Koropak.co.id – Pada tanggal 5 Maret 1960, sebuah keputusan bersejarah menggema di ranah politik Republik Indonesia yang baru merdeka. Presiden Soekarno, dengan tegas dan penuh otoritasnya, mengumumkan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan menggantinya dengan DPR-GR.
Keputusan ini tidaklah terjadi begitu saja. Sebelumnya, pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno telah mengeluarkan Dekrit Presiden yang membatalkan lembaga tertinggi negara konstituante hasil Pemilu 1955.
Alasannya jelas: lembaga tersebut dinilai gagal dalam menyusun konstitusi baru yang diharapkan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).
Dengan pembubaran tersebut, Indonesia kembali berpegang pada UUD 1945. DPR yang baru terbentuk terdiri dari 262 anggota yang diangkat kembali setelah mengucapkan sumpah.
Terdapat 19 fraksi di dalam tubuh DPR pada masa itu, dengan dominasi oleh PNI, Partai Masyumi, NU, dan PKI. Pada masa tersebut, tiga kabinet berjalan, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
Baca: Demokrasi Terpimpin: Sejarah Penting di Balik Konsepsi Presiden Soekarno
Namun, pada 5 Maret 1960, dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, Soekarno memutuskan untuk membubarkan DPR dengan alasan bahwa DPR hanya menyetujui sebagian kecil dari anggaran yang diajukan.
Langkah ini diikuti dengan lahirnya DPR-GR melalui Perpres Nomor 4 Tahun 1960, yang memiliki 238 anggota yang diangkat langsung oleh presiden.
DPR-GR ini, sebagai hasil kebijakan Soekarno, memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kepada presiden pada waktu yang ditentukan, meskipun terdapat perbedaan dengan UUD 1945.
DPR-GR berhasil bertahan selama lima tahun, menghasilkan 117 Undang-Undang dan 26 usul pernyataan pendapat. Kemudian, masa DPR GR minus PKI berakhir pada tahun 1971, dan proses pemilihan DPR kembali dilakukan setelah itu.
Baca juga: 19 Agustus 1945: Presiden Soekarno Mengangkat Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung