Koropak.co.id – Perang antara pasukan Pangeran Diponegoro dari Jeksa melawan pasukan murtad dari Mangkunegaraan dan kafir Belanda berlangsung lama dan melelahkan. Saling serang di antara kedua belah pihak tak terelakkan, hingga menewaskan banyak orang.
Pasukan Jeksa yang berbaris di sebelah timur Yogyakarta tengah bertarung melawan pasukan murtad di bawah komando Pangeran Mangkunegara. Semula, pasukan murtad berhasil didesak oleh pasukan Jeksa. Namun, sesudah mendapatkan bantuan pasukan kafir Belanda, pasukan murtad menjadi lebih kuat dan unggul.
Mengetahui pasukan Jeksa mulai terdesak, Pangeran Mangkunegara memerintahkan mereka untuk mundur. Namun, pasukan Jeksa lebih memilih hancur dalam perang sabil itu ketimbang meninggalkan medan laga sebagai pecundang.
Perang mulai seimbang sesudah pasukan Jeksa mendapatkan bantuan pasukan dari Muhammad Usman Ali Basah dan Haji Ngisa. Lambat laun, pasukan murtad dan kafir Belanda berhasil didesak hingga banyak serdadunya yang tewas.
Tapi kondisi kembali berbalik. Setelah mendapat tambahan kekuatan, pasukan murtad dan kafir Belanda berhasil melawan pasukan Jeksa hingga menewaskan banyak prajurit. Kekalahan demi kekalahan dialami pasukan Jeksa di tempat lainnya.
Mendapat kenyataan itu, Pangeran Diponegoro yang masih sakit ingin tampil sebagai panglima perang dalam menghadapi pasukan musuh. Namun, niat itu diurungkan sesudah mendapat nasihat dari Kiai Maja dan Pangeran Ngabehi.
Rentetan kekalahan itu membuat Diponegoro sangat berduka. Di satu malam, saat pasukan dari Jeksa tengah tertidur pulas, Pangeran Diponegoro yang tidak bisa memejamkan mata, didatangi seorang perempuan berpakaian serba hijau dan bermahkota emas.
Perempuan yang datang dengan dua pengiringnya itu bertanya kenapa pangeran bersedih. Diponegoro menjawab, dirinya sedang memikirkan pasukannya yang semakin lemah, sementara pasukan musuh semakin kuat dan perkasa.
Kepada perempuan yang dipanggil Ratu Kidul itu pangeran menyampaikan bahwa dalam banyak perang, pasukannya mengalami kekalahan. Ia sedih, terlebih jumlah prajurit yang meninggal sahid sudah tak terhitung.
“Jangan khawatir, Pangeran!” ujar Ratu Kidul tersenyum dengan wajah berbinar serupa purnama yang tak tersaput awan.
Baca: Kisah Kebesaran Kerajaan Majapahit
Ia lantas berjanji akan memberinya bantuan, dan pasukannya sanggup menyingkirkan semua musuh pangeran di tanah Jawa. Itu akan dilakukannya asal Diponegoro mampu memenuhi syarat yang diajukannya. Syarat itu adalah Pangeran Diponegoro harus menikahi Ratu Kidul.
Dengan tegas, Pangeran Diponegoro menolak tawaran bantuan bersyarat dari Ratu Kidul. Ia menegaskan, dirinya hanya mengharapkan bantuan sepenuhnya dari Allah Subhanahu wata’ala. Hanya kepada Allah dirinya berlindung. Bukan kepada Ratu Kidul, bukan pula kepada setan, iblis, atau jin dari dunia kegelapan.
Mendengar jawaban tegas dari Pangeran Diponegoro, Ratu Kidul kecewa dan langsung lenyap dari pandangan. Ia lenyap bersama dua pengirinya seperti gumpalan asap yang tersapu angin. Pergi tanpa meninggalkan jejak dan pesan apapun.
Setelah Ratu Kidul berserta kedua pengiringnya lenyap, Pangeran Diponegoro melaksanakan salat malam dan memohon petunjuk Allah Subhanahu wata’ala.
Cerita pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Ratu Kidul itu dikisahkan Sri Wintala Achmad dalam “Babad Diponegoro”.
Diketahui, “Babad Diponegoro” merupakan naskah lawas yang ditulis Raden Mas Ontowiryo atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Babad tersebut dibuat saat Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado pada rentang tahun 1832 s.d.1833.
Pada Juni 2013, UNESCO menetapkan “Babad Diponegoro” sebagai Warisan Ingatan Dunia atau Memory of The World. Ada banyak hal yang dikisahkan dalam naskah tersebut.
Selain menceritakan runtuhnya Majapahit dan Perjanjian Giyanti, dalam autobiografi yang ditulis putra Sri Sultan Hamengkubowono III itu dikisahkan pula tentang riwayat para leluhurnya. Ada juga kisah-kisah berbau mistis, seperti cerita tentang pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Ratu Kidul.
Kini, kopian “Babad Diponegoro” disimpan di dua tempat, yakni di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Rotterdam, Belanda. Disebut kopian lantaran naskah aslinya telah hilang, dan yang sekarang ada merupakan kopi naskah otentik beraksara Arab pegon dan aksara Jawa.
Baca juga: Mengungkap Mitos Pohon Dewandaru, Tumbuhnya dari Tongkat Pengawal Diponegoro