Koropak.co.id – Media dakwah dari masa ke masa tidak pernah surut. Ia selalu ada di setiap perkembangan zaman. Dulu, saat media massa cetak merupakan primadona yang paling memberikan pengaruh, para aktivis dakwah menggunakannya untuk syiar Islam.
Seperti yang dilakukan para tokoh dari Minangkabau, yakni Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, Sutan Muhammad Salim, dan Muhammad Thaib. Mereka membuat majalah bernama Al-Munir pada 1911, dan itu disebut-sebut sebagai majalah Islam pertama di Indonesia.
Kala itu, majalah atau media cetak lainnya bukan surat kabar yang berfungsi menginformasikan beragam peristiwa semata, tapi lebih dari itu. Majalah atau surat kabar dimanfaatkan sebagai media adu pikir, berdebat saling asah gagasan di antara orang-orang berpengaruh yang berbeda sikap.
Selain ceramah mimbar, majalah merupakan media dakwah yang paling efektif. Bukan hanya bisa didokumentasikan, majalah juga mampu menyebar hingga pelosok dan menyasar banyak kalangan. Tak jarang, majalah menjadi “arena pertempuran” di antara dua pihak yang berbeda pikir.
Begitupun dengan al-Moenir. Kehadiran majalah yang terbit perdana pada awal April 1911 itu membuat gejolak sosial di Sumatra Barat. Tulisan-tulisannya dianggap melawan kebiasaan, lantaran berisi ajakan kepada umat Islam untuk meninggalkan taklid, bidah, dan khurafat.
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, merupakan salah seorang pembaca Al-Munir, karena menyukai tulisan-tulisan Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka.
Para ulama yang aktif dalam al-Munir tergolong sebagai Kaum Muda yang berpikiran progresif. Bukan hanya mengkritik keras praktik-praktik beribadah yang dinilai tidak sejalan dengan contoh dari Rasulullah, tapi juga menentang kolonial Belanda.
Terbit dua pekan sekali, penyebaran majalah Al-Munir yang ditulis dengan abjad Jawi bukan hanya di Sumatra, tapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Semenanjung Malaya. Luasnya penyebaran majalah tersebut lantaran memanfaatkan jaringan al-Iman, majalah asal Singapura, yang sudah berhenti terbit.
Lantaran isinya yang berlawan arus dengan kebiasaan masyarakat, para ulama sepuh yang disebut Kaum Tua membuat majalah tandingan, seperti Soeloeh Melajoe yang sengaja dibuat untuk membendung pengaruh Al-Munir. Kedua majalah itu menjadi arena “perang” tulisan yang dimotori ulama Kaum Muda dan Kaum Tua.
Namun, Al-Munir berhenti terbit pada 1915, lantaran diduga akibat kekurangan dana. Kendati begitu, media-media dakwah di tanah Sumatra tidak lantas hilang lenyap. Masih ada penerbitan-penerbitan lain, termasuk Al-Munir Al-Manar yang terbit pada 1918.
Selain di Sumatra, media-media dakwah mulai menjamur di Jawa. Pada 1912, Hadji Omar Said Tjokroaminoto menerbitkan Oetoesan Hindia di Surabaya, dan itu menjadi media penyalur aspirasi umat Islam yang melibatkan para ulama serta kalangan pesantren.
Baca: Nahdlatul Ulama dan Isyarat Tongkat dari Kiai Kholil Bangkalan
Pun, dalam surat kabar itu, para aktivis Sarekat Islam menumpahkan gagasan-gagasan, seperti menentang kebijakan-kebijakan kapitalisme. Oetoesan Hindia hadir sebagai media massa yang memperjuangkan nasib rakyat pribumi.
Bukan hanya di Surabaya, di Semarang, Bandung, dan Jakarta pun sama. Di cabang-cabang Sarekat Islam itu menerbitkan pula surat kabar. Pergerakan Sarekat Islam semakin kencang setelah menerbitkan Al Islam pada 1916. Al Islam menyatakan diri sebagai “Tempat soeara anak Hindia yang tjinta igama dan tanah ajernjya”.
Berada dalam Gerakan yang senapas, Muhammadiyah, organisasi yang dibentuk K.H. Ahmad Dahlan pada 1912, menerbitkan majalah bernama Suara Muhammadiyah dengan pemimpin redaksi Haji Fachrodin, murid K.H. Ahmad Dahlan.
Dilansir dari laman Suara Muhammadiyah, terbit perdana pada 1915, Suara Muhammadiyah diorientasikan sebagai media dakwah yang tidak membidik keuntungan layaknya perusahaan pers, karena memang majalah tersebut tidak dijual alias gratis.
Selain memuat artikel, Suara Muhammadiyah edisi tahun pertama juga menyediakan rubrik tanya jawab agama dan kisah kepahlawanan Islam. Dikemas dalam dua bahasa, Melayu dan Jawa, pada awalnya majalah ini dibuat untuk kalangan internal. Namun, sejak 1940 mulai dipublikasikan untuk masyarakat umum dan bertahan hingga sekarang.
Selain Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama pun punya media massa sendiri. Persatuan Islam yang didirikan di Bandung pada 1923 punya majalah Pembela Islam. Sedangkan Nahdlatul Ulama menerbitkan Swara Nahdlatoel Oelama (SNO).
Dua organisasi yang berbeda pemahaman dalam beragama itu sama-sama memperjuangkan keyakinan melalui media massa. Majalah Pembela Islam yang terbit perdana pada 1929 dibuat untuk melawan tuduhan-tuduhan yang tidak benar kepada Islam.
Pembela Islam digunakan sebagai media dakwah untuk mengkritisi bidah, khurafat, dan tahayul. Selain itu, majalah ini pun menjadi corong Persatuan Islam dalam menentang Ahmadiyah. Namun, pada 1935, Pembela Islam berhenti terbit lantaran banyak sebab.
Adapun majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang mulai terbit pada 1927 membahas masalah keagamaan, organisasi, hingga peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia kala itu, termasuk sikap politik nahdiyin dalam merespons penjajah.
Dengan berbagai pertimbangan, Swara Nahdlatoel Oelama bertransformasi menjadi Berita Nahdlatoel Oelama di bawah komando K.H. Mahfudz Siddiq. Selain membahas masalah keagamaan, dalam majalah yang terbit dua kali dalam sebulan itu juga diinformasikan persoalan sosial politik di dalam dan luar negeri.
Baca juga: Sejarah 29 Maret; Nasional Borneo Kongres Ke-2 Digelar di Banjarmasin