Koropak.co.id – Lebih dari dua abad lalu, tepatnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta membara. Keraton diserang bala tentara Inggris. Peristiwa kelabu yang dikenal dengan sebutan Geger Sapehi itu terjadi pada hari Sabtu, sekitar pukul lima pagi.
Pasukan Inggris mengepung benteng keraton. Satu pasukan meledakkan gerbang Trunasura dan merebut tingkap-tingkapnya, sementara pasukan lainnya menyerbu gerbang Nirbaya. Keraton dikepung ribuan pasukan gabungan.
Massa dengan jumlah besar itu berasal dari kerajaan Inggris dengan pasukan Sepoy-nya sebanyak 1.200 orang, pasukan Surakarta, legion Mangkunegaraan sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing.
Pelumpuhan keraton itu menjadi puncak dari serangan Inggris. Sebelumnya, pada 18 s.d. 19 Juni 1812, peperangan terjadi di luar benteng Baluwerti keraton. Kedua pihak saling serang, menembakkan meriam dan artileri lainnya.
Sekitar pukul lima pagi, hari Sabtu tanggal 20 Juni 1812, pasukan Inggris secara diam-diam mendekati regol dan lini belakang pertahanan keraton. Serangan meriam pasukan Inggris diarahkan ke Alun-Alun Utara, tepat ke pintu masuk keraton.
Sedangkan kekuatan utamanya diarahkan ke sisi timur laut benteng. Dalam waktu sekitar tiga jam, benteng keraton runtuh dengan meledaknya meriam dan gudang mesiu. Penyerangan tak terduga itu membuat pertahanan keraton jebol. Sultan Hamengkubuwono II beserta para paneran yang masih tersisa pun ditangkap.
Peristiwa kelam itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada rentetan peristiwa lain yang memicunya. Sejak Inggris mengalahkan Belanda, Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Raffles berambisi menguasai Jawa. Namun Kesultanan Ngayogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwono II berbeda sikap dengan wilayah lain. Ia menolak menyerahkan kedaulatan daerahnya kepada bangsa asing.
Raffles lantas mengutus Residen Yogyakarta, John Crawfurd, dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Hamengkubuwono II. Upaya itu tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan, sehingga terjadilah Geger Sapehi atau Geger Sepoy.
Disebut Geger Sepoy, karena kebanyakan pasukan Inggris berasal dari Brigade Sepoy atau Sapehi/Sapei. Mereka adalah warga India yang direkrut jadi tentara, setelah wilayahnya dijajah Inggris. Dalam waktu yang sangat singkat, mereka menyerbu dan melumpuhkan Kesultanan Yogyakarta.
Baca: Mengenal Simbol Petunjuk Waktu Baik dan Buruk dalam Tradisi Masyarakat Bugis
Bukan hanya menjarah harta dan kekayaan intelektual yang ada di dalamnya, penaklukan itu pun mengubah hampir seluruh tatanan lama Kesultanan Yogyakarta. Di bawah kendali Thomas Stamford Raffles, selama bertahun-tahun kolonial Inggris memengaruhi berbagai kebijakan di Kesultanan Yogyakarta.
Pemerintahan di Yogyakarta dijalankan dengan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kolonial. Setelah menangkap dan mengasingkan Sultan Hamengkubuwono II ke Penang, Malaysia, Raffles menunjuk Adipati Anom Surojo menjadi Sultan Hamengkubuwono III.
Selain itu, ia juga mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dengan gelar Adipati Pakualaman I. Pengangkatan-pengangkatan itu dilakukan semau kolonial dan melabrak ritual jumenengan yang menjadi adat istiadat keraton.
Masyarakat Jawa percaya, jika ada orang yang tidak berhak naik takhta tapi ditunjuk menjadi sultan, maka ia akan mati tanpa sebab yang jelas. Entah ada kaitannya dengan itu atau tidak, setelah dilantik menjadi Sultan Hamengkubuwono III, Anom Surojo meninggal dunia pada 1814. Posisinya diganti Adipati Anom Ibnu Jarot sebagai Sultan Hamengkubuwono IV.
Dalam Babad Sapehi yang ditulis Pangeran Mangkudiningrat, putra Sultan Hamengkubuwono II, diketahui bahwa yang lebih layak menjadi raja adalah dirinya, bukan Anom Surojo. Status kebangsawanan Pangeran Mangkudiningrat dinilai lebih tinggi dibanding Surojo karena ibunya hanya keturunan bupati Magetan.
Terlepas dari polemik itu, Geger Sapehi telah berdampak besar terhadap keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta. Hal lain yang tak kalah menyedihkan adalah dijarahnya hampir seluruh harta dan kekayaan intelektual yang ada di keraton. Semuanya dibawa Raffles ke Inggris dan sekarang sebagiannya ada di British Liblary.
Tercatat ada sekitar 7.000 manuskrip naskah kuno milik keraton hilang setelah penyerangan Brigade Sapehi. Namun, tidak semua naskah itu berhasil sampai Inggris. Ada yang dilelang selama perjalanan, ada pula yang hilang bersama karamnya kapal-kapal pengangkutnya di laut.
Hingga 2019, baru 75 manuskrip yang berhasil dikembalikan ke keraton atas permintaan Sri Sultan Hamengkubuwono X, itupun versi digitalnya. Selain naskah kuno, Inggris juga disebut-sebut menjarah 57 ribu ton emas yang ada di Kesultanan Yogyakarta, meski sejumlah pihak menyangsikan angka tersebut.
Satu hal yang pasti, perang atau Geger Sapehi telah menjadi sejarah kelam dalam perjalanan Kesultanan Yogyakarta. Untuk mengenang peristiwa tersebut, pemerintah setempat membangun prasasti Geger Sepoy di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan Yogyakarta.
Baca juga: Sejarah Aksara Incung, Peninggalan Nenek Moyang Kerinci Kuno