Koropak.co.id – Lama mengembara di Eropa dan bekerja di tempat-tempat bergengsi, Raden Mas Panji Sosrokartono pulang ke Tanah Air dan memilih jalan hidup yang berbeda. Putra Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, kelahiran 10 April 1877, itu meniti dunia yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya.
Selama di Eropa, kakak kandung Raden Ajeng Kartini itu berkarier di banyak tempat, mulai jadi wartawan The New York Herald, atase di kedutaan besar Perancis, hingga jadi penerjemah bahasa di Persatuan Bangsa-Bangsa.
Pada 1925, Sosrokartono pulang ke Tanah Air dan pada 1927 memilih tinggal di Bandung. Salah satu aktivitas yang dilakukannya di Kota Kembang adalah membuka Balai Darussalam. Di tempat itu, Sosrokartono menapaki jalan spiritual dan membuka praktik pengobatan.
Ia mengabdikan diri untuk menolong orang-orang sakit. Uniknya, cara pengobatannya tidak seperti yang dilakukan para dokter. Ia hanya menggunakan air putih sebagai obat untuk segala macam penyakit. Lantaran itu ia dikenal dengan sebutan dokter cai atau dokter air. Bukan hanya warga Bandung, pasien-pasiennya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk orang-orang Eropa.
Sejak membuka Balai Darussalam, Kartono memang menekuni dunia kebatinan. Gerak dan pemikirannya tercurah pada jalan spiritual. Salah satu aktivitasnya adalah menyulam huruf alif dalam selembar kain yang dianyam dengan benang.
Huruf alim itu dibuatnya tidak asal-asalan. Ia menyulamnya sambil tirakat, serta kainnya tidak boleh disampirkan begitu saja seperti menjemur pakaian. Dengan memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala, sulaman alif dan air putih itu digunakan untuk mengobati orang-orang.
Pemilihan huruf alif itu bukan tanpa alasan. Bagi Sosrokartono, huruf pertama dalam abjad bahasa Arab itu merupakan lambang tegak lurus yang mencerminkan kejujuran, keteguhan, kekukuhan, dan keyakinan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Lantaran itulah ia dijuluki Sang Alif.
Baca: Petualangan Kho Ping Hoo, Tukang Obat Jadi Penulis Cerita Silat
Seadainya mau, Kartono bisa saja memilih jalan hidup yang dipenuhi kemewahan. Sebagai putra bangsawan dan punya kecerdasan di atas rata-rata, ia bisa mendapatkan kekayaan berlimpah dengan cara mudah. Tapi itu tidak dilakukannya.
Salah satu yang menjadi spirit gerakannya adalah ilmu kantong bolong. Ia mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu sesama tanpa memikirkan imbalan. Itu menjadi jalan pengabdiannya sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
Dalam tesis yang ditulis Minanur Rohman Mahrus Maulana pada 2017, dijelaskan, ajaran ilmu kantong bolong tidak membuka ruang mementingkan diri sendiri secara berlebihan. Setiap manusia dituntut selalu menolong sesama tanpa pamrih.
Inti dari ilmu kantong bolong adalah mengosongkan diri pribadi dari pamrih dalam menolong sesama manusia. Sosrokartono tidak hanya sadar bahwa Tuhanlah yang harus disembah, tapi juga meyakini bahwa seluruh jiwa raga dipersembahkan kepada Tuhan.
Mereka yang melakukan perbuatan tanpa pamrih akan dijauhkan dari rasa takut. Batinnya akan selalu merdeka. Jalan itulah yang dipilih Sosrokartono. Ia melakukan semuanya kosong dari pamrih, tidak mengharap suatu apapun, hanya menjalankan pengabdian kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Tak heran, di akhir hidupnya ia tidak meninggalkan banyak harta. Salah satu “peninggalannya” cuma selembar kain bersulam huruf alif. Sosrokartono menghembuskan napas terakhirnya pada Jumat, 8 Februari 1952, di Bandung dan dikebumikan di Jawa Tengah, tepatnya di kompleks makam keluarga Sedomukti, Kudus.
Baca juga: Kala Ismail Marzuki Jadikan Musik Sebagai Alat Perjuangan