnya memang sependek itu. Semua ditulis dalam huruf kapital. Semula saya biasa saja saat melihat tulisan tersebut. Kurang tertarik untuk membacanya lebih lanjut, dan sempat mau menutupnya.
Tapi, saat membaca baris kelima yang menyebutkan bahwa beliau adalah kakak kandung Raden Ajeng Kartini, saya mulai tersenyum sendiri. Dikira bercanda, karena namanya cuma beda satu huruf. Ternyata oh ternyata, itu serius.
Setelah membaca tuntas tulisan pendek itu, seketika saya merasa bersalah, kenapa baru tahu sekarang. Ada beberapa informasi tentangnya, dan itu sangat luar biasa. Dua di antaranya adalah menguasai puluhan bahasa asing dan menjadi wartawan kala perang dunia pertama berkecamuk.
Lantaran tulisan itu terbilang pendek, saya langsung berselancar di media daring untuk mencari tahu lebih dalam. Dan ternyata benar, Kartono bukanlah sembarang orang. Nama lengkapnya adalah Raden Mas Panji Sosrokartono.
Ada banyak informasi tentang beliau yang layak diketahui banyak orang. Untuk itu, kami akan mengolahnya dalam video berseri, mulai silsilah keluarga sampai sepak terjangnya untuk kedaulatan bumi pertiwi.
Lahir pada 10 April 1877 di Mayong Jepara, Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan anak ketiga dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara periode 1880 s.d. 1905. Dari pernikahan dengan istri keduanya, Ngasirah, bupati Sosroningrat punya delapan anak, dua di antaranya adalah Kartono dan Kartini.
Dalam tesis Minanur Rohman Mahrus Maulana yang ditulis pada 2017 dijelaskan, selain berasal dari keluarga bangsawan, Sosrokartono juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pada usia delapan tahun, ia masuk sekolah rendah Belanda bernama ELS di Jepara.
Sebenarnya, sekolah tersebut khusus untuk anak-anak keturunan Belanda dan ada kuota terbatas untuk anak-anak bangsawan. Sosrokartono adalah salah satunya.
Tujuh tahun menimba ilmu di ELS, ia lulus dengan nilai bahasa Belanda yang baik, sehingga bisa melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Waktu itu HBS hanya ada di tiga tempat, yaitu di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Sosrokartono beruntung bisa sekolah di sana.
Apalagi, selama sekolah di HBS Semarang, ia tinggal di keluarga Belanda, sehingga bisa belajar banyak hal, mulai menambah kekayaan khazanah bahasa hingga memahami cara hidup orang Belanda.
Setelah lima tahun sekolah di HBS Semarang, pada 1897 Sosrokartono lulus dengan nilai yang memuaskan. Karangannya dalam bahasa Jerman mendapat apresiasi bagus, bahkan melebihi siswa lain yang merupakan anak-anak Belanda.
Kecerdasan Sosrokartono membuat decak kagum banyak orang. Ia lantas disarankan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Semula pihak keluarga keberatan, namun akhirnya ia diizinkan berangkat ke sana saat usianya masih 20 tahunan.
Salah satu orang yang mendorongnya kuliah di Belanda adalah Ir. Heyning, seorang insinyur berkebangsaan Belanda. Ia pun menyarankan Sosrokartono untuk masuk Sekolah Tinggi Teknik di Delft Jurusan Pengairan.
Baca: Girang Saini K.M. Saat Puisi Pertama Dimuat dalam Majalah
Saran itu bukan tanpa alasan. Setelah kelak menuntaskan kuliahnya, Sosrokartono diharapkan bisa membantu meningkatkan produksi pertanian di Jepara, termasuk mengatasi ancaman krisis air yang diperkirakan akan terjadi di wilayah tersebut.
Sosrokartono menuruti saran itu. Ia kuliah di bidang teknik sipil pengairan. Namun, keberadaannya di sana tak bertahan lama. Setelah dijalani, ia merasa kurang cocok dengan jurusan tersebut. Minat belajarnya lebih tertumpu pada sastra.
Setelah dua tahun menimba ilmu di Polytechnische School te Delft, ia memutuskan keluar dan memilih pindah ke Universitas Leiden, masuk Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Pilihannya pada sastra itu sesuai dengan minatnya. Sejak sekolah di HBS Semarang, Sosrokartono memang unggul dalam bidang bahasa dan sastra.
Setelah lulus dari Universitas Leiden pada 1908, Sosrokartono meraih gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Timur. Kendati sudah menyelesaikan agenda akademiknya, ia tidak langsung pulang ke Tanah Air. Ia masih ingin menimba pengalaman yang lebih banyak di bumi Eropa.
Salah satu aktivitasnya selama di sana adalah menjadi wartawan The New York Herald. Kemampuannya dalam berbahasa asing menjadi pintu masuk baginya bekerja di surat kabar yang bermarkas di Amerika Serikat itu.
Sosrokartono diketahui mengusai lebih dari 30 bahasa, dan sebagian orang Eropa memberinya julukan Si Jenius dari Timur. Untuk diterima di The New York Herald, ia harus melalui satu tes dengan memadatkan satu tulisan panjang menjadi berita pendek berjumlah kisaran 30 kata.
Berita itu harus ditulis dalam empat bahasa, yaitu Spanyol, Rusia, Perancis, dan Inggris. Sosrokartono berhasil menuntaskan tugas itu, dan membuatnya menjadi 27 kata hingga diterima jadi wartawan. Agar mempunyai akses luas selama liputan di medan perang, ia lantas diberi pangkat mayor.
Salah satu prestasi terbaik Sosrokartono saat menjadi wartawan adalah menyebarluaskan hasil perundingan antara Jerman dan Perancis. Padahal, perundingan itu sifatnya sangat rahasia. Jangankan isi kesepakatan, tempatnya pun sangat tertutup dan tidak banyak orang tahu.
Dalam perundingan yang dilakukan di atas gerbong kereta api itu diketahui bahwa Jerman menyerah kepada Perancis. Tidak dijelaskan dari mana dan bagaimana mendapatkan informasi tersebut, Sosrokartono menyiarkan hasil perundingan tersebut dalam The New York Herald.
Lantaran berita itu, nama Sosrokartono semakin melejit dan mendapat apresiasi tinggi dari kalangan jurnalis internasional.
Baca juga: Ajip Rosidi, Sastrawan Sunda yang Serba Bisa