Koropak.co.id – Bisa dikatakan bahwa Daluang atau dikenal juga dengan Jeluang ini menjadi saksi bisu perjalanan dari sebuah sejarah. Pasalnya, tercatat sejak abad ke-7, daluang ini telah digunakan untuk menulis naskah atau melukis sebagai sarana ekspresi.
Kemudian ada juga catatan sejarah lain yang menyebutkan bahwa daluang juga digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber, hingga difungsikan sebagai busana. Di sisi lain, daluang juga dikenal sebagai kertas tradisional khas Nusantara yang terbuat dari kulit pohon saeh atau yang memiliki nama lain Paper Mulberry.
Dalam proses pembuatannya, kulit dari pohon bernama latin Broussonetia papyrifera itu akan ditempa atau dalam bahasa Sunda disebut dengan “dipeupeuh” menggunakan alat khusus yang terbuat dari perunggu hingga pada akhirnya menjadi daluang.
Diketahui, banyak pula naskah kuno Nusantara yang menggunakan daluang atau disebut juga dengan “kertas Ponoragan” atau javaansche van Panaragan papier sebagai media penulisannya di saat kertas modern belum ditemukan atau diperkenalkan. Bahkan, kertas daluang yang diperkeras juga kerap dipakai dalam wayang beber sebagai media untuk menggambar.
Tercatat sejak 2014, kertas daluang maupun pakaian kulit kayu daluang telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan disahkan pada 8 Oktober 2014 lalu melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 270/P/2014.
Berdasarkan sejarahnya, konon pada zaman dahulu daluang sendiri menjadi kebutuhan sandang sekaligus juga sebagai media alat tulis masyarakat di Indonesia. Selain sebagai media alat tulis, daluang juga digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan pakaian, pelapis, serta bahan tas.
Kertas daluang ini juga merupakan media tulis yang sudah digunakan sejak masa lampau dan berlangsung selama berabad-abad. Masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa, menggunakan kertas ini sejak abad ke-7 yang selanjutnya semakin berkembang pesat pada periode sejarah Islam.
Baca: Mengungkap Pecenongan, Naskah Kuno Betawi dari Abad ke-19
Tak hanya itu saja, daluang juga banyak digunakan sebagai pengganti kertas lontar yang dulunya digunakan sebagai media tulis. Kertas daluang ini telah dipakai untuk menulis naskah kuno kerajaan Nusantara, menulis Al-Qur’an di pesantren, hingga dijadikan sebagai bahan baku wayang.
Bahkan di beberapa museum juga ada sejumlah naskah kuno asli dengan media tulisnya menggunakan daluang yang dibuat di masa lampau. Seiring berjalannya waktu, saat ini daluang sudah sangat jarang ditemukan, karena masyarakat yang mempraktikkan atau membuat daluang dalam kehidupan sehari-hari juga sudah tidak ada.
Padahal dibandingkan dengan kertas yang ada saat ini, disebutkan bahwa daluang yang dibuat secara tradisional dan berbahan baku kulit kayu pohon saeh ini memiliki kualitas tinggi dan dapat bertahan lama.
Sementara itu, dilansir dari laman Kemdikbud, proses yang panjang harus dilalui dalam pembuatan daluang. Langkah pertama yang harus dilakukan tentunya memotong pohon saeh dengan menggunakan gergaji atau golok sebagai bahan untuk membuat daluang.
Batang pohon saeh tersebut dipotong sesuai dengan ukuran kertas yang diperlukan. Setelah itu, kayu batang pohon saeh akan dikuliti mulai dari ujung sampai pangkal dan membuang kulit arinya. Kulit kayu yang sudah bersih, nantinya akan direndam selama satu sampai tiga malam agar menjadi lunak.
Setelah lunak, kulit kayu pun ditumbuk menggunakan alat penumbuk tradisional yang dinamakan pameupeuh, di atas bantalan kayu hingga menjadi lebar dan membentuk lembaran kertas. Kemudian bahan kertas yang sudah rapih, akan diperam dengan cara ditumpuk dalam tolombong.
Tolombong sendiri adalah wadah anyaman bambu yang dialasi dan ditumpuk daun pisang. Untuk proses peram tersebut biasanya akan berlangsung selama satu malam. Setelah selesai, kertas daluang akan dijemur di bawah sinar matahari dengan cara menempelkannya pada pohon pisang. Langkah terakhir, bahan kertas tersebut akan dipotong sesuai ukuran yang diperlukan.