Koropak.co.id - Sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya umat muslim, menganggap bahwa tidak afdol rasanya jika melaksanakan ibadah salat tidak memakai mukena.
Di sisi lain, riwayat mukena ini memang berasal dari khazanah budaya Indonesia. Diketahui, mukena menjadi salah satu perlengkapan salat yang dimiliki oleh hampir seluruh wanita muslim di Indonesia.
Uniknya lagi, ternyata mukena ini hanya digunakan di Indonesia dan beberapa negara rumpun Melayu lainnya. Sementara wanita muslim di negara lain, untuk menjalankan ibadah salat, cukup dengan memakai pakaian sehari-hari yang menutup aurat.
Mukena sendiri merupakan budaya Indonesia yang pertama kalinya dikenalkan oleh Wali Songo yang memiliki peranan besar dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Sementara itu, dilansir dari laman kompas.com, mukena merupakan produk pendekatan Islam ke budaya Indonesia. Saat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, mukena pun menjadi sarana bagi para Wali Songo, para tokoh penyebar agama Islam di Jawa.
Selain itu, mukena juga menjadi bentuk inovasi yang dibuat para Wali Songo untuk mengakomodir kebutuhan ibadah wanita muslim yang berpadu dengan budaya yang ada di Indonesia. Meskipun merupakan produk budaya Indonesia, namun secara syariat penggunaan mukena sebagai pakaian wanita muslim saat salat tidak menyalahi aturan.
Dalam Jurnal Studi Kultural Volume 1 yang diterbitkan pada 2 Juli 2016, mukena pertama kalinya dikenalkan oleh Wali Songo pada abad ke-14. Pengenalan mukena kala itu menjadi salah satu upaya Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Baca: Hari Hijab Sedunia 2023; Perjuangan Wanita Muslim Lawan Hijabofobia
Pasalnya dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Jawa saat itu menggunakan kain kemben. Sehingga mukena yang diperkenalkan Wali Songo bisa berfungsi sebagai penutup aurat yang harus tertutup saat menjalankan salat. Pasalnya, menutup aurat memang menjadi salah satu syarat sah salat.
Di satu sisi, Wali Songo juga memperkenalkan mukena sebagai bentuk "jalan tengah" yang mengakomodir Syariat Islam dan budaya yang ada di Jawa. Jalan tengah ini juga sengaja ditempuh Wali Songo untuk menghindari benturan antara syariat Islam dengan budaya yang ada di Jawa.
Pasalnya, benturan budaya itu dapat memantik terjadinya konflik di masyarakat. Selain itu juga, ajaran Islam yang toleran tidak pernah mengajarkan jalan anarkis dalam penyebarannya.
Dengan jalan damai yang ditempuh para wali dalam menyebarkan Islam sesuai ajarannya, membuat agama Islam dapat diterima secara luas, bahkan kini menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Diketahui, mukena yang pertama kali dikenalkan oleh Wali Songo saat itu adalah satu potong pakaian panjang yang menutup kepala hingga mata kaki berwarna putih dan terbuat dari bahan katun. Seiring dengan perkembangan budaya di Indonesia, dari waktu ke waktu bentuk juga mukena mengalami perkembangan.
Mukena tidak lagi di dominasi warna putih polos, berbagai ragam hias turut diaplikasikan untuk mempercantik tampilan mukena. Selain itu, bahan yang digunakannya juga semakin beragam, serta bentuk dan modelnya juga semakin bervariasi.
Tak hanya itu saja, produsen juga menawarkan beragam mukena cantik beraneka warna dan bahan yang nyaman. Hal ini tentunya juga tidak bertentangan dengan agama, malah dianjurkan untuk mengenakan pakaian terbaik dan terindah dalam salat. Sebab salat adalah bentuk komunikasi langsung seorang hamba dengan Tuhannya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di balik bayang-bayang Pulau Jawa yang terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya, terdapat sebuah perayaan tahunan yang telah menyatu dalam jantung kota Solo sejak abad ke-15.
Namanya adalah Sekaten, sebuah tradisi yang menjelma menjadi upacara spektakuler yang memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sejarah panjang Sekaten memiliki akar dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dan tokoh sentral di baliknya adalah Wali Sanga. Mereka, sembilan penyebar agama Islam di Pulau Jawa, menggunakan Sekaten sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam.
Awalnya, Sekaten adalah kelanjutan dari upacara tradisional yang digelar oleh raja-raja Jawa sejak zaman Majapahit.
Ini adalah bentuk upacara selamatan untuk menjaga keselamatan kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, Sekaten berubah menjadi sarana penyebaran agama Islam, terutama di Jawa Tengah. Media utamanya adalah gamelan, alat musik yang sangat digemari oleh masyarakat Jawa.
Baca: Dari Yogyakarta ke Surakarta, Ada Pertemuan Jatisari
Gamelan menjadi jembatan yang menghubungkan Islam dengan seni. Pada awalnya, peringatan Maulid Nabi Muhammad menggunakan rebana, tetapi lambat laun, gamelan mengambil peran penting dalam melantunkan shalawat.
Sekaten di Solo juga dikenal dengan pasar malam yang berlangsung selama sebulan penuh. Acara ini ditandai dengan pengarakan gamelan ke masjid. Sekaten berlangsung dari tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal, dengan gamelan yang terus menerus mengisi udara.
Acara ini mencakup Tumplak Wajik, di mana lagu-lagu khas dimainkan dengan kentongan sebagai tanda dimulainya pembuatan gunungan.
Puncak dari Sekaten adalah Grebeg Maulud, yang diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal. Acara ini menampilkan gunungan yang berisi berbagai jenis makanan dan sayuran, melambangkan kesejahteraan kerajaan. Setelah berdoa, gunungan ini dibagikan kepada masyarakat.
Meskipun sempat vakum selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, Sekaten kini dibuka kembali. Dengan hati terbuka, Solo menyambut pengunjung yang ingin merasakan meriahnya tradisi yang kaya akan sejarah dan kearifan ini.
Baca juga: Adang Sego, Tradisi Menanak Nasi Sewindu Sekali di Kasunan Surakarta
Serla Fadila
Koropak.co.id - Tradisi Sedekah Rawa Pening, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Larungan," adalah salah satu warisan budaya yang kaya dan sakral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di sekitar Rawa Pening, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Tradisi ini telah berlangsung turun temurun dan diadakan sekali setahun pada tanggal 21 Muharam. Dengan penuh kesadaran dan keyakinan, masyarakat setempat menjalankan acara ini sesuai dengan tradisi dan kondisi mereka.
Dilansir dari situs resmi kemendikbud, tradisi Sedekah Rawa Pening adalah ungkapan syukur dan tolak bala kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat di daerah ini mayoritas bekerja sebagai nelayan dan petani, sehingga tradisi ini juga mengandung makna penghormatan kepada para leluhur mereka. Mereka berharap agar terhindar dari musibah dan bencana, serta memohon agar kehidupan dan pekerjaan mereka menjadi lebih baik.
Ritual Sedekah Rawa Pening dimulai dengan melarung nasi tumpeng dan sesaji ke tengah danau. Sebelumnya, ratusan warga berkumpul di rumah Lurah Desa Kebon Dowo, Kecamatan Banyu Biru, Ambarawa.
Baca: Asal Jawa Tengah, Seblak Sudah Ada Sebelum Kemerdekaan?
Di sini, mereka menyiapkan dua nasi tumpeng raksasa dan berbagai sesaji yang akan dilarung ke tengah Danau Ambarawa. Sesaji ini mencakup lauk-pauk seperti daging ayam dan hasil bumi lainnya yang disumbangkan oleh warga.
Setelah sesepuh desa memberikan doa, dua nasi tumpeng dan sesaji tersebut diarak menuju tepi Danau Rawa Pening. Sebelum dilarung ke tengah danau, obor dinyalakan oleh sesepuh desa untuk menerangi prosesi larung. Satu tumpeng dilarung ke tengah danau, sementara tumpeng lainnya menjadi objek rebutan oleh warga.
Tradisi Larungan Rawa Pening ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat setempat tetapi juga pendatang dari berbagai daerah.
Ritual ini adalah bentuk penghargaan dan ungkapan syukur atas rezeki yang mereka terima, terutama bagi mereka yang mencari nafkah di sekitar Danau Rawa Pening. Mereka meyakini bahwa melalui prosesi larung ini, mereka akan terlindungi dari bencana dan musibah sepanjang tahun.
Tradisi Sedekah Rawa Pening bukan hanya menjadi sarana untuk merayakan budaya dan kearifan lokal, tetapi juga untuk mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat.
Ini adalah cara untuk menjaga tradisi budaya yang kaya dan sekaligus menjaga kelestarian Danau Rawa Pening. Ritual ini memberikan ketenangan dan harapan kepada nelayan, petani, dan masyarakat sekitar yang sangat bergantung pada Danau Rawa Pening dalam kehidupan mereka.
Baca juga: Teknologi Kriya Logam, Potret Warisan Budaya Dari Jawa Tengah
Serla Fadila
Koropak.co.id - Tertatih di tengah perkembangan zaman, Istana Balla Lompoa berdiri sebagai monumen peninggalan agung Kerajaan Gowa yang tak lekang.
Konstruksi klasik rumah panggung dengan semburat coklat, memberi kesan keabadian dengan keseluruhan terbuat dari kayu pilihan yang kuat menantang usia.
Saat mata tertuju, tampak usia istana yang menghampiri senja. Namun, semangat untuk menyimpan sejarah tetap terjaga dengan tulisan "Museum Istana Balla Lompoa" di bagian depannya. Meski menjadi museum, keramaian hanya terasa saat ada acara tertentu, atau tamu spesial datang mengunjungi.
Seperti diceritakan oleh Kepala Museum Balla Lompoa, A Makmum Bau Tayang, pada sebuah wawancara dengan Kompas, banyak cerita mistik yang mengitari bangunan ini, khususnya di lantai atas.
Penjuru Istana Balla Lompoa menyimpan harta karun sejarah Kerajaan Gowa. Di antaranya terdapat mahkota, bendera, tombak, dan pakaian raja. Bahkan naskah lontar, yang menceritakan kisah masa lalu, terjaga di sini.
Baca: Istana Dalam Loka Sumbawa dan Spirit Syariat Islam
Didirikan pada 1936 oleh Raja Gowa ke-31, Mangngi-mangngi Daeng Matutu, Balla Lompoa pernah menjadi rumah bagi dua penguasa, yaitu I Mangngi-mangngi Daeng Matutu dan Raja Gowa ke-32, Idjo Daeng Mattawang.
Sebelumnya, Andi Makkulau, raja sebelum Matutu, memilih kediamannya di Jalan Kumala Makassar sebagai istana. Istana ini, dengan konstruksi utama sebesar 60 x 40 meter dan ruang penerima tamu seluas 40 x 4,5 meter, merupakan bukti kecintaan mereka pada kayu ulin—bahan yang handal dalam menghadapi cuaca tropis.
Namun, paradoksnya, masyarakat lebih memilih untuk mengunjungi replika peninggalan Kerajaan Gowa di Museum La Galigo di Benteng Fort Rotterdam. Tantangan bagi pengelola Balla Lompoa adalah mengembalikan istana ke kejayaannya.
Keturunan Raja Gowa ke-32, A Kumala Idjo, mengungkapkan rencana untuk memberikan pengalaman wisata berbeda bagi pengunjung. Dia berharap para wisatawan dapat merasakan bagaimana menjadi tamu kerajaan dengan layanan khas zaman kerajaan di Istana Balla Lompoa.
Dalam era di mana modernitas menyapu semuanya, Balla Lompoa tetap berdiri, mengajak kita untuk mengenang dan menghargai jejak langkah nenek moyang kita di tanah Nusantara.
Baca juga: Benteng Fort Rotterdam, Saksi Bisu Kejayaan Kerajaan Gowa
Serla Fadila
Koropak.co.id - Tanggal 22 September tahun ini adalah momen sakral perayaan Bhatara Sri. Sebuah kesempatan langka untuk merasakan keindahan dan keagungan tradisi.
Memandang jauh ke masa lalu, ada jejak yang tertanam, dan hari ini menjadi peringatan bagi mereka: Hari Bhatara Sri. Sebuah lentera tradisi, bersinar dalam peradaban Hindu-Buddha di Bali, menceritakan tentang Bhatara Sri, dewi kemakmuran yang menyinari jalan masyarakat Bali menuju rejeki.
Sebuah wuku bernama Merakih, berpadu dengan Saptawara Sukra dan Pancawara Umanis, menjadi tanda waktunya untuk merenung dan memperingati.
Dilansir dari goodnewsfromindonesia.id, menyelam ke dalam sejarah, Bhatara Sri dengan pesona kharismatiknya, tumbuh sebagai simbol kuasa dan keberkahan. Bagi masyarakat Bali Ia adalah pilar kehidupan, pelindung semesta, serta penyelaras antara alam dan umat manusia.
Setiap tatapan yang jatuh pada ritual upacara keagamaan Bali adalah refleksi penghormatan mendalam terhadap Bhatara Sri. Melalui tarian, musik, dan pujaan, masyarakat memuliakan-Nya. Simbol-simbol seperti tongkat, topi, dan pedang, menghiasi gambaran Bhatara Sri, mewakili keagungan dan kekuatan-Nya.
Berbagai epos dan mitos membentang di Bali, menuturkan kisah-kisah Bhatara Sri, dewi yang bagi sebagian orang bisa membawa hujan dan memimpin arus air.
Dalam banyak upacara, Ia digambarkan bersanding dengan Dewi Sri, dewi keberuntungan, sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Baca: Sejarah Hari Raya Kuningan, Sudah Dirayakan Umat Hindu Sejak 1.200 Tahun Silam
Ritual dengan gamelan dan tarian tradisional adalah sajian utama. Setiap langkah, setiap gerakan tari, adalah doa yang dipanjatkan, semakin mendekatkan umat dengan Dewa. Setiap bunga, makanan, dan minuman yang dipersembahkan, adalah ungkapan syukur dan harapan.
Seiring derap tarian dan alunan musik, aroma bunga yang dibakar semakin menambah kentalnya atmosfer sakral. Setelah itu, tarian bersama pun dimulai, mendoakan kesejahteraan dan berharap keberkahan.
Tidak jarang, pertunjukan wayang menjadi bagian dari persembahan, menuturkan kisah-kisah epik dalam rangkaian ritual yang dipimpin oleh pemuka agama di pura atau kuil.
Ritual Bhatara Sri, lebih dari sekedar upacara, adalah momen bagi umat Hindu untuk berkumpul, mengikat kembali tali persaudaraan, dan saling berbagi cerita serta pengalaman.
Ritual ini adalah jembatan menuju masa lalu, mengingatkan akan kekuatan tradisi Hindu di Indonesia dan bagaimana ritual mampu menghubungkan manusia dengan Dewa.
Sebagai penutup, perayaan Bhatara Sri, yang juga menjadi bagian dari Nyepi, mengajarkan bahwa keberadaan dan pengaruh Bhatara Sri adalah takdir yang ditulis dalam emas dalam budaya Hindu di Indonesia.
Melalui Bhatara Sri, tradisi dipelihara, hubungan spiritual diperkuat, dan ikatan batin dipererat, menciptakan harmoni di antara penganut.
Baca juga: Sambut Hari Nyepi, Umat Hindu Mataram Gelar Perang Api
Serla Fadila
Koropak.co.id - Telusuri jejak masa lalu di Negeri Mamala, tersemat sebuah tradisi adat yang menyimpan misteri dan simbolisme mendalam bernama Tradisi Adat Baku Pukul Manyapu. Ritual ini menceritakan latar belakang perjuangan dan keyakinan masyarakat Mamala di masa lalu.
Dilansir dari situs resmi Kemendikbud, ceritanya bermula saat warga Mamala menghadapi tantangan besar pasca-perang Kapahaa (1637-1646), suatu peristiwa tragis yang mengoyak bumi Maluku, kolonialis Belanda memerintahkan penduduk untuk merelokasi pemukimannya ke pesisir.
Tujuannya jelas supaya masyarakat dapat diawasi dengan lebih mudah oleh mereka. Memenuhi perintah itu, masyarakat Mamala membangun pemukiman baru, termasuk sebuah masjid yang menjadi pusat kehidupan rohani mereka.
Namun, muncul masalah ketika masjid tersebut harus dibangun tanpa "Ping" atau paku dalam menyambung kayu-kayu bangunan.
Seorang pemimpin rohani Mamala saat itu bernama Imam Tuni, beliau memainkan peran krusialnya dengan berpuasa guna mencari solusi. Dalam mimpinya ketika menjalankan puasa, beliau diberitahu untuk menggunakan minyak "Nyualaing Matetu" atau "Tasala", sejenis minyak yang ternyata memiliki kegunaan luar biasa.
Baca: Lebih Dekat Dengan Ritual Adat Muang Jong
Ketika masjid lama di desa itu dibongkar, benar saja ditemukan potongan kain putih yang membasahi setiap sambungan kayu sebagai bukti otentik dari cerita rakyat ini.
Minyak ini, yang dihargai oleh masyarakat Ambon dan Maluku sebagai minyak Mamala. Dalam dunia medis, sentuhan minyak ajaib ini dipercaya ampuh sebagai obat patah tulang dan keseleo.
Akhirnya, untuk menghormati penemuan dan keberhasilan ini, masyarakat Mamala merayakannya dengan Tradisi Adat Baku Pukul Manyapu setiap 7 Syawal, mengikuti hadits Nabi Muhammad SAW.
Dalam pelaksaannya, atraksi budaya “ Baku Pukul Manyapu “ atau yang sering disebut oleh masyarakat Morella dengan sebutan “ Palasa “ yang artinya saling memukul pada badan hingga mengeluarkan darah antara dua kelompok dengan sapu lidi dari pohon enau.
Baca juga: Atraksi Apen Bayeren Semarakkan Festival Danau Sentani Papua
Serla Fadila
Koropak.co.id - Dalam hening senja di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, gemerlap semangat pejuang terpancar dari mata para penari yang tengah mempersiapkan diri.
Di tengah gemuruh tepuk tangan memasuki arena Tarian Caci, sebuah tarian perang khas Manggarai yang bukan sekadar hiburan, namun juga simbol identitas dan kebanggaan masyarakat.
Dilansir dari kompasiana.com, sejarah mencatat bahwa Tarian Caci bukanlah hasil kreasi sesaat, melainkan sebuah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari tradisi leluhur Manggarai.
Dimulai dari ritual uji keberanian dan ketangkasan antar laki-laki, Tarian Caci menjadi kesenian yang kini dipersembahkan dengan musik, gerakan, dan syair.
Nama 'Caci' sendiri meresapi makna filosofis: 'ca' yang berarti 'satu' dan 'ci' yang artinya 'uji'. Maka, Caci menjadi arena bagi pemuda Manggarai untuk mengukir jejak keberanian, menunjukkan kemampuan dalam satu lawan satu, serta meraih gelar sebagai penari terbaik.
Baca: Mengenal Tari Suanggi, Tarian Mistis dan Magis dari Papua
Namun, jangan salah sangka. Meski terkesan penuh dengan kekerasan, Tarian Caci sejatinya sarat dengan nilai-nilai luhur. Di balik setiap cambukan dan teriakan, ada sportivitas, rasa hormat, serta pemahaman bahwa dendam bukanlah bagian dari permainan ini.
Penari Caci, dengan pecut (larik) dan perisai (nggiling) mereka, tampil perkasa dalam kostum tradisionalâpakaian perang berwarna putih, sarung songke, dan topeng atau hiasan kepala (panggal) dari kulit kerbau.
Kain songke yang dililitkan di pinggang mencerminkan identitas Manggarai, sementara hiasan kepala melindungi dari cambukan lawan.
Dalam setiap goresan luka yang tercipta dari cambuk, tersembunyi rasa bangga dan penghormatan. Bagi masyarakat Manggarai, luka tersebut bukanlah bekas dari pertempuran, melainkan tanda kehormatan dan maskulinitas.
Dari momen syukuran panen hingga upacara adat besar, Tarian Caci menjadi bagian yang tak terpisahkan. Melalui tarian ini, masyarakat Manggarai tidak hanya mengungkapkan kegembiraan, namun juga berbagi pesan tentang keberanian, persaudaraan, dan cinta kepada tanah leluhur.
Sebuah tarian yang menjadi bukti bahwa tradisi dan modernitas bisa bersatu, dan mengajarkan kita tentang kekayaan budaya Indonesia.
Baca juga: Tari Seblang, Tarian Sakral Pemanggil Roh Leluhur dari Banyuwangi
Serla Fadila
Koropak.co.id - Pada saat senja menyapa bulan Juni tahun 1938, dari balik kaca pesawat yang membelah angkasa, mata Richard Archbold disambut dengan keindahan sebuah lembah tersembunyi di Lembah Baliem.
Sebuah lembah yang dijuluki sebagai "Grand Baliem Valley", tempat dimana waktu seakan-akan berhenti dan sejarah memainkan nafasnya. Lembah yang ditinggali oleh Suku Dani, berada di ketinggian yang menawarkan kesejukan udara serta ditutupi dengan kabut mistis.
Namun, di balik keindahan panorama alam tersebut, tersimpan kisah-kisah heroik, romansa, dan dendam turun-temurun yang diceritakan melalui tradisi perang antar suku.
Dilansir dari beritapapua.id, sebuah tarian kekuatan, keberanian, dan semangat yang disajikan oleh Suku Dani, Lani, dan Yali. Mereka berperang, bukan hanya karena perebutan kekuasaan atau egoisme, melainkan untuk menjaga keseimbangan kehidupan dan menghormati arwah leluhur mereka.
Baca: Atraksi Apen Bayeren Semarakkan Festival Danau Sentani Papua
Ditengah peradaban yang semakin modern, masyarakat Lembah Baliem masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Mereka memelihara mumi sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi besar bagi komunitas mereka, dengan proses yang kental dengan nuansa spiritual dan alami.
Festival Lembah Baliem, yang dimulai pada tahun 1989, kini menjadi saksi bisu bagaimana ketiga suku tersebut menyatukan kekuatan mereka dalam sebuah perayaan.
Diadakan setiap bulan Agustus, festival ini tidak hanya menjadi pertunjukan kekuatan, namun juga refleksi atas rasa cinta dan kebanggaan terhadap tanah leluhur.
Seperti sebuah sinfonia, kehidupan di Lembah Baliem adalah komposisi dari berbagai nada - dari ketegangan perang hingga keharmonisan festival. Sebuah melodi yang terus berkumandang, mengajak kita untuk memahami makna sejati dari keberagaman dan kekayaan budaya.
Baca juga: Tari Sajojo, Warisan Budaya Leluhur Papua Barat
Serla Fadila
Koropak.co.id - Sebuah aroma khas dan deretan botol di luar lapak pedagang, menyuguhkan gambaran tentang minuman tradisional yang mendapat tempat khusus di hati masyarakat NTT, Maluku, hingga Papua.
Dilansir dari situs resmi indonesia.go.id, Sopi, atau yang lebih dikenal dengan nama 'zoopje' dari bahasa Belanda dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tapestri budaya Indonesia.
Di sebuah kecamatan di Pulau Flores, Aimere, kabut pagi menyisir antara barisan pohon dan rumah penduduk. Di sini, aroma sopi "BM" atau Bakar Menyala, bisa dengan mudah tercium.
Sementara penduduk setempat tengah memastikan kualitas Sopi dengan menyulut api di atasnya, api menyala mengindikasikan bahwa Sopi telah memenuhi "sertifikasi" tradisional.
Sebagai informasi tambahan, ada beberapa daerah lain di NTT menyebut Sopi dengan nama Moke, perbedaan ini terdapat dari teknik penyulingan. Meski begitu, esensinya tetap sama yaitu sebagai cairan beralkohol yang disadap dari pohon lontar.
Pelegalan Sopi bukan hanya menunjukkan komitmen pemerintah daerah terhadap pengembangan produk lokal, tetapi juga menempatkan Sopi sejajar dengan Sake dari Jepang atau Vodka dari Rusia. Sopi seakan mengajak dunia untuk merasakan keunikan dan kedalaman budaya Nusantara melalui setiap tegukannya.
Baca: Arak Bali, Dari WBTb Indonesia Hingga Jadi Suvenir KTT G20
Budaya minum Sopi yang berkembang di desa-desa di pegunungan menunjukkan bagaimana minuman ini, bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sumber kehidupan. Sejarah mencatat bagaimana Sopi atau tuak, menjadi alternatif air minum ketika sumber air bersih langka.
Dalam perjalanan sejarahnya, Sopi memiliki kisah-kisah menarik yang terkait dengan ritual dan upacara adat. Ritual manulangi, upacara adat bagi masyarakat Lembata, adalah salah satu di antaranya. Dalam ritual ini, tuak digunakan sebagai simbol penghormatan bagi leluhur.
Dengan pelegalan Sopi, membuka peluang bagi tuak, minuman tradisional lainnya dari Sumatra Utara, untuk mendapat pengakuan yang sama.
Tuak memiliki keterkaitan mendalam dengan budaya Suku Batak, baik sebagai sajian dalam upacara adat maupun sebagai minuman yang menghangatkan setelah beraktivitas.
Akan tetapi, seperti pedang bermata dua, konsumsi berlebihan tuak telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Namun dengan edukasi yang tepat, masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari tuak tanpa harus menghadapi dampak buruknya.
Dengan memandang Sopi dan tuak bukan hanya sebagai minuman, tetapi sebagai bagian dari sejarah dan warisan budaya, kita diingatkan akan kekayaan dan keragaman Indonesia. Sebuah kekayaan yang harus dihargai, dilestarikan, dan diperkenalkan kepada generasi mendatang.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Yuli Riza
Koropak.co.id - Tari Kebagh, atau dikenal juga sebagai Tari Semban Bidodari, merupaka tarian dari daerah Besemah, Indonesia. Tarian ini merupakan salah satu tarian adat tertua yang berasal dari daerah Besemah, terutama dikenal di daerah Kota Pagar Alam, yang merupakan pusat daerah Besemah.
Tarian ini konon sudah ada sejak zaman kejayaan Puyang Serunting Sakti pada abad ke-14 Masehi. Puyang Serunting Sakti dikenal sebagai sosok yang memiliki kekuatan dalam kata-katanya, dan apa yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan. Karena itulah, ia sangat bijaksana dalam berbicara.
Sejarah tarian ini berhubungan dengan Puyang Serunting Sakti dan istrinya, Puyang Bidadari Bungsu. Saat suatu acara perkawinan yang dihadiri oleh keduanya, istrinya diminta untuk menari dengan syarat bahwa selendang miliknya yang telah dirampas oleh Puyang Serunting Sakti harus dikembalikan untuk digunakan saat menari.
Istri Puyang Serunting Sakti yang memukau semua orang dengan kecantikan dan keahliannya menari akhirnya melayang ke kahyangan dan meninggalkan bumi, meninggalkan semua orang terpesona. Pada awalnya, tarian ini dikenal sebagai Tari Semban Bidodari, yang berarti selendang besar yang digunakan oleh seorang bidadari saat menari.
Baca: Tari Payung Minangkabau, Gambaran Kasih Sayang dan Perlindungan untuk Sang Kekasih
Meskipun pada awalnya tari ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda hingga tahun 1900-an, masyarakat Besemah tetap melestarikannya dari generasi ke generasi. Tari Semban Bidodari atau Kebagh memiliki makna sakral, dan sebelum menarinya, para penari melakukan ritual dengan menaburkan beras kunyit sebagai bentuk penghormatan kepada sang bidadari yang akan menari.
Tari ini hanya ditarikan oleh perempuan, dan tidak ada batasan jumlah penari. Tari ini biasanya ditarikan pada acara-acara khusus, terutama untuk menyambut tamu terhormat.
Pada tahun 1950-an, tari Semban Bidodari lebih dikenal dengan nama tari Kebagh, mengacu pada gerakan membuka tangan yang menyerupai sayap atau tangan yang terbentang. Nama ini dipilih oleh ketua adat Besemah pada saat itu.
Kemudian pada 1952, tari Kebagh bahkan ditampilkan saat kunjungan Presiden RI, Ir. Soekarno, ke Kota Pagar Alam. Pada tahun 2002, tari ini dibakukan dan menjadi ciri khas tarian sambut di daerah Besemah, terutama Kota Pagar Alam. Sejak itu, tari Kebagh semakin dikenal dan diakui sebagai salah satu warisan budaya yang indah dari daerah Besemah, Sumatera Selatan.
Silakan tonton berbagai video menarik disini:
Serla Fadila
Koropak.co.id - Bayangkan sebuah tradisi yang mampu menggugah rasa penasaran setiap mata yang menyaksikannya. Kawin Tangkap, sebuah tradisi kuno Sumba, bukanlah sekadar ritual pernikahan, tetapi cerita tentang cinta, kehormatan, dan kekayaan budaya yang mendalam.
Dilansir dari tripsumba.com, pada masa lalu, kawin tangkap bukanlah suatu tindakan sembarangan. Hanya keluarga kaya raya yang mampu melaksanakannya karena terkait dengan mahar yang tinggi.
Setiap detail direncanakan dengan cermat, perempuan yang akan ditangkap memakai pakaian adat penuh, sementara sang pria, berbalut pakaian tradisional, berdatangan dengan kuda Sumba yang anggun.
Setelah perempuan 'ditangkap', keluarga pria menunjukkan tanda hormat dengan memberikan kuda dan parang Sumba kepada keluarga perempuan. Ini bukan hanya ritual, tetapi sebuah ungkapan hormat dan penghormatan.
Baca: Era Modern vs Kawin Tangkap, Sorotan atas Tradisi Pernikahan di Sumba
Namun, menurut jurnal Sagacity, kawin tangkap awalnya adalah solusi bagi mereka yang terhalang oleh mas kawin atau belis yang tinggi.
Terlepas dari berita simpang siur tentang tradisi ini, sebagian percaya bahwa kawin tangkap dianggap sebagai warisan budaya yang murni, meskipun yang lain melihatnya sebagai praktik yang perlu dikaji ulang.
Inilah kesempatan emas untuk menyelami tradisi Sumba yang otentik. Bayangkan menyaksikan proses pernikahan Sumba dengan semua upacara dan tradisinya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Serla Fadila
Koropak.co.id - Papua menyimpan beragam kekayaan alam yang belum terjamah, salah satunya adalah "Udang Selingkuh" yang telah menjadi mahkota kuliner daerah tersebut. Ukurannya yang jauh lebih besar daripada spesies udang lainnya menjadikannya sebuah misteri yang memikat.
Bermula pada 1961, seorang pemandu senior di Wamena memperkenalkan bibit udang ini di Sungai Baiem, khususnya di bagian hulunya. Sejak saat itulah, Sungai Baleim menjadi rumah bagi udang selingkuh, yang berkembang pesat dan memanjakan para penduduk lokal dengan kelezatannya.
Menjadi sumber protein utama sejak 1987, udang selingkuh menempati posisi istimewa dalam hati masyarakat Jayawijaya. Selain memiliki rasa yang manis, udang ini juga menawarkan sensasi rasa yang khas dan memikat, mirip dengan kepiting.
Namun, keistimewaan ini datang dengan harga. Keberadaannya yang langka dan eksklusif membuat udang selingkuh menjadi komoditas yang berharga. Harganya yang bisa mencapai Rp. 1 juta di luar musim menunjukkan betapa berharganya udang ini.
Baca: Sate Ulat Sagu, Kuliner Tertua Khas Papua
Bagi para pencinta kuliner yang ingin menikmati kelezatan udang selingkuh, Kota Wamena menyuguhkan lima restoran pilihan yang siap memanjakan lidah Anda. Selain itu, bagi yang berminat mencicipi dalam bentuk mentah, Pasar Jimbama menawarkan pilihan udang terbaik langsung dari penduduk lokal.
Yang paling menarik, tim peneliti Balai Arkeologi Papua menemukan udang selingkuh di Goa Togece, sebuah tempat yang dianggap eksklusif bagi spesies ini.
Udang di gua tersebut memiliki ciri khas berbentuk yang menyerupai udang dengan cakar besar layaknya kepiting. Hal ini memberikan sentuhan unik pada udang ini, dan diyakini sebagai hasil "perselingkuhan" antara udang dan kepiting.
Dengan warna tubuh transparan dan ukuran yang mencapai 1,5 cm, udang ini menjadi keajaiban alam yang menggiurkan. Goa Togece, dengan kegelapan dan sumber air tawarnya, menjadi rumah yang sempurna bagi udang selingkuh untuk berkembang.
Jadi, bagi Anda yang penasaran dengan rasa dan keistimewaan udang selingkuh, Papua menantimu dengan janji petualangan kuliner yang tak terlupakan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eris Kuswara
Koropak.co.id - Olahraga tradisional selalu memiliki daya tarik unik yang menghubungkan masyarakat dengan warisan budaya mereka. Salah satu olahraga tradisional yang sangat menarik adalah "Paku Sukha," yang merupakan kegiatan yang masih dilestarikan di daerah Lampung Barat.
Paku Sukha adalah salah satu olahraga tradisional yang memiliki akar dalam budaya Lampung Barat, Provinsi Lampung.
Namanya sendiri, "Paku Sukha," memiliki arti dalam bahasa Lampung, yaitu "Paku" yang berarti "paku" dan "Sukha" yang berarti "berani" atau "berani melawan." Olahraga ini menggambarkan keberanian dan semangat dalam budaya masyarakat Lampung Barat.
Paku Sukha memiliki sejarah yang panjang dan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Lampung Barat. Awalnya, olahraga ini dimainkan sebagai bentuk latihan fisik dan persiapan perang oleh prajurit Lampung Barat.
Namun, seiring berjalannya waktu, Paku Sukha berkembang menjadi olahraga yang dimainkan oleh masyarakat umum dalam berbagai kesempatan seperti perayaan tradisional, pernikahan, dan festival budaya.
Permainan ini dimainkan oleh dua pemain atau dua kelompok yang saling berhadapan. Pemain menggunakan alat berbentuk paku berbahan kayu atau besi yang berukuran sekitar 25 hingga 30 cm. Masing-masing pemain atau kelompok memiliki satu paku sebagai senjata mereka.
Tujuan utama dalam Paku Sukha adalah untuk mencoba menangkap paku lawan sambil menghindari agar paku milik mereka sendiri tidak ditangkap oleh lawan.
Baca: Tak Seseram Namanya, Tari Kiamat dari Lampung Punya Makna Baik
Permainan ini biasanya memiliki aturan tertentu yang melibatkan strategi, kecepatan, dan refleks. Pemain harus bergerak dengan cermat, mencoba menangkap paku lawan, dan pada saat yang sama, menjaga agar paku mereka tidak ditangkap.
Olahraga Tradisional Khas Lampung Barat ini biasanya dimainkan di lapangan yang datar dan cukup luas. Pertandingan ini sering kali menjadi tontonan yang mendebarkan, di mana pemain berusaha keras untuk mengalahkan lawan mereka dengan skill dan strategi terbaik.
Paku Sukha merupakan bagian penting dari warisan budaya Lampung Barat. Ini bukan hanya sekadar olahraga, tetapi juga simbol dari semangat, keberanian, dan persatuan masyarakat Lampung Barat.
Meskipun dunia modern telah membawa perubahan dalam gaya hidup dan hiburan, pelestarian olahraga tradisional seperti Paku Sukha adalah kunci untuk menjaga identitas budaya yang kaya.
Pemerintah, lembaga budaya, dan komunitas setempat harus bekerja sama untuk melestarikan dan mempromosikan Paku Sukha. Melalui upaya ini, generasi muda dapat menghargai kekayaan budaya mereka dan tetap terhubung dengan akar budaya mereka.
Paku Sukha juga menjadi contoh yang menarik dari bagaimana olahraga tradisional terus hidup dan menjadi bagian integral dari budaya suatu daerah.
Dengan upaya pelestarian yang tepat, Paku Sukha dan olahraga tradisional lainnya dapat terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, memperkaya kebudayaan Indonesia dan mempromosikan persatuan dalam keberagaman.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: