Muasal

Kisah Pangeran Diponegoro; Tertangkap Belanda Hingga Diasingkan ke Manado

×

Kisah Pangeran Diponegoro; Tertangkap Belanda Hingga Diasingkan ke Manado

Sebarkan artikel ini

Koropak.co.id, Jakarta – Nama Pangeran Diponegoro tentunya sudah tidak asing lagi sebagai salah satu pahlawan nasional yang selalu dikenang oleh rakyat Indonesia. 

Selain tercatat dalam pelajaran sejarah nasional, namanya juga terabadikan dalam berbagai nama jalan dan gedung-gedung megah di kota-kota besar di seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya itu saja, nama besarnya pun turut diabadikan dalam kesatuan komando wilayah Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Sehingga tidak mengherankan sekali jika Pangeran Diponegoro ini terekam dalam benak setiap Warga Negara Indonesia di mana pun mereka berada dan dari mana pun mereka berasal. Diketahui semasa hidupnya, Pangeran Diponegoro ini terkenal sebagai salah satu musuh Belanda yang paling sulit untuk ditaklukkan. 

Bahkan perlawanan yang dilakukannya selama lima tahun mulai dari 1825 s.d 183-an, begitu merepotkan sampai membuat keuangan pemerintah kolonial kolaps. Perselisihannya dengan Belanda tersebut membuat Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan di Manado.

Lantas, bagaimana awal mula perselisihan Pangeran Diponegoro dengan Pemerintah Kolonial Belanda?

Diceritakan bahwa periode kemunduran Keraton Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengku Buwana II, membawa dampak yang sangat besar bagi perubahan budaya dan politik pemerintahan di Jawa. 

Setelah meninggalnya Hamengku Buwana I, Keraton Yogyakarta mengalami banyak pertikaian, terutama akibat adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Campur tangan inilah yang membuat Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan mengangkat senjata. 

Hal itu dilakukannya dengan alasan karena turut campur pihak Belanda dalam urusan kerajaan merupakan hal yang sangat bertentangan dengan hukum adat dan agama yang berlaku. Belum lagi dengan adanya sekelompok bangsawan istana dan pejabat Belanda yang bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat.

Secara garis besar perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro ini disebabkan oleh tiga hal, diantaranya sejak awal 1800-an, kekuatan kolonial berusaha untuk menanamkan pengaruh di Jawa, khususnya pada Pemerintahan kerajaan yang ada.

Selanjutnya, pertentangan politik yang dilandasi kepentingan pribadi dalam keraton, semakin lama semakin meruncing. Tak hanya itu saja, pengangkatan Hamengku Buwana V yang masih kecil dinilai membawa banyak kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk.

Baca: Mengungkap Mitos Pohon Dewandaru, Tumbuhnya dari Tongkat Pengawal Diponegoro

Di sisi lain, beban rakyat akibat pemberlakuan pajak yang berlebihan pun mengakibatkan keadaan masyarakat semakin tertekan. Selain tidak setuju dengan campur tangan Belanda terhadap urusan internal keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro juga tidak setuju dengan kebijakan pemasangan patok di tanah pribadi. 

Seperti pada 1821-an, petani lokal harus menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Namun, penguasa Hindia Belanda saat itu, Van Der Capellen, menetapkan dekrit bahwa semua tanah yang disewa harus dikembalikan dengan syarat pemilik lahan memberikan kompensasi terhadap penyewa.

Hal inilah yang pada akhirnya membuat Pangeran Diponegoro semakin bertekad untuk melakukan perlawanan. Tak hanya sampai di situ saja, atas perintah Belanda, Patih Danureja sampai memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam leluhurnya.

Sebelum perang pecah, pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi diserang di Tegalrejo. Saat itu rumah Diponegoro dibakar, akan tetapi Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil meloloskan diri dengan bergerak ke arah barat melewati Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo. 

Mereka pun melakukan perjalanan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat Kota Bantul. Goa tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai basis Pangeran Diponegoro. Selain goa itu, ada juga Goa Kakung yang terletak dibagian barat dan dijadikan sebagai tempat pertapaannya.

Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 1827, Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Pangeran Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng, sehingga membuat pasukan Diponegoro terjepit. 

Akibatnya, secara perlahan-lahan, orang-orang yang ikut dengan Pangeran Diponegoro ditangkap. Pada 1829, Kyai Mojo pemimpin spiritual pemberontakan juga ditangkap, lalu disusul dengan Pangeran Mangkubumi dan Panglima Alibasah Sentot Prawirodirjo yang menyerah kepada Belanda.

Kemudian tepat pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap Belanda di Magelang, lalu diasingkan ke Manado, hingga meninggal dunia di Makassar. Pangeran Diponegoro bersedia menyerahkan diri dengan syarat anggota perang yang tersisa dibebaskan. 

Tercatat dalam pemberontakan hingga menyebabkan perang antara Pangeran Diponegoro dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang kemudian dikenal sebagai “Perang Diponegoro” dan menghabiskan waktu selama 5 tahun mulai dari 1825 s.d 1830 ini, menelan korban hingga 200.000 jiwa penduduk Jawa dan 8.000 jiwa pasukan Belanda.

Pangeran Diponegoro akhirnya wafat di pengasingan pada 8 Januari 1855, lalu jenazahnya dikebumikan di makam yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

error: Content is protected !!