Memoar

Sejarah Hidup Jaulung Wismar Saragih Sumbayak

×

Sejarah Hidup Jaulung Wismar Saragih Sumbayak

Sebarkan artikel ini

Koropak.co.id – Pandita Jaulung Wismar Saragih Sumbayak, dikenal sebagai sosok pendeta pionir, penerjemah Alkitab, dan budayawan yang berperan penting dalam sejarah Simalungun. 

Dilahirkan pada tahun 1888 di Sinondang Utara, Pamatang Raya, ia merupakan anak kedua dari Jalam Saragih Sumbayak dan Ronggainim boru Purba Sigumonrong, keluarga terpandang di ibu kota Partuanan Raya.

Kehidupan awal Jaulung dipengaruhi oleh peristiwa dramatis dalam sejarah lokal, seperti perang saudara di Partuanan Raya setelah kematian Tuan Rondahaim Saragih Garingging pada tahun 1891. Penderitaan ini memotivasi Jaulung untuk mengangkat martabat keluarga dan memimpin kebangkitan Simalungun.

Selama masa kecilnya, Jaulung belajar banyak dari ayahnya, terutama keahlian membaca Surat Batak. Pada usia 16 tahun, setelah kematian ayahnya pada tahun 1904, Jaulung mulai tertarik pada ajaran Kristen dan dibaptis dengan nama “Wismar”.

Kemudian, pada tahun 1907, dengan kedatangan penginjil RMG ke daerah Simalungun, Jaulung bergabung dengan sekolah zending di Pamatang Raya. Meskipun awalnya gagal dalam ujian masuk sekolah guru, ia berhasil diterima di sekolah guru Narumonda pada tahun 1911.

Baca: Mengenang Dr. Theodoor Pigeaud: Ahli Sastra Jawa Terkemuka

Setelah lulus, Jaulung mengajar selama enam tahun sebelum menjadi pegawai negeri. Namun, panggilan rohani membawanya untuk menjadi pendeta, dan ia mendaftar di Seminarium HKBP di Sipoholon pada tahun 1927. Setelah lulus, ia ditahbiskan sebagai pendeta HKBP, menjadi pendeta pertama dari Simalungun.

Jaulung menjadi pionir dalam memperjuangkan pemakaian bahasa Simalungun dalam penginjilan dan pendidikan. Ia mendirikan lembaga bahasa Simalungun dan memimpin gerakan untuk memperjuangkan identitas dan martabat etnis Simalungun.

Selain itu, Jaulung aktif dalam menulis dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Simalungun, termasuk kamus dan buku pelajaran. Usahanya untuk memperkaya kebudayaan Simalungun juga tercermin dalam pendirian taman bacaan, perpustakaan, museum, dan sanggar kesenian.

Sebagai seorang pendeta, Jaulung juga terlibat dalam penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun, yang membuatnya dijuluki sebagai “Luther dari Simalungun”. Perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga tidak bisa diabaikan.

Meskipun telah pensiun, Jaulung tetap aktif dalam usaha penginjilan dan pengembangan budaya Simalungun hingga akhir hayatnya pada 7 Maret 1968. Warisannya dalam teologi dan pelestarian budaya Simalungun terus dikenang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Baca juga: Kisah A.A. Hamidhan dan Soeara Kalimantan, Tonggak Pers Pribumi

error: Content is protected !!