Koropak.co.id – Masyarakat Indonesia bakal memilih Presiden baru melalui pemilihan umum yang akan dilangsungkan pada 2024. Sejumlah nama sudah santer disebut, dan beberapa di antaranya dipastikan bakal menjadi calon yang telah diusung partai-partai politik.
Di republik ini, suksesi kepemimpinan seperti itu sudah terjadi sejak era kerajaan. Salah satunya dipaparkan dalam naskah Carita Parahyangan yang ditulis sekitar tahun 1580 masehi. Dalam naskah Sunda kuno itu diceritakan penggantian raja di kerajaan-kerajaan di tanah Sunda, seperti Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Agus Heryana, dalam jurnal Patanjala edisi Juni 2014, memaparkan penyebab-penyebab penggantian seorang raja, di antaranya karena gering lampah atau salah perilaku, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa atau sebab kelakuannya senang merusak kebaikan, ngarampas tanpa rasrasan atau merampas hak orang tanpa perikemanusiaan, dan ngahina pandita atau menghina kaum agamawan.
Menurutnya, salah satu intisari dari amanat Carita Parahyangan adalah soal keruntuhan sebuah kerajaan yang disebabkan pemimpinnya tidak berorintasi pada kehidupan akhirat. Mereka lebih mementingkan kesenangan pribadi ketimbang kesejaheraan rakyatnya.
Soal kepemimpinan, dalam naskah Carita Parahyangan mengisyaratkan empat syarat yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Syarat pertama adalah memiliki kekuatan. Seorang pemimpin selalu berhubungan dengan kekuasaan yang diperolehnya melalui kekuatan atau kemampuan dirinya.
Kedua, pemimpin harus sehat jasmani rohani. Sehat jasmani berarti tidak cacat badan dan sehat rohani bisa membedakan baik dan buruk, salah dan benar. Naskah Carita Parahyangan menginformasikan dua orang raja yang gagal naik takhta disebabkan cacat tubuh, yaitu Rahiang Sempakwaja dan Rahiyang Kidul.
Ketiga, pendidikan. Keberhasilan seorang pemimpin erat kaitannya dengan pendidikannya, dan sangat bergantung pada kualitas guru.
Syarat keempat adalah musyawarah sebagai jalan mencapai kesepakatan dalam mengambil keputusan.
Dalam tulisannya itu, Agus Heryana memaparkan, Niskala Wastukancana tidak akan menjadi besar dan wangi namanya jika ia tidak didik oleh seorang guru yang saleh, yaitu Sang Bunisora. Ia ditinggal wafat ayahnya, Prabu Linggabuana, pada usia 9 tahun.
Ayahnya meninggal pada peristiwa Bubat tahun 1357 masehi. Usia yang masih muda tidak memungkinkan menjabat kedudukan sebagai Raja Sunda. Oleh karena itu, pemerintahan dipegang oleh pamannya, Sang Bunisora.
Baca: Selir dan Ki Seh Bodin; Sepenggal Cerita dalam Babad Sinelan Nasekah
Ia sangat tekun mendalami agama sehingga dipandang sebagai seorang raja-pendeta. Penulis Carita Parahyangan menggelarinya satmata. Menurut kropak 630 tingkat batin manusia dalam pendalaman agama adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, surakloka, dan nirawerah.
Satmata adalah tingkat kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam, surakloka, orang sudah menertawakan dunia, dan pada tingkat ketujuh, nirawerah, akan padamlah segala hasrat dan nafsu.
Setelah berusia 23 tahun, Wastukancana naik takhta menggantikan Bunisora. Ajaran yang ditingggalkanya adalah membiasakan diri berbuat kebajikan dan mendorong kesejahteraan sejati.
Selain Wastukancana, ada raja lain yang menonjol dan dianggap berhasil dalam kepemimpinannya, yaitu Prabu Darmasiksa. Ia adalah tokoh yang meletakkan dasar-dasar pandangan hidup secara tertulis berupa nasihat yang dikenal dengan sebutan Amanat Galunggung.
Salah satu amanatnya adalah harus bersama-sama mengerjakan kemuliaan melalui perbuatan, ucapan, dan itikad yang bijaksana. Selain itu kuat pendirian, tidak mudah terpengaruh, dan berkonsentrasi pada cita-cita yang ingin dicapai.
Ia pun mengamanatkan untuk tidak merasa diri yang paling benar, jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti orang yang tidak bersalah, dan jangan berebut kedudukan.
Sementara itu, dalam ajaran Sanghyang Siksakandang Karesian ditekankan tentang pentingnya berpegang teguh pada kebenaran dalam menjalankan setiap tugas. Hal itu diperlukan untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.
Ajaran lainnya adalah seseorang yang melakukan tugas demi kebajikan dan kesejahteraan harus rela dan bersedia menerima kritik dari orang lain. Kritik itu ibarat air untuk mandi bagi orang yang dekil, ibarat minyak bagi orang yang burik, bagaikan nasi bagi orang yang lapar, bagaikan air minum bagi orang yang sedang haus, dan ibarat sirih pinang bagi orang yang sedang kesal.
Bila pancaparisuda atau lima penawar yang terdapat dalam kritik diterima dengan baik, seorang pemimpin akan seperti padi yang runduk atau tunduk karena berat berisi.
Baca juga: Raja Galuh di Kala Banjir Nabi Nuh: Tutur Purwaning Jagat