Koropak.co.id – Haji Anang Abdul Hamidhan, atau lebih dikenal sebagai A.A. Hamidhan, adalah figur pejuang dan wartawan yang mengukir sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Kalimantan Selatan.
Dilahirkan pada 25 Februari 1909 di Rantau, Tapin, perjalanan hidupnya penuh dengan dedikasi terhadap dunia pers dan perjuangan kemerdekaan.
A.A. Hamidhan mengawali pendidikannya di Europeesche Lagere School di Samarinda, dan kemudian melanjutkan ke Gemoontelijke MULO Avondshool di Batavia Genrum, yang kini dikenal sebagai Jakarta.
Meskipun bukan keturunan ningrat, politik etis Belanda pada masa itu memungkinkannya untuk mengejar pendidikan di luar biasa tersebut.
Ketertarikannya pada dunia pers sudah tampak sejak muda, bergabung dengan redaksi beberapa surat kabar seperti Perasaan Kita di Samarinda dan Bintang Timur di Jakarta sejak tahun 1927.
Pada tahun 1929, A.A. Hamidhan meniti karier jurnalistiknya dengan menjadi pemimpin redaksi beberapa surat kabar, termasuk Bendahara Borneo, Soeara Kalimantan, Kalimantan Raya, dan Borneo Shimbun.
Soeara Kalimantan, yang didirikannya pada 23 Maret 1930 di Banjarmasin, menjadi tonggak penting dalam sejarah pers pribumi di wilayah tersebut.
Keberhasilannya membawa inspirasi bagi wartawan pribumi lainnya, menciptakan gelombang baru dalam dunia jurnalistik Kalimantan. Selama kiprahnya, A.A. Hamidhan tak jarang terlibat dalam perjuangan politik dan merasakan getirnya menjadi tahanan politik.
Baca: Phoa Keng Hek: Aktivis Sosial dan Pengusaha yang Berjasa bagi ITB
Tiga kali ia menghadapi hukuman penjara akibat persdelict, dengan masa penjara yang mencapai enam bulan di beberapa kesempatan. Namun, semangatnya dalam dunia pers tak pernah surut.
Peran A.A. Hamidhan dalam menyebarkan semangat kemerdekaan Indonesia di Kalimantan tak terbantahkan. Pada tanggal 24 Agustus 1945, ia membawa berita kemerdekaan Indonesia ke Kalimantan menggunakan pesawat Jepang.
Sebagai wakil dari Kalimantan dalam PPKI yang ditunjuk Jepang pada awal Agustus 1945, ia turut serta dalam pembentukan nasional Indonesia pasca-kemerdekaan.
Setelah masa pendudukan berakhir, A.A. Hamidhan terus aktif dalam dunia pers dan mengubah nama surat kabarnya menjadi Indonesia Merdeka setelah Konferensi Meja Bundar.
Namun, tekanan pemerintah dan kurangnya semangat proklamasi membuatnya kecewa, sehingga ia akhirnya menjual surat kabarnya pada tahun 1961.
Pengabdiannya kepada Indonesia diakui dengan pemberian Bintang Mahaputera Pratama dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 1992. A.A. Hamidhan meninggalkan warisan berharga dalam sejarah pers Indonesia dan perjuangan kemerdekaan, serta keluarga yang besar dengan 7 orang anak dan 11 orang cucu.
Kepergian A.A. Hamidhan pada 21 Agustus 1997 meninggalkan jejak yang abadi dalam sejarah Indonesia, sebagai pejuang dan perintis pers yang tidak kenal lelah dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kebebasan pers.
Baca juga: Mengenang S. Tidjab: Maestro Karya Seni Indonesia