Video

Menapaki Sunyi di Astana Gede Kawali; Muara Dua Agama

×

Menapaki Sunyi di Astana Gede Kawali; Muara Dua Agama

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Hari sudah siang saat kami tiba di tempat yang berada di Dusun Indrayasa, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini. Seorang penjaga tiket baru keluar dari musala, usai melaksanakan salat Zuhur. Sepi, tak ada pengunjung lain di sini. Hanya kami berdua.

Lantaran teramat sepi, peraduan sepatu dengan batu terdengar sangat jelas. Setiap langkah kaki seakan menambah harmoni alami, mengiringi suara ragam binatang dan gesekan dedaunan yang jatuh dihempas angin.

Tempat ini namanya Astana Gede Kawali, sebuah situs yang menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Galuh. Astana berarti makam, dan gede artinya besar. Selain ada makam berukuran besar, di sini juga tempat disemayamkannya para pembesar atau orang-orang berpengaruh pada zamannya.

Tidak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan ada Batu Pangeunteungan yang merupakan tempat disemayamkannya abu jasad Dewi Citra Resmi atau putri Diah Pitaloka yang belapati pada peristiwa Bubat, sekitar tahun 1357.

Ada juga Batu Panyandungan, tempat disemayamkannya abu jasad Prabu Lingga Buana dan Batu Panyandaan Sang Hyang Lingga Bingba tempatnya abu jasad Prameswari Dewi Laralingsing. Keduanya gugur di palagan Bubat.

Bukan hanya tempat pemakaman abu jasad yang merupakan ritualnya agama Hindu, di sini juga ada makam dua tokoh penyebar agama Islam, yaitu Adipati Singacala dan Pangeran Usman.

Mereka adalah utusan Kesultanan Cirebon yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di bekas Kerajaan Galuh ini. Sumber lain menyebutkan, Adipati Singacala merupakan Raja Kawali pada 1663 s.d. 1718 Masehi dan keturunan Sultan Cirebon.

Ditilik dari beragamnya peninggalan arkeologi, tempat ini merupakan kawasan yang dihuni manusia pada tiga zaman, mulai prasejarah, Hindu, dan Islam. Sebagai pusat ritual, Astana Gede Kawali menjadi muaranya dua agama pada eranya masing-masing.

Pada masanya, Astana Gede diyakini sebagai pusat Kerajaan Galuh. Itu terlihat dari banyaknya peninggalan, seperti enam batu prasasti dengan tulisan Sunda Kuno. Ada pula cetakan telapak tangan dan kaki Prabu Niskala Wastukencana yang merupakan salah seorang raja Galuh.

 

Baca: Legenda Selat Sunda dan Gunung Krakatau, Konon Tercipta Karena Raja Marah

 

Selain itu, ada juga Batu Korsi atau Palinggih yang merupakan tempat penobatan para raja Sunda Galuh di Kawali. Raja terakhir yang dinobatkan di batu ini adalah Prabu Siliwangi sewaktu menerima takhta Kerajaan Galuh Pakuan pada tahun 1482.

Ada kesenangan dan ketenangan tersendiri saat berkunjung ke tempat ini. Senang lantaran mendapat pengetahuan baru tentang penggalan dari peradaban Nusantara, dan tenang karena suasana alamnya begitu sunyi. Tempat ini cocok dijadikan tempat menyepi, menghindar dari bisingnya kehidupan kota yang melulu mengagungkan materi.

Tidak banyak orang yang suka merapat ke sini. Di setiap harinya pengunjung yang datang bisa dihitung jari. Bahkan, tak jarang tidak ada pengunjung seorang pun. Padahal, tiket masuknya teramat murah, yakni Rp2.500.

Kendati begitu, kebersihannya selalu terjaga. Ada lima orang juru pelihara yang setiap hari membersihkan tempat seluas lima hektare ini. Salah satunya adalah Yaya Setia, juru pelihara yang ditugaskan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten

Yaya menyebutkan, hingga saat ini masih ada akademisi yang melakukan penelitian di Astana Gede untuk terus mencari tapak-tapak yang belum tersingkap. Penelitian seperti itu sudah dilakukan sejak Belanda berkoloni di Nusantara.

Selain prasasti-prasasti, di tempat ini juga ada satu area bernama Cikawali yang dipercaya sebagai mata air keramat dan tempat mandi keluarga keraton. Sebelumnya, bentuk kolam ini tampak seperti kuali atau tempat penggorengan.

Namun, sejak 2018 bentuknya jadi berubah. Pemerintah daerah melakukan penataan dengan memasang batu-batu di sekeliling kolam dengan tujuan agar tidak terjadi pengikisan tanah. Di momen-momen tertentu, seperti Syawal, banyak orang berziarah ke Cikawali.

Sebagian masyarakat percaya bahwa air Cikawali bisa membersihkan tubuh dari aura negatif. Tak heran, ada beberapa kebiasaan yang pernah dilakukan di sana, seperti melempar koin ke kolam atau membuang celana dalam yang dipakai setelah mandi di sana. Mereka yang melakukan itu meyakini akan terhindar dari sial.

Yaya Setia, juru pelihara Astana Gede Kawali, mengingatkan masyarakat yang datang ke tempat ini untuk tidak melakukan hal-hal di luar nalar yang menjurus pada kemusyrikan. Sebagai tempat yang sarat dengan sejarah perjalanan bangsa, keberadaan Astana Gede Kawali sejatinya menjadi pengingat diri tentang kebesaran Nusantara yang tidak dimiliki entitas lain di dunia.

 

Baca juga: Wisata Religi Astana Gede Kawali

 

error: Content is protected !!