Koropak.co.id – Sejak zaman dahulu, tradisi yang mengakar kuat di dunia pesantren pada bulan Ramadan adalah “Ngaji Pasanan”. Terkadang disebut “Ngaji Pasaran” atau dengan istilah lain, namun esensinya tetap sama.
Ngaji Pasanan adalah perjalanan belajar atau mengaji kitab kuning dari awal hingga akhir (khatam) satu atau beberapa kitab selama bulan Ramadan. Tradisi ini dilakukan seiring masa libur pendidikan klasikal selama Ramadan.
Selain santri lokal, Ngaji Pasanan juga diikuti oleh santri kelana, yang melakukan perjalanan ke pesantren lain untuk mengaji sesuai dengan kitab yang mereka ingin pelajari atau dengan ustadz yang mereka kagumi. Beberapa bahkan memilih untuk mengaji di pesantren tertentu karena gurunya adalah alumni pesantren tersebut.
Durasi mengaji pun bervariasi. Ada yang menyelesaikannya dalam 17 malam bulan Ramadan, sementara yang lainnya baru selesai menjelang akhir bulan puasa.
Kitab yang dibaca umumnya tidak terlalu tebal, seperti Tanqihul Qaul, Risalatul Mu’awanah, Bulughul Maram, dan Fathul Ghaits. Bahkan, karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah Waljama’ah juga diajarkan.
Baca: Menjelajahi Perbedaan Durasi Puasa Ramadan di Berbagai Negara Dunia
Ngaji Pasaran bukan hanya sekadar pembelajaran, tetapi juga menjadi momen pembinaan mental. Persiapan yang matang diperlukan, mulai dari mengatur waktu keberangkatan hingga mempersiapkan kitab, serta beradaptasi dengan cepat di lingkungan baru.
Semua ini bertujuan untuk memudahkan, menjamin kesuksesan, dan memastikan kelancaran dalam “ngalap berkah” dari Ngaji Pasanan.
Dalam konteks saat ini, praktik Ngaji Pasanan sejalan dengan konsep Merdeka Belajar yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tradisi Pendidikan Pesantren melalui Ngaji Pasanan bahkan dapat dijadikan sebagai contoh terbaik dalam penerapan kurikulum Merdeka Belajar.
Secara intelektual, beragam kitab yang diajarkan dalam Ngaji Pasanan memberikan warna baru dalam pemahaman dan penafsiran. Tradisi ini terus berkembang, menunjukkan kekayaan ilmu para kyai, nyai, gus, ning, dan asatidz pesantren.
Di tengah arus perubahan zaman, Ngaji Pasanan terus berlanjut dengan penyesuaian yang diperlukan, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Baca juga: Menggali Makna di Balik Ramadan Kareem