Koropak.co.id – Pria ini namanya Hassan. Namun, lantaran dalam budaya keturunan India di Singapura ada kelaziman menuliskan nama keluarga atau orang tua di depan nama diri, maka namanya berubah menjadi Ahmad Hassan atau A. Hassan.
Pria kelahiran Singapura, 31 Agustus 1887, itu merupakan putra dari pasangan Ahmad Sinna Vappu Maricar dan Muznah. Kendati keduanya berdarah India, Muznah lahir dan besar di Surabaya. Tak heran, pernikahan keduanya dilangsungkan di Surabaya. Setelah menikah, mereka pindah dan menetap di Singapura.
Sejak remaja, Ahmad Hassan sudah mencari nafkah dengan menjadi pelayan toko dan berdagang. Di tengah kesibukannya, ia tak lupa menimba ilmu agama dengan mendatangi banyak guru. Lantaran dipandang memiliki ilmu agama, ia diminta untuk mengajar di madrasah.
Suami dari Maryam dan ayah tujuh anak itu pun sempat bekerja di surat kabar “Utusan Melayu” yang diterbitkan Singapura Press. Ia pun rajin menulis seputar masalah agama, dan dimuat di media massa setempat.
Pada usianya yang ke-34 tahun, 1921, Hassan bertolak ke Surabaya untuk menjalankan usaha tekstil. Selama di Surabaya, ia tidak berbisnis semata, tapi juga mendalami ilmu agama. Beberapa tokoh pernah ia datangi, satu di antaranya adalah K.H. Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.
Untuk mengembangkan usahanya, pada 1924 Hassan berangkat ke Bandung dengan tujuan belajar ilmu menenun. Selama di Bandung, ia tinggal di rumah Muhammad Yunus, pengusaha asal Palembang. Di sinilah ia mulai mengenal Persis atau Persatuan Islam.
Diketahui, Persis didirikan Muhammad Yunus dan Zamzam pada 12 September 1923. Ini menjadi fakta yang menarik. Didirikan di Bandung oleh orang Palembang, Persis dibesarkan oleh Ahmad Hassan yang berasal dari Singapura, dan berhasil melahirkan tokoh-tokoh besar berdarah Minangkabau, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary.
Kehadiran Ahmad Hassan di Persatuan Islam membuat roda organisasi jadi bergerak cepat. Salah satu metode dakwah yang digunakannya adalah berdebat. Ia sering berdebat dengan tokoh-tokoh besar, seperti K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Mama Ajengan Gedong Pesantren Sukamiskin, ketua Nahdlatul Ulama, termasuk dengan Presiden Soekarno yang berbeda pikir tentang Islam dan nasionalisme.
Namun, perdebatan itu tidak melahirkan permusuhan yang tajam. Saat berdebat, ia kerap terlihat garang hingga dijuluki singa podium. Namun, kegarangannya itu tidak tampak lagi setelah turun dari podium. Debat boleh berlangsung panas, tapi setelah acara selesai harus langsung dingin.
Baca: Menengok Sejarah Panjang Lahirnya Nahdlatul Ulama di Indonesia
Kendati bukan pendiri, Ahmad Hassan disebut sebagai guru utama Persatuan Islam lantaran berwawasan luas dan teguh pendirian. Walaupun tidak pernah menjadi ketua umum, keberadaannya di Persatuan Islam memberikan pengaruh besar.
Selain membidik masalah keagamaan, seperti bidah, khurafat dan yang lainnya, Ahmad Hassan juga menyoroti beragam persoalan yang dialami bangsa. Salah satu sikapnya yang jadi perbincangan adalah penolakannya terhadap asas kebangsaan yang dijadikan landasan partai politik.
Ia pun berseberangan pikir dengan Soekarno ketika meletupkan nasionalisme. Hassan menilai, nasionalisme yang digaungkan Soekarno dan tokoh lainnya merupakan paham kebangsaan yang berlebihan, netral dari agama, bahkan antiIslam. Seharusnya, kecintaan kepada bangsa dan tanah air mesti berlandaskan Islam yang menjadi asas perjuangan.
Setelah cukup lama tinggal di Bandung, pada awal tahun 1940-an, Ahmad Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan pesantren. Selain mengajar, ia juga masih aktif menulis hingga berhasil menyusun “Al-Furqon Tafsir Qur’an”.
Langkah pergerakan Ahmad Hassan dalam memerjuangkan Islam berhenti setelah Sang Khalik memanggilnya pulang pada 10 November 1958. Ia meninggal dunia pada usia 71 tahun.
Selain “Al-Furqon Tafsir Qur’an” semasa hidupnya ia telah menulis puluhan buku, seperti Pengajaran Shalat, Risalah Jum’at, Debat Talqin, Surat-Surat Islam dari Endeh, Kesopanan Islam, Dosa-Dosa Yesus, Adakah Tuhan? dan lain-lain.
Kini, sejak didirikan pada 1923, Persis yang berpusat di Bandung telah berkembang dan punya banyak cabang di seluruh Indonesia, seperti di Lampung, Gorontalo, Banten, Jakarta, Jawa Timur dan daerah lainnya. Di luar negeri pun Persis punya cabang, di antaranya di Kairo, Maroko, dan Singapura.
Dari awal hingga sekarang Persis masih konsisten di jalan dakwah dalam menegakkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.
Baca juga: Milad Ke-109 Tahun, Muhammadiyah Jadi Organisasi Pergerakan Islam