Koropak.co.id – Perempuan yang satu ini memang tidak setenar Raden Ajeng Kartini yang disebut-sebut sebagai tokoh emansipasi wanita. Namun, kiprahnya dalam membebaskan kaum hawa dari belenggu kebodohan tak usah diragukan. Dunia sudah mengakuinya. Hingga sekarang mercusuar perjuangannya masih bersinar dan terus menebar cahaya ilmu.
Dia adalah Rahmah El Yunusiyah. Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, 29 Desember 1900, itu merupakan pendiri Diniyah Putri, pesantren khusus perempuan pertama di Indonesia.
Sekolah tersebut dirintis Rahmah kala umurnya masih 23 tahun, tepatnya pada 1 November 1923, dan sampai saat ini masih beroperasi. Di kala negeri ini belum merdeka, saat penjajahan mencengkram sadis bumi pertiwi, Rahmah El Yunusiyah bergerak nyata dalam membebaskan kaum perempuan dari keterbelakangan.
Di usianya yang masih muda, putri pasangan Muhammad Yunus dan Rafiāah itu tumbuh menjadi perempuan muda yang berbahaya. Dikatakan berbahaya lantaran gerak-geriknya mengancam pemerintah kolonial, sehingga dijuluki ibu pasukan ekstrimis. Bukan saja di era kolonial Belanda, saat Jepang berkuasa pun sama. Prinsip dan perjuangan Rahmah El Yunusiyah tidak goyah.
Rahmah dengan tegas menolak tawaran bantuan dari kolonial Belanda, lantaran ogah didikte. Ia tidak mau sekolah yang didirikannya berada di bawah pengawasan Belanda dan organisasi manapun, karena ingin bebas dari kepentingan politik apapun.
Satu-satunya yang menjadi pijak gerakannya cuma ajaran Islam. Apapun yang dilakukan, termasuk membela Tanah Air, harus berlandaskan iman sebagai wujud pengabdian kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Rahmah pun menolak peraturan Belanda tentang Ordonansi Sekolah Liar yang bertujuan membatasi pendidikan bagi pribumi. Ia menentang dan enggan mendaftarkan sekolahnya ke pemerintah kolonial.
Akibatnya, ia dibawa ke pengadilan dan didenda seratus gulden. Sekolah Diniyah Putri miliknya juga digeledah, dan tiga gurunya dilarang mengajar. Namun, perlakuan kolonial itu tidak lantas memadamkan api perjuangannya.
Spektrum pergerakan Rahmah malah lebih luas. Bukan hanya bergerak di bidang pendidikan, ia juga terlibat dalam gerakan-gerakan yang mengancam kolonial. Dua di antaranya menjadi pelopor Tentara Keamanan Rakyat di Sumatra Barat dan Sabil Muslimat.
Ia juga aktif dalam Anggota Daerah Ibu yang bergerak di bidang sosial. Di saat masyarakat mengalami kesulitan lantaran dampak perang Asia Timur Raya melawan Sekutu, Rahmah bersama Anggota Daerah Ibu bergerak mengumpulkan makanan dan pakaian. Mereka mengumpulkan beras dan segala hal yang bisa diberikan kepada masyarakat.
Dalam kongres perempuan Indonesia di Batavia pada 1935, Rahmah El Yunusiyah yang mewakili Serikat Kaum Ibu Sumatra, nyaring menyuarakan penggunaan jilbab bagi kaum muslimah. Sikapnya tidak berubah. Di manapun berada, dia selalu memperjuangkan prinsip-prinsip hidup yang berlandaskan ajaran agama.
Baca: Kisah Kartini yang Diyakini Sudah Mengenal Islam Sejak Kecil
Di masa penjajahan Jepang pun begitu. Ia berdiri paling depan dalam membela martabat kaum perempuan. Ia misalnya lantang menetang rumah prostitusi yang menjadikan perempuan-perempuan Indonesia sebagai pemuas berahi para tentara. Jepang akhirnya menutup semua rumah prostitusi di Sumatra Barat.
Lantaran sikapnya yang tidak kenal kompromi, saat terjadi Agresi Militer Belanda, Rahmah yang kala itu memimpin Tentara Keamanan Rakyat Padang Panjang ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949.
Bahkan, Rahmah pun berseberangan sikap dengan Pemerintah Indonesia. Ia menentang Presiden Soekarno yang merangkul orang-orang Partai Komunis Indonesia. Rahmah lantas bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi pada 1958.
Lantaran dianggap kelompok pemberontak, Pemerintah Republik Indonesia bergerak untuk menumpas PRRI. Kendati sempat masuk keluar hutan untuk menyelamatkan diri dari kejaran tentara Indonesia, Rahmah tertangkap pada Agustus 1961.
Padahal, sebelumnya pada Juni 1957, Rahmah diundang ke Universitas Al-Azhar Mesir dan diberi gelar Syekhah, setara dengan doktor honoris causa. Gelar kehormatan itu baru pertama kali diberikan Al-Azhar kepada seorang perempuan.
Kedatangan Rahmah ke Al-Azhar mencatat sejarah baru di salah satu kampus tertua di dunia itu. Setelah sekitar 900 tahun berdiri, Al-Azhar tidak membuka ruang pendidikan bagi perempuan.
Namun, sejak Imam Besar Al-Azhar, Abdurrahman Taj, pada 1956 berkunjung ke Padang Panjang dan melihat sekolah yang didirikan Rahmah, ia terinspirasi untuk melakukan hal yang sama di Al-Azhar. Lantas, sejak 1958, setelah ratusan tahun berdiri, Al-Azhar mulai membuka fakultas khusus perempuan.
Mercusuar perjuangan Rahmah bukan hanya menyinari Padang Panjang, tapi juga sampai ke negeri orang. Namun, derap perjuangan Rahmah El Yunusiyah terhenti setelah jantungnya tak lagi berdetak.
Ia meninggal dunia pada 26 Februari 1969 dalam salah satu momen yang dirindukan setiap muslim. Rahmah mengembuskan napas terakhirnya saat berwudu menjelang salat Magrib. Jenazahnya dikebumikan di kompleks sekolah yang ia dirikan.
Sejarah boleh saja mencatat namanya tidak seharum Kartini, namun sepak terjang Rahmah El Yunusiyah dalam membebaskan kaum hawa dari belenggu kebodohan terasa nyata hingga sekarang. Saat ini Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang telah berkembang pesat dengan memiliki lima program pendidikan, mulai Taman Kanak-Kanak hingga sekolah tinggi.
Baca juga: Umar Kayam, Kolumnis Pemeran Sosok Bung Karno dalam Film “Pengkhianatan G30S/PKI”