Koropak.co.id – Sagu, bukan sekadar makanan pokok, melainkan sebuah warisan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua.
Di wilayah pesisir, sagu bukan hanya sekadar bahan pangan, melainkan sebuah simbol identitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui beragam ritual adat, tarian, dan lagu daerah.
Salah satu tradisi yang masih dijaga dengan konsisten adalah tokok sagu, terutama di sekitar Danau Sentani.
Proses pengolahan sagu dimulai dengan membelah batang pohon sagu, yang kemudian diolah menggunakan martil kayu tradisional bernama “wek”.
Isi batang sagu, yang disebut “ela”, dicampur dengan air dan diremas-remas hingga menghasilkan tepung sagu, bahan dasar untuk berbagai hidangan makanan. Tokok sagu bukanlah pekerjaan yang dilakukan sendirian.
Perempuan biasanya bertanggung jawab dalam proses menokok dan memeras sagu, sementara laki-laki mempersiapkan wadah dan mengangkut tepung sagu yang sudah jadi.
Tradisi mengolah sagu juga menjadi atraksi utama dalam Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Kabupaten Teluk Wondama pada tahun 2022.
Baca: Papeda dan Mitologi Sagu dengan Kisah Penjelmaan Manusia
Masyarakat terlibat aktif dalam mengedukasi pengunjung tentang proses tokok sagu, memperkuat kearifan lokal dan menjaga budaya Papua.
Pentingnya sagu bagi masyarakat Papua tercermin dalam upaya pemerintah dalam mengembangkan program pengembangan sagu sejak tahun 2007.
Program ini mencakup pembuatan blok-blok sagu untuk produksi dan kepentingan biodiversitas. Selain sebagai simbol budaya, sagu juga menjadi bahan utama untuk berbagai hidangan khas Papua, antara lain:
1. Papeda: Makanan khas Papua yang disantap bersama ikan kuah. Memiliki tekstur yang lengket seperti lem.
2. Sagu Lempeng: Roti tawar khas Papua yang terbuat dari sagu, dicetak dan dibakar hingga pipih.
3.Kue Bagea Sagu: Kudapan gurih dan manis yang terbuat dari campuran tepung sagu dan kenari, sering disajikan sebagai teman minum teh atau kopi.
Baca juga: Makanan Tradisional Berbahan Dasar Sagu, Ini Sinoggi dari Suku Tolaki