Koropak.co.id – Sutan Sjahrir, yang akrab disapa “Bung Kecil” karena posturnya yang pendek, bukan hanya seorang pendiri bangsa, tetapi juga seorang diplomat ulung yang memiliki visi idealis untuk Indonesia.
Lahir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir mewarisi semangat patriotisme dari keluarganya. Ayahnya, Mohammad Rasad, seorang tokoh yang dikenal sebagai Maharaja Soetan bin Leman, memberinya landasan kuat untuk mengabdi pada tanah air.
Pendidikan Sjahrir yang cemerlang di Medan dan Bandung memberinya akses kepada ilmu pengetahuan yang luas, serta memperkenalkannya pada ide-ide sosialisme yang akan membentuk pandangannya terhadap perjuangan rakyat.
Aktivitas awalnya dalam mendirikan Tjahja Volksuniversiteit dan bergabung dalam pembentukan Jong Indonesie menggambarkan semangatnya dalam membangun kesadaran nasional di kalangan pemuda Indonesia di Belanda.
Begitu pula ketika ia kembali ke tanah air dan aktif dalam Partai Nasional Indonesia Baru (PNI Baru), Sjahrir tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga motor penggerak perlawanan terhadap penjajah.
Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir tak henti-hentinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan dengan merencanakan penculikan Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.
Baca: Kolonel Ahmad Husein: Pejuang Kemerdekaan dan Pemimpin PRRI
Setelah kemerdekaan, perannya semakin penting. Terpilih sebagai Perdana Menteri pada tahun 1946, Sjahrir menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Langkah-langkah diplomasi yang diambilnya, seperti dalam Perundingan Linggarjati, membuktikan kepiawaiannya dalam meraih pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia.
Dengan kepemimpinan yang kuat, Sjahrir berhasil mewakili Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk Konferensi Hubungan Asia di New Delhi dan sidang PBB di Lake Success, New York. Pidatonya yang mengesankan di sidang PBB membuat Indonesia semakin dikenal di mata dunia.
Namun, perjuangan Sjahrir tidak berjalan mulus. Ditangkap tanpa diadili pada tahun 1962-1965 atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI, dia mengalami penderitaan yang mendalam, bahkan mengalami stroke.
Meskipun berjuang melawan sakit, Sjahrir tetap setia pada idealisme dan perjuangannya. Wafatnya pada 6 April 1966 tidak menghapus jasa-jasanya. Tiga hari setelah kematiannya, dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, memperingati warisannya yang abadi bagi bangsa.
Baca juga: Nani Wartabone: Sang Pejuang Kemerdekaan Gorontalo