Koropak.co.id – Meskipun sederhana dan tampaknya biasa, NWG-1 memiliki nilai sejarah yang tak terbantahkan sebagai tonggak awal dalam pengembangan teknologi penerbangan di Indonesia.
Munculnya pesawat layang ini terjadi pada masa-masa sulit saat Indonesia masih berjuang untuk memperoleh kemerdekaan fisik dan sumber daya yang terbatas.
Segalanya dimulai dengan inisiatif seorang Opsir Muda Udara II bernama Nurtanio, yang dengan penuh semangat mengusulkan ide kepada atasannya, Opsir Muda Udara III Wiweko Soepono, yang pada saat itu memimpin Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).
Mereka merancang cara untuk membuat pesawat yang ekonomis dan mudah diproduksi. Nurtanio memilih dasar dan desain dari pesawat layang yang sudah ada, yaitu Zogling, yang dikenal sebagai karya ilmuwan aeronautika Jerman terkemuka, Alexander Lippisch.
Pesawat layang ini telah menjadi sarana latihan awal bagi calon pilot di Jerman pada tahun 1920-an, menjadi langkah pertama dalam karir mereka di Lufthansa dan Luftwaffe. Cara penggunaannya yang sederhana membuatnya sangat populer; bisa diluncurkan dari bukit atau ditarik oleh sepeda motor atau mobil.
Baca: Nurtanio Pringgoadisuryo: Perintis Industri Penerbangan Indonesia
NWG-1 Zogling menjadi sarana latihan bagi klub terbang di Yogyakarta dan juga digunakan untuk memilih calon kadet pilot AURI sebelum mereka diberangkatkan ke India untuk pelatihan lebih lanjut.
Usulan Nurtanio disetujui, dan mulailah pembangunan NWG-1 dari bahan-bahan sekitar yang mudah didapat. Kayu jamuju dari hutan di Malang menjadi bahan utama, sementara kain belacu dan kawat bekas digunakan untuk struktur badan pesawat.
Sebelum akhir tahun 1946, enam pesawat layang NWG-1 berhasil diselesaikan dan digunakan sebagai sarana latihan bagi calon pilot. Meskipun tidak ada NWG-1 yang tersisa hingga saat ini, hal ini bisa dimaklumi mengingat situasi negara pada waktu itu.
Namun, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, pesawat layang berbasis Grunau Baby dibangun kembali oleh perwira teknik di bawah bimbingan Ir. C.W.A Oyen, dan diberi nama Kampret.
Dua unit pesawat ini bahkan menjadi bagian dari koleksi Museum Dirgantara Mandala di Yogyakarta, menyimpan kenangan akan perjalanan awal dalam industri penerbangan Indonesia.
Baca juga: Sejarah 73 Tahun Garuda Indonesia dalam Penerbangan Nasional