Koropak.co.id – Tahun ini Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bakal berusia satu abad atau seratus tahun. Sebuah perjalanan yang panjang dan telah melalui berbagai dinamika organisasi hingga menghadapi bermacam permasalahan sosial dan politik.
Sebelum menjelma besar seperti sekarang, kelahiran NU bermula dari ide yang muncul dalam forum diskusi Tashwirul Afkar. Forum yang didirikan di Surabaya oleh Kiai Abdul Wahab pada 1924 itu merupakan wujud kepedulian para kiai terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi umat Islam.
Semua yang hadir dalam forum itu sepakat untuk membentuk sebuah jamiah. Untuk itu, seperti ditulis dalam Jurnal Al-Insyiroh edisi September 2019, Kiai Wahab mendatangi Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta restu.
Ajakan Kiai Wahab tidak langsung diamini Kiai Hasyim. Sebaliknya, ia malah merasa resah setelah pertemuan tersebut. Keresahan itu “diketahui” Kiai Kholil Bangkalan, sehingga ia memanggil seorang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin untuk memberikan tongkat kepada Kiai Hasyim. Bukan hanya tongkat, Kiai Kholil pun menitipkan surat Thaha ayat 17 s.d. 23 untuk dibaca oleh Kiai Hasyim.
As’ad lantas berangkat ke Jombang dengan berjalan kaki, sumber lain menyebutkan naik sepeda. Setelah sampai di kediaman Kiai Hasyim, As’ad mengutarakan maksud kedatangannya dan langsung menyerahkan tongkat dari Kiai Kholil.
Pemberian tongkat itu ditangkap sebagai isyarat bahwa Kiai Kholil tidak keberatan apabila Kiai Hasyim, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya untuk mendirikan jamiah. Namun, Kiai Hasyim tidak serta merta langsung membentuk sebuah organisasi.
Ia berpikir harus bermusyawarah dulu dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Apalagi, Kiai Kholil Bangkalan pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan.
Maka ia meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawi. Dalam pertemuan itu, Kiai Nawawi menyampaikan persetujuannya untuk membentuk jamiah tapi dengan syarat. Syaratnya adalah untuk berhati-hati dalam masalah uang. Silakan bentuk jamiah, tapi jangan pakai uang. Kalau butuh uang, anggota harus urunan.
Di lain hari, As’ad Syamsul Arifin kembali mendatangi rumah Kiai Hasyim. Ia datang dengan membawa titipan dari Kiai Kholil berupa tasbih dan diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar.
Baca: Menengok Sejarah Panjang Lahirnya Nahdlatul Ulama di Indonesia
Tasbih pemberian Kiai Kholil itu dimaknai sebagai isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk mendirikan jamiah. Namun, sebelum organisasi itu dibentuk, Kiai Kholil meninggal dunia pada 1925.
Setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama lahir di Surabaya, Jawa Timur, tepatnya di rumah Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Para kiai yang hadir dalam hari bersejarah itu di antaranya KH Hasyim Asy’ari Jombang, KH Asnawi Kudus, KH Bishri Syansuri Jombang, KH Ridwan Semarang, KH Nawawi Pasuruan, KH Nahrawi Malang, dan H. Ndoro Munthaha yang merupakan menantu Kiai Kholil Bangkalan.
Untuk memapah langkah pertama Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang baru dibentuk, KH Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai rais akbar didampingi KH Hasan Basri Sagipodin selaku ketua tanfiziyah.
Beberapa fokus gerakan Nahdlatul Ulama di awal perjalanannya adalah memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu dari empat mazhab, memberikan bimbingan jenis-jenis kitab, menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan mazhab, memperbanyak pesantren, serta membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Kendati begitu, lantaran lahir dan besar di tengah kondisi bangsa yang dibelenggu penjajahan, Nahdlatul Ulama pun turut berperan besar dalam mengantarkan Indonesia merengkuh kemerdekaan. NU menjadi organisasi keagamaan yang disegani penjajah.
Selain aktif berdakwah, NU secara tegas menentang segala bentuk penjajahan dan berjuang keras mewujudkan negara yang merdeka. Kehadiran Nahdlatul Ulama menjadi salah satu penggerak dalam menebarkan semangat nasionalisme melalui kegiatan keagamaan dan pendidikan.
Di masa pergerakan nasional, NU mengambil sikap tegas tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Begitupun di saat negara ini sudah memproklamirkan kemerdekaan. Salah satu sikap tegas yang paling monumental adalah “Resolusi Jihad” yang digaungkan KH Hasyim Asy’ari. Seruan jihad itu dilakukan sebagai respons dari upaya NICA yang mencoba menjajah kembali Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari bersama para ulama dan santri yang berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945 menyeru umat muslim, terutama yang berada dalam radius 94 kilometer, untuk membela Tanah Air dan hukumnya fardu ‘ain. Resolusi Jihad itu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah.
Ada banyak peristiwa penting di republik ini yang tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama. Sejarah mencatat, kehadiran organisasi yang lahir dari kalangan pondok pesantren ini menjadi salah satu elemen penting dalam mengukuhkan Indonesia sebagai negara besar yang dibingkai dalam kesatuan.
Baca juga: Perjalanan Sejarah Muktamar Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa