Koropak.co.id – Dalam acara resepsi pernikahan adat Jawa, ada sebuah tradisi yang dikenal dengan istilah “piring terbang”. Kebanyakan masyarakat yang menggelar pernikahan adat Jawa suka menggunakan tradisi ini pada setiap acara mereka.
Tradisi ini tidak hanya sekadar rutinitas dalam sebuah pernikahan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kehormatan dan keramahan terhadap tamu undangan.
Dilansir dari laman Pemerintah Surakarta, tradisi piring terbang sudah berkembang dan melekat di tengah masyarakat sejak Kerajaan Mataram. Pada mulanya, tradisi ini lahir karena dulu banyak tamu yang berdiri saat menyantap hidangan. Oleh karena itu, untuk menghormati tamu, munculah tradisi ini.
Piring terbang bukanlah sekadar sekumpulan hidangan yang dihidangkan secara berurutan. Ini adalah representasi dari kesantunan dan penghormatan terhadap tamu undangan.
Maka tak heran, tradisi ini tak hanya berkembang di Solo, bahkan menyebar hingga Wonosari, Klaten, Wonogiri, bahkan sampai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca: Mengungkap Sejarah Tradisi Ngetung Batih dan Melacak Akar Budaya Jawa Timur
Meski terlihat sederhana, namun tradisi ini dilakukan dengan mempertimbangkan penghitungan waktu. Seluruh hidangan tidak diberikan pada tamu secara sekaligus. Namun, memiliki urutan tertentu.
Di tengah gemerlap acara, piring terbang membawa pesan kebersamaan dan keakraban di antara tamu undangan.
Dalam gaya piring terbang di pernikahan masyarakat Solo, sajian piring terbang diawali dengan minuman hangat yang umumnya adalah teh manis.
Tradisi ini menggambarkan kearifan lokal dalam menyajikan makanan kepada para tamu undangan dengan kesantunan dan perhatian yang tinggi.
Dengan cara ini, seluruh tamu undangan dapat menikmati hidangan dengan nyaman tanpa merasa terganggu atau tidak terlayani. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, keramahan, dan kehormatan.
Baca juga: Kisah di Balik Nama ‘Putri Jenggolo’ dalam Tradisi Pernikahan Jawa