Koropak.co.id – Pada 8 Februari 1904, Gotfried Coenraad Ernst (G.C.E) van Daalen memulai perjalanan bersejarahnya ke Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
Dibawah komandonya, Pasukan Korps Marechaussee te Voet yang lebih dikenal sebagai Marsose, bergerak maju dengan tujuan menaklukkan wilayah pedalaman Aceh.
Namun, apa yang dimulai sebagai ekspedisi berakhir dalam tragedi pembantaian penduduk setempat, ketika para raja setempat menolak untuk tunduk.
Latar belakang ekspedisi ke pedalaman Aceh diawali oleh laporan hasil riset Snouck Hurgronje yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Yohannes Benedictus van Heutsz.
Dengan ambisi untuk menguasai seluruh Aceh, van Heutsz menunjuk van Daalen sebagai pemimpin ekspedisi. Tujuan ekspedisi ini juga menjadi bagian dari upaya Belanda untuk mengakhiri perlawanan yang telah berlangsung selama tiga dekade di bawah pimpinan Cut Nyak Dien.
Baca: Pembantaian Rawagede, Kasus Paling Berdarah dalam Sejarah Indonesia
Namun, apa sebenarnya Marsose, Pasukan Korps Marechaussee te Voet, yang ikut serta dalam ekspedisi ini? Marsose adalah sebuah satuan militer bentukan Belanda yang beroperasi di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), atau dikenal sebagai Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Mereka sering disebut sebagai tentara bayaran, yang tidak terikat dengan negara manapun dan siap berperang demi imbalan finansial. Anggota Marsose, selain dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya, juga direkrut dari berbagai etnis di Hindia Belanda, seperti Ambon, Manado, Jawa, Sunda, dan bahkan Nias dan Timor.
Satuan ini, awalnya dibentuk di Belanda pada tahun 1814, kemudian diterjunkan ke Aceh pada tahun 1890 untuk membantu tugas kepolisian dan militer. Peran Marsose dalam ekspedisi ini adalah sebagai pasukan kontra-gerilya, yang sangat cocok untuk menghadapi perlawanan gerilyawan di Aceh.
Van Daalen menggunakan Marsose untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh, dan aksi brutal mereka tercatat dalam laporan-laporan yang menyebutkan bahwa setiap kali setelah melancarkan pembantaian, Van Daalen memerintahkan agar tumpukan mayat difoto bersama anggota Marsose yang berpose dengan bangga.
Satuan ini akhirnya dibubarkan pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang, namun jejak kekejaman mereka dalam Perang Aceh tetap terpatri dalam sejarah.
Baca juga: Tragedi Pembantaian Tebing Tinggi: Mengenang Peristiwa Kelam 13 Desember 1945