Koropak.co.id – Apa yang terlintas dalam benak saat ada orang yang menyebut pathok? Bakpia? Bakpia pathok? Ya, makanan asal Yogyakarta itu memang sudah tersohor ke seantero negeri. Si mungil manis itu rasanya enak dan bikin ketagihan. Deuhh, jadi pengen ke Yogya nih.
Kalau nanti ke sana, jangan cuma berburu bakpia pathok dan kuliner khas Yogyakarta lainnya, ya? Selain makanan, di sana ada banyak tempat bersejarah yang layak dikunjungi. Salah satunya adalah Masjid Pathok Negara Dongkelan.
Ada sejarah panjang yang menyertai perjalanan masjid tersebut. Orang yang pertama kali membangunnya adalah Kiai Syihabuddin atas perintah Sultan Hamengkubuwono I pada 1775. Itu berarti, usia masjidnya hampir dua setengah abad, tepatnya 248 tahun.
Ada beberapa versi terkait arti dari pathok negara yang dijadikan nama masjid tersebut. Pertama, ia adalah seorang ulama yang membantu tugas penghulu dalam pengadilan agama. Versi lainnya adalah pathok negara merupakan batas ibu kota kesultanan, juga ada yang mengatakan sebagai status sebuah desa.
Terlepas dari perbedaan itu, masjid pathok negara yang terdapat di Kasultanan Yogyakarta sebenarnya berada empat penjuru mata angin. Keempat masjid itu adalah Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Nah, tayangan ini khusus membahas Masjid Dongkelan atau juga dikenal dengan nama Masjid Nurul Huda. Sejak kali pertama dibangun, hingga saat ini masjid tersebut sudah beberapa kali dipugar, dan terakhir pada 2016 kemarin.
Bangunan utama masjid ini berbentuk persegi panjang yang ditopang dengan empat buah sakaguru di atas umpak batu andesit. Sedangkan mihrabnya berbentuk melengkung dan memiliki satu jendela kayu berdaun dua dengan teralis kayu.
Di sisi kanan dan kiri mihrab terdapat masing-masing sebuah jendela dengan dua daun jendela berteralis kayu. Adapun atap ruang utama masjid berbentuk tumpang satu yang ditutup dengan mustaka berbentuk gada bersulur.
Baca: Masjid Raya Baiturrahman, Saksi Bisu Pembakaran Belanda Hingga Tsunami 2004
Di masjid inipun ada bedug kayu nangka yang dibuat tahun 1901 dan direhab pada 1 Januari 2004. Hingga saat ini bedug tersebut masih difungsikan. Di luar masjid, tepatnya di sebelah barat, ada kompleks makam. Di tempat itulah Kiai Syihabudin, pendiri Masjid Pathok Negara Dongkelan, dimakamkan.
Fakta lain yang melekat dengan keberadaan masjid ini adalah jejak perang Pangeran Diponegoro pada 1825 s.d. 1830. Saat itu Masjid Pathok Negara Dongkelan sempat dijadikan markas pasukan Pangeran Diponegoro.
Lantaran difungsikan sebagai markas dan benteng pertahanan, masjid tersebut jadi sasaran musuh dan akhirnya dibakar oleh Belanda, hingga hanya menyisakan batu penyangga tiang masjid dan mustaka
Usai perang, masjid kembali dibangun dengan sangat sederhana. Atapnya hanya terbuat dari ijuk dengan mustaka atau hiasan di puncak atap masjid dari tanah liat. Pada 1901, di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, masjid dibangun kembali seperti bentuk semula.
Pemugaran itu mengganti mustaka tanah liat asli dengan mustaka yang terbuat dari seng berbentuk gada bersulur. Mustaka tanah liat kini disimpan di rumah Kyai Komari. Setelah itu masjid dipugar kembali pada tahun 1948 untuk menambahkan serambi yang semula hanya berupa selasar.
Semula, semua masjid Pathok Negara memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, tempat upacara/kegiatan keagamaan, sistem pertahanan, sekaligus bagian dari sistem peradilan keagamaan atau Pengadilan Surambi.
Pengadilan tersebut berfungsi untuk memutus hukum perkara pernikahan, perceraian atau pembagian waris. Sementara untuk hukum yang lebih besar, seperti perdata atau pidana, diputus di pengadilan keraton.
Baca juga: Bukan Sembarang Tempat Ibadah, Masjid Istiqlal Kaya akan Sejarah