Video

Surat Emas para Raja Nusantara: Jalan Diplomasi

×

Surat Emas para Raja Nusantara: Jalan Diplomasi

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Sejak Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara, perlawanan demi perlawanan tak henti dilakukan bangsa pribumi. Bukan hanya dengan pergerakan fisik, tapi juga melalui jalan diplomasi, seperti yang dilakukan para raja dengan cara berkirim surat.

Surat bukan sembarang surat, tapi surat dengan hiasan tinta emas di dalamnya. Surat itu digunakan raja untuk berdiplomasi dengan Pemerintah Hindia-Belanda terkait berbagai kepentingan, khususnya politik dan dagang.

Kepentingan politik misalnya berkaitan dengan eksekusi sebuah kekuasaan, pengangkatan pejabat baru sebagai pengganti, pengayoman pada sebuah kekuasaan di daerah, penambahan prajurit, bantuan perang, dan pengiriman senjata.

Sedangkan urusan perdagangan menyangkut masalah penjualan timah, lada, garam, kain, emas, dan hasil bumi. Perdagangan lainnya yang tidak kalah menarik adalah soal opium, pengiriman kapal, dan pengiriman budak.

Mu’jizah dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjelaskan, pada dasarnya isi surat yang dikirimkan itu pesannya macam-macam. Ada yang netral, meminta, membujuk, ada juga yang mengancam.

Adapun konteks sejarah surat emas terjadi sekitar awal abad ke-17, diawali dengan surat emas tertua dari Aceh. Sementara surat emas tertua lainnya yang dikirim kepada Belanda berasal dari Banjarmasin bertanggal 1785, dan surat termuda dari Aceh tahun 1869.

Surat-surat tersebut ditulis di atas kertas eksklusif dengan ukuran besar yang panjang dan lebarnya sekitar 52 cm x 35 cm. Isi suratnya sangat rapi dan cantik. Ditulis menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab gundul.

Uniknya, dalam surat itu setiap raja menonjolkan ciri khas daerahnya masing-masing. Sultan Palembang, misalnya, dalam suratnya menggunakan hiasan tampok manggis, bunga matahari, melati, dan pucuk rebung emas.

 

Baca: Menelusuri Sejarah Perdagangan Nusantara Pada Zaman Kerajaan

 

Penguasa Madura, Adipati Arya Kesuma, lain lagi. Ia menggunakan simbol bola api dan pohon palma, disertai bunga-bunga megah dan besar dengan warna mencolok. Sedangkan Pangeran Mangkubumi dari Banjarmasin menghias surat-suratnya dengan motif cengkih.

Surat dari para raja itu juga didukung simbol-simbol lain yang bermuara pada penguasa tertinggi, yakni Tuhan. Hal itu dilakukan lantaran dalam konsep Melayu, raja merupakan wakil Allah di muka bumi atau khalifatullah fil ardhi.

Sedangkan surat dari Pemerintah Hindia-Belanda dihias dengan motif dari tradisi Eropa, seperti bunga ros, bunga lili, pohon anggur, topi emas, pita, dan mahkota. Motif-motif itu bukan tanpa arti.

Bunga lili, misalnya, melambangkan bunga keluarga kerajaan. Adapun topi mencerminkan kekuasaan dan kekuatan. Pemakaian simbol-simbol kekuasaan itu memerlihatkan posisi kedua penguasa, yakni Pemerintah Hindia-Belanda dan raja-raja di Nusantara.

Raja-raja yang menulis surat emas di antaranya Sultan Alaudin Mansyur Syah (Aceh), Yang Dipertuan Muda Raja Ali (Riau), Ratu Husain Diyauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin (Palembang), Pangeran Ratu Abul Mafakir Muhammad Aluiddin dan Sultan Abu al-Nasar Muhammad Ishaq Zainul Mutaqin (Banten), Sultan Cakraadiningrat (Madura), dan Sultan Sayid Syarif Usman dari Pontianak.

Adapun pejabat Pemerintah Hindia-Belanda yang pernah menerima dan mengirim surat emas dengan model yang sama di antaranya Jan Jacob Van Rochussen, Hendrik Mercus Baron de Kock, Johannes van den Bosh, John Willem van Landsberg, dan Herman Willem Deandles.

Mu’jizah menegaskan, surat emat itu merupakan cermin keintelektualan dan martabat para raja di Nusantara pada masa lampau. Sampai saat ini, surat-surat itu masih tersimpan rapi di beberapa negara, seperti di Inggris, tepatnya di British Library.

 

Baca juga: Jung Jawa Sebagai Penguasa Laut Nusantara

 

error: Content is protected !!