Koropak.co.id – Nama Pesantren Gentur, Cianjur, Jawa Barat, sudah tidak asing lagi di telinga para pencari ilmu agama. Kemasyhuran Pondok Pesantren yang didirikan KH Ahmad Syathibi atau dikenal dengan Mama Gentur itu telah melintasi batas-batas teritorial.
Selain terkenal dengan keluhuran ilmu para gurunya, Pesantren Gentur juga produktif melahirkan karya-karya tulis sebagai media dakwah. Semasa hidupnya, Mama Gentur mengarang banyak kitab berbahasa Arab dan Sunda, seperti “Sirojul Munir”, “Fathiyah”, “Muntijatu Lathif”, “Nadzom Ajurumiyah” dan banyak lagi yang lainnya.
Naskah lain yang juga ada kaitannya dengan Gentur adalah “Maslaku Al-‘Irfan Fi Sirati Sayyidina Muss Wafir’awn” yang dikarang oleh Aang Haji Son Haji, seorang ulama di Pesantren Picung, Gentur, Cianjur, yang juga keturunan Mama Gentur.
Tia Rizki Setiawati, Titin Nurhayati Ma’mun, dan Hazbini, dalam tulisannya yang berjudul “Kisah Fir’aun dan Nabi Musa pada Naskah Maslaku Al-‘Irfan Fi Sirati Sayyidina Musa Wafir’awn, menyebutkan, naskah itu ditulis menggunakan aksara Pegon berbahasa Sunda.
Di dalamnya menceritakan asal-usul Fir’aun menjadi sosok yang jahat, Fir’aun menjadi raja di Mesir, lahirnya Nabi Musa, Nabi Musa menerima wahyu, Nabi Musa mengalahkan Fir’aun, hingga Nabi Musa bersama Bani Israil menyerang Palestina karena di Palestina pada saat itu begitu banyak pemuja berhala.
Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari naskah tersebut. Kisah Nabi Musa dan Fir’aun itu dapat dijadikan pedoman hidup umat Islam terkait perbuatan zalim yang sangat dibenci Allah Subhanahu wata’ala.
Tia dan kawan-kawan menyebutkan, cerita dalam naskah “Maslaku Al-‘Irfan Fi Sirati Sayyidina Musa Wafir’awn” mengalami transformasi dari teks sumber utamanya. Terdapat perbedaan antara naskah dengan Al-Qur’an.
Perbedaan itu misalnya tentang perjalanan hidup Fir’aun yang pernah menjadi tukang bangunan, pedagang di pasar, pencuri, penjaga makam, kepala preman, dan menteri luar negeri urusan ahli perang Mesir. Dalam Al-Qur’an, cerita seperti itu tidak ada.
Cerita lain yang tidak ada di Al-Qur’an tapi dikisahkan dalam naskah tersebut adalah asal-usul Fir’aun yang terlahir dari pasangan suami istri yang bekerja sebagai penggembala. Kendati telah lama menikah, mereka tidak memiliki anak, sehingga ayah Fir’aun yang bernama Mashab iri kepada seekor sapi yang sedang melahirkan.
Baca: Kejarlah Doa Saat Hujan Turun, Ini Doa yang Diajarkan Nabi
Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya peran aktif pengarang naskah yang memberi tanggapan atas apa yang dibacanya. Penulis naskah menambahkan asal usul Fir’aun sebagai awal mula menerangkan satu kisah, dan itu lumrah terjadi dalam budaya Sunda.
Apabila bercerita, orang Sunda selalu mengawalinya dengan kisah asal usul. Istilahnya malapah gedang. Tak heran, penulis naskah mengemas cerita dengan gaya kisahan lokal agar mudah dicerna dan para pembaca bisa menangkap makna yang ingin disampaikan penulis.
Kendati begitu, bukan berarti cerita dalam naskah Maslaku Al-‘Irfan itu sepenuhnya berbeda dengan Al-Qur’an. Ada banyak segmen yang selaras dengan Kitab Suci umat Islam itu. Beberapa di antaranya adalah cerita tentang Fir’aun yang mengecam semua bayi dan anak laki-laki harus dibunuh.
Dalam Surat Al-A’raf ayat 141 Allah berfirman, “Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir’aun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan hidup wanita-wanitamu. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari Tuhanmu.”
Persamaan lainnya adalah soal dihanyutkannya Nabi Musa ke sungai Nil agar selamat dari kekejaman Fir’aun dan kaumnya. Termasuk cerita tentang Nabi Musa yang memukulkan tongkat ke Laut Merah hingga terbelah dan menenggelamkan Fir’aun dengan pasukannya.
Pengarang Maslaku Al-‘Irfan menjadikan kisah Nabi Musa dan Fir’aun sebagai representasi sifat manusia yang diridai dan yang dilaknat Allah Subhanahu wata’ala, tentang kehidupan yang selalu ada sisi baik dan jahat.
“Likuli Musa Fir’aun, Satiap Aya Aksi Sok Aya Reaksi”. Setiap ada kejahatan, di situ pasti ada kebajikan; setiap ada seorang yang jahat, pasti ada penumpasnya. Begitulah kutipan yang ada dalam naskah “Maslaku Al-‘Irfan Fi Sirati Sayyidina Musa Wafir’awn”.
Kisah Nabi Musa dan Fir’aun semestinya dijadikan pelajaran dan pedoman hidup umat Islam, meyakini bahwa perbuatan zalim atau jahat sangat dibenci Allah Subhanahu wata’ala.
Baca juga: Mengungkap Pecenongan, Naskah Kuno Betawi dari Abad ke-19