Koropak.co.id – Apa yang dilakukan anak-anak ketika libur sekolah? Jika pertanyaan itu diajukan sekarang, jawabannya pasti main ponsel alias telepon seluler. Mereka pasti asyik main gim daring. Umumnya begitu. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi tidak jauh dengan ponsel. Zamannya memang seperti itu.
Beda dengan saat dunia belum dikepung kemajuan teknologi. Dulu, ketika televisi masih menjadi barang mahal, sehingga tidak semua rumah memiliki si kotak ajaib itu, anak-anak mengisi waktu liburnya di lapang atau sawah. Mereka menghabiskan waktunya dengan main bersama yang tidak hanya menguras tenaga, tapi juga mengasah otak dan solidaritas.
Sekarang sudah beda cerita. Kemajuan teknologi yang menyasar semua lini telah membuat keadaan berubah 180 derajat. Berikut ini adalah tujuh permata yang semoga tidak hilang di tanah Sunda lantaran digilas era digitalisasi:
#1 Kaulinan Barudak
Seperti diulas tadi, untuk mengisi waktu luang atau libur sekolah, anak-anak zaman dulu asyik main bersama di lapang atau di sawah. Ada banyak permainan yang bisa dilakukan bersama, seperti gatrik, jajangkungan, galah, sapintrong, ucing-ucingan, dan sorodot gaplok.
Semua permainan itu tidak bisa dilakukan sendiri. Selain menyenangkan, anak-anak diajarkan untuk membangun kerja sama. Coba bandingkan dengan gim ponsel. Waktu anak bisa habis sendiri memainkan gim daring. Sudah mah terkurung tidak bersosialisasi, uang bisa habis dipakai beli kuota.
Semua kaulinan barudak tempo dulu tidak begitu. Selain murah, juga banyak manfaatnya. Juga ada banyak permainan yang tidak memandang gender. Anak laki-laki dan perempuan bisa main bersama. Semua saling kerja sama untuk memenangi permainan.
#2 Seni Budaya
Bukan hanya permainan, salah satu permata di tanah Sunda yang jarang dimainkan bahkan hilang dari peredaran adalah kesenian tradisional. Hal itu di antaranya lantaran seni budaya warisan para leluhur kurang diminati kaum muda saat ini.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, dari 234 seni budaya yang tercatat pada 2012, sekitar sepuluh persennya hampir punah. Selain kuatnya pengaruh kebudayaan asing, hal itu juga dikarenakan kurangnya minat generasi muda, sehingga tidak terjadi regenerasi seni.
Akibatnya, beberapa kesenian Sunda jadi punah, seperti topeng gong dari Sukabumi, wayang mojang Cianjur, bongbangan Ciamis, reog cirebonan, wayang tambung Bekasi, dan tari ondol-ondol dari Karawang.
#3 Someah ka Semah
Ini adalah permata urang Sunda yang semestinya selalu ada dan mengakar di semua kalangan: someah ka semah. Namun faktanya tidak demikian. Tidak sedikit orang Sunda yang tak lagi mengedepankan sopan santun.
Anak kecil bicara seenaknya kepada orang dewasa. Bahasanya pun tidak dijaga. Atau saat kedatangan orang yang tidak dikenal, bukannya menyambutnya dengan keterbukaan dan dilandasi sikap percaya, yang muncul dalam benak malah kecurigaan.
Bersyukur, kondisi seperti itu tidak dominan di masyarakat. Hingga saat ini masih banyak urang Sunda yang menjalankan prinsip someah ka semah. Filosofi silih asah, silih asih, dan silih asuh harus terus mewangi di tanah Sunda.
#4 Basa Sunda
Bahasa Sunda Terancam Punah? Lima Tahun Lagi Bahasa Sunda Punah. Bahasa Sunda Punah Tahun 2026? Judul-judul dalam berita daring itu semestinya membangunkan urang Sunda yang merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia.
Bagaimana bisa basa indung dikatakan bakal punah? Kekhawatiran seperti itu tentu bukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, hanya sekitar 40 persen anak-anak di Jawa Barat yang mengetahui dan bisa berbahasa Sunda.
Baca: Delapan Fakta Menarik yang Hanya Dimiliki Orang Sunda
Hal itu disebabkan oleh orang tua tidak membiasakan bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari. Rumah yang semestinya menjadi ruang untuk mengajarkan dan melestarikan basa indung tak lagi memiliki tempat luas.
Dalam pergaulan di luar rumah, anak-anak muda lebih senang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan tak jarang diselingi bahasa asing. Itu tidak sepenuhnya salah. Namun, jika basa indung lantas dilupakan, bahasa Sunda yang disebut-sebut terancam punah bisa jadi kenyataan.
#5 Ngagaru ku Munding
Dulu, ngagaru atau membajak sawah biasa dilakukan dengan bantuan munding atau kerbau. Pemandangan itu kerap menjadi pelipur lelah sepulang sekolah. Petani yang berada di balik kemudi selalu mengajak bicara kerbau yang ada di depannya atau melontarkan ungkapan-ungkapan penyemangat.
Kini, pemandangan seperti itu sudah jarang terlihat. Peran kerbau diganti oleh traktor yang lebih cepat dan praktis. Padahal, di balik kemudahan itu ada “kerugian” yang tak kecil. Membajak sawah dengan traktor memang cepat, tapi tidak ramah lingkungan.
Bila membajak sawah menggunakan kerbau, selain akan memertahankan humus tanah dan menjaga kualitas padi, tekstur lumpurnya pun lebih halus dan tidak tercemari limpahan bahan bakar dan oli.
Kotoran kerbau pun bisa menjadi pupuk organik, sehingga tanah tetap subur. Jika dengan traktor, semua manfaat itu tidak didapat. Kendati bisa cepat dan praktis, penggunaan traktor terbilang mahal, beda dengan menggunakan kerbau.
#6 Sabilulungan
Sabilulungan atau bisa dimaknai gotong royong merupakan salah satu permata mahal yang dimiliki urang Sunda. Ada juga istilah lain yang serupa, yakni rereongan. Kendati berbeda istilah, keduanya bermuara pada satu kondisi yang sama, yaitu membantu sesama.
Ini ada kisah menarik yang terjadi pada akhir tahun 80-an. Kala itu, tetangga terkena musibah. Rumahnya kebakaran. Barang-barang dagangan dan beberapa perabotan rumah habis dilahap si jago merah. Aktivitas ekonominya lumpuh seketika. Mereka tak lagi bisa jualan ke pasar seperti biasanya.
Masyakarat lantas berembuk dan satu suara untuk memberikan bantuan. Semuanya rereongan sesuai kemampuan masing-masing. Mereka bergotong royong membangun lagi rumah tetangga yang kebakaran itu. Bukan hanya tenaga, banyak warga yang memberi bantuan barang dan uang, sehingga rumah tersebut bisa ditinggali lagi dan lebih bagus dibanding sebelumnya.
Namun kini, seiring perjalanan waktu, semangat seperti itu perlahan pudar dan sirna. Entah apa penyebabnya. Kehidupan masyarakat jadi terkotak-kotak, hingga terkurung pada ruang individualistis.
#7 Beas Perelek
Nah, ini pun sama. Coba tanya anak-anak milenial tentang beas perelek. Kebanyakannya pasti geleng kepala. Istilah itu terdengar asing di telinga mereka. Wajar saja, karena kini aktivitas itu sudah jarang dilakukan.
Beda dengan dulu. Di banyak kampung, beas perelek menjadi salah satu nadi gotong royong yang memberi manfaat besar. Tidak seberapa, tapi dampaknya tak terkira. Satu gelas beras dari satu rumah bisa menyelamatkan perut banyak orang.
Di hari-hari tertentu, biasanya sepekan sekali, ada petugas khusus yang datang untuk mengambil beas perelek. Beas atau beras itu kemudian dikumpulkan di satu tempat, biasanya di rumah RT atau RW, kemudian nanti dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Tapi kini, suara petugas yang biasa mengambil beas perelek sudah tak lagi terdengar. Namun, di beberapa tempat dikabarkan ada yang menghidupkannya kembali. Itu menjadi kabar baik, karena memang penting dilakukan agar salah satu permata yang ada di tanah Sunda tidak lantas hilang ditelan keegoisan zaman.
Baca juga: Pangsi dan Filosofi Pakaian Sunda