Koropak.co.id – Toraja, suatu daerah yang mengagumkan di Indonesia, dipenuhi kekayaan adat istiadat dan budaya yang masih dijaga dengan baik oleh penduduknya. Salah satu momen penting yang kerap diwarnai oleh keindahan tradisi adalah “Ma’ Parampo” atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Lamaran.”
Jika kita melempar pandangan beberapa tahun ke belakang, lamaran di Toraja telah menjadi acara yang sangat meriah. Namun, apakah kehebohan tersebut sebenarnya diperlukan? Mari kita kembali ke suasana lamaran di sekitar tahun 2015-an di Toraja, di mana keindahan dan kesederhanaan bertemu.
Seiring dengan perkembangan waktu, lamaran di Toraja kini dirayakan dengan dekorasi megah, pakaian seragam pengantin, dokumentasi yang melimpah, serta aneka ragam seserahan dan hidangan. Semua ini tentu memerlukan investasi yang signifikan, terutama bagi generasi muda yang baru memulai karier.
Namun, mari lihat lebih dekat pada suasana lamaran di Toraja sebelum tahun 2015. Pada masa itu, lamaran hanya dihadiri oleh keluarga besar kedua calon pengantin, tanpa seragam khusus, dekorasi mewah, atau dokumentasi besar-besaran.
Makanan yang disajikan juga lebih sederhana, namun suasana lebih tenang, memberikan lebih banyak waktu untuk saling mengenal keluarga.
Tentu, pertanyaannya muncul, berapa biaya yang dibutuhkan untuk lamaran di Toraja? Apakah mahal atau terjangkau? Jawabannya tergantung pada standar yang diputuskan oleh kedua keluarga yang melibatkan calon pasangan.
Baca: Syukuran di Toraja dengan Ma’lettoan
Lamaran tidak harus selalu meriah dan mahal, tetapi hendaknya dipahami sebagai ungkapan keseriusan dalam membangun rumah tangga.
“Makna” dari “Ma’ Parampo” atau “Lamaran” sendiri sangat penting. Dalam tradisi Toraja, ada dua versi lamaran, yaitu versi Aluk Todolo dan versi Agama Kristen.
Sebagai generasi penerus suku Toraja, memahami makna dan nilai-nilai dari tradisi ini menjadi kunci penting dalam menjaga keberlanjutan dan keautentikan budaya mereka.
Perkembangan zaman, pengaruh agama, dan faktor ekonomi memengaruhi perubahan dalam tradisi “Ma’ Parampo.” Namun, yang terpenting adalah memahami bahwa lamaran tidak harus menjadi ajang perlombaan mahal, melainkan suatu persembahan penuh makna dan kehikmatan.
Jadi, meskipun zaman terus berubah, generasi muda Toraja diajak untuk memahami dan menghargai tradisi “Ma’ Parampo” dengan bijaksana, menjaga keautentikan, dan membawa serta nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya. Lamarlah dengan sejati hati, karena “melestarikan adat tidak harus semahal itu.”
Baca juga: Filosofi Rumah Tongkonan, Dari Tanah Toraja yang Penuh Makna