Koropak.co.id – Ramadan datang semua riang. Umat muslim di Indonesia menyambut bulan suci itu dengan berbagai cara. Ada yang sekadar kumpul dengan keluarga, ada juga yang menggelar acara massal yang dilangsungkan di satu tempat.
Di setiap daerah memang mempunyai tradisi berbeda-beda, dan itu sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di Kudus, Jawa Tengah, misalnya. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana menggelar Dandangan yang merupakan kebiasaan Sunan Kudus pada 450 tahun silam.
Kala itu, di setiap jelang Ramadan, para santri berkumpul di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang waktu awal saum. Diketahui, Sunan Kudus merupakan ahli ilmu falak yang bisa menghitung hari dan bulan dalam kalender hijriah.
Pengumuman awal datangnya Ramadan dilakukan di pelataran Masjid Menara Kudus dengan memukul dua bedug di dua waktu. Pemukulan bedug pertama untuk mengumpulkan masyarakat, sedangkan yang kedua untuk memutuskan sekaligus membuka awal Ramadan.
Hingga saat ini tradisi tersebut masih dilestarikan, bahkan dimeriahkan dengan kirab yang merepresentasikan budaya di Kudus, seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, rumah adat Kudus dan lain-lain.
Bila di Kudus punya Dandangan, di Kampung Adat Miduana, Cianjur, Jawa Barat, lain lagi. Dalam menyambut Ramadan, masyarakat di sana punya tradisi Kuramasan. Dari pagi hingga siang, mereka berkumpul di Sungai Cipandak.
Selain mandi, baik berkelompok atau masing-masing dan tanpa harus membuka seluruh pakaian, masyarakat bergotong royong membersihkan sungai dari sampah. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan bersama atau mayor di tepi sungai.
Salah satu makna yang terkandung dalam Kuramasan adalah membersihkan diri dari segala kotor, hingga datangnya Ramadan disambut dengan kebersihan. Dengan begitu, masyarakat siap lahir batin menyambut dan melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci.
Selain Kuramasan, masyarakat Sunda di belahan lainnya, seperti di wilayah Priangan Timur ada kebiasaan dalam menyambut Ramadan yang dikenal dengan istilah Munggahan. Unggah atau naik bermakna naik ke bulan baru yang memiliki derajat lebih tinggi.
Umumnya, dalam menggelar munggahan masyarakat Priangan Timur biasa berkumpul dengan keluarga atau teman untuk makan bersama atau botram. Bukan hanya di rumah, munggahan bisa digelar juga di restoran atau tempat-tempat wisata.
Hampir mirip dengan Kuramasan, masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat, punya Balimau. Dalam menyambut Ramadan, mereka mandi di sungai atau tempat pemandian dengan cara berbeda. Bukan mandi biasa, tapi airnya dicampur limau atau jeruk nipis.
Baca: Ragam Tradisi Sambut Ramadan, Bakar Batu Lulur Wajah
Sama dengan di Sunda, masyarakat Papua juga punya kebiasaan serupa. Umat muslim di sana punya tradisi makan bersama dalam menyambut Ramadan. Kendati serupa, tapi dalam praktinya berbeda. Mereka punya Bakar Batu yang sudah berlangsung sejak lama.
Di Papua, tradisi tersebut biasa dilakukan oleh semua kalangan, tak terkecuali umat muslim. Batu-batu dibakar hingga panas lalu di atasnya disimpan berbagai makanan, seperti daging ayam atau sapi, sayuran, dan umbi-umbian.
Tumpukan makanan itu kemudian ditutup lagi dengan batu panas sampai bahan-bahan tersebut matang dan siap disantap bersama. Selain untuk membuka lahan atau membangun rumah, tradisi Bakar Batu sering dilakukan dalam perayaan kelahiran atau perkawinan.
Masyarakat muslim Papua, seperti di Walesi Jayawijaya dan daerah lainnya, biasa menggelar Bakar Batu dalam menyambut Ramadan. Mereka bergembira dengan datangnya bulan suci.
Di Aceh beda lagi. Dalam menyambut Ramadan, mereka punya tradisi Meugang. Masyarakat ramai-ramai ke pasar untuk berburu atau membeli daging sapi untuk dimasak dan dimakan bersama. Bukan hanya dengan keluarga, tapi juga mengundang tetangga atau para yatim dan fakir miskin.
Diketahui, tradisi tersebut bermula pada abad ke-14 masehi, tepatnya kala penyebaran agama Islam di masa kerajaan Aceh Darussalam. Waktu itu, raja memerintahkan balai fakir atau badan yang menangani fakir miskin dan duafa untuk membagikan daging, beras, dan pakaian. Semua biayanya ditanggung kerajaan.
Hal itu dilakukan raja sebagai rasa syukur atas datangnya bulan suci. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, tradisi tersebut masih dilakukan masyarakat Aceh. Bukan hanya dalam menjelang Ramadan, Meugang juga digelar sebelum Idulfitri dan Iduladha.
Di Gorontalo beda lagi. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di sana, terutama kaum perempuan, biasa melakukan Mohibadaa. Itu merupakan tradisi melulur atau memasker wajah menggunakan rempah-rempah tradisional, seperti tepung beras, kencur, kunyit dan lain-lain.
Kendati bisa dikerjakan kapanpun, kebiasaan itu memiliki manfaat tersendiri bila dilakukan saat akan memasuki Ramadan. Tubuh yang kering lantaran kekurangan cairan akibat saum, jadi terasa tetap segar lantaran luluran.
Masyarakat yang melakukan tradisi Mohibadaa merasakan banyak manfaatnya, semisal wajah jadi lebih segar dan bisa mencegah kerutan pada kulit. Lantaran pada saat saum kulit terasa kering, Mohibadaa jadi pilihan perempuan Gorontalo agar tetap merasa segar.
Baca juga: Ramadan Sama Lebaran Beda; Ada Sejak Indonesia Belum Merdeka